Satu Hari Sebelum Pelaminan
Langit sore itu berwarna jingga. Aira berdiri di balkon kamarnya sambil memeluk secangkir teh yang tak lagi hangat. Di tangannya, undangan pernikahan yang telah tersebar ke seluruh penjuru kota—dengan nama "Aira & Raka" tertulis indah dalam tinta emas. Tapi dadanya terasa sesak. Bukan karena gugup. Tapi karena perasaan yang tak pernah benar-benar mati untuk seseorang dari masa lalunya: Revan.
Revan. Lelaki yang pernah berjanji menikahinya di bawah pohon kamboja kampus saat usia mereka masih dua puluhan. Lelaki yang tiba-tiba menghilang tiga tahun lalu tanpa sepatah kata pun. Tanpa pamit. Tanpa jejak.
Aira memilih Raka karena Raka hadir. Karena Raka mencintainya tanpa syarat, meski hatinya belum utuh.
Namun malam itu, saat bulan menggantung penuh di langit, sebuah pesan masuk ke ponsel Aira.
> "Besok kamu nikah, ya? Maaf aku baru muncul. Aku di depan rumahmu."
Jantung Aira berhenti sejenak. Tangannya bergetar. Ia membuka pintu perlahan dan di sana... Revan berdiri, kurus, pucat, dan matanya tampak menyimpan cerita yang dalam.
Revan mengajaknya bicara di taman kecil dekat rumah.
"Aku sakit, Aira. Kanker paru stadium empat. Waktu aku hilang, itu karena aku takut membuatmu menderita. Tapi ternyata... justru kehilanganmu yang menyakitkan."
Air mata Aira mengalir pelan. "Kenapa kamu baru bilang sekarang?"
"Aku nggak ingin kamu menunggu orang yang mungkin besok sudah nggak ada. Aku ingin kamu bahagia, dan aku tahu kamu akan bahagia sama Raka."
Aira menunduk. "Tapi kenapa hati aku masih sakit waktu lihat kamu?"
"Aku juga sakit setiap hari mikirin kamu."
Keesokan harinya, pagi sebelum pernikahan, Aira menerima sebuah paket kecil. Dari perawat di rumah sakit tempat Revan dirawat diam-diam.
Di dalamnya ada surat.
> "Aira,
Kalau kamu baca ini, mungkin aku sudah nggak bisa bilang langsung. Aku nggak pernah berhenti sayang kamu. Tapi bukan aku yang bisa nemenin kamu sampai tua nanti.
Jadi nikahlah. Tersenyumlah di pelaminan.
Anggap saja, aku hadir... dari jauh.
–Revan"
Aira menangis diam-diam di ruang rias. Gaun putih yang seharusnya membahagiakan, terasa seperti kain duka. Tapi ia tahu, Revan ingin dia kuat.
Di pernikahan itu, Aira terus melirik satu kursi kosong di barisan tamu.
Ia tahu... kursi itu bukan benar-benar kosong.
Ia tahu... seseorang sedang tersenyum dari jauh, menepati janjinya, meski hanya sebagai kenangan.
Aira duduk di ranjang hotel pengantin, masih mengenakan gaun putihnya. Raka, suaminya, duduk di sofa sambil membuka dasi, memperhatikannya dalam diam.
"Aku tahu kamu masih mikirin dia," ucap Raka lirih.
Aira menggigit bibir. "Maaf."
Raka mendekat, menggenggam tangan Aira. "Kamu boleh sedih malam ini. Tapi besok... mulai kita jalani bersama, ya?"
Tangis Aira pecah. Bukan karena menyesal menikah dengan Raka, tapi karena sebagian jiwanya seolah tertinggal bersama Revan.
Satu tahun berlalu sejak hari pernikahan.
Aira mulai belajar mencintai Raka. Mereka membangun rumah kecil dengan taman berisi pohon kamboja, persis seperti tempat kenangan lama. Tapi setiap tanggal yang sama, setiap sore yang redup, ia akan duduk sendiri sambil membuka surat terakhir dari Revan.
Sampai suatu hari, Raka pulang lebih cepat dan melihat Aira diam di taman, air matanya menetes sambil memegang surat itu.
"Aku bukan marah," kata Raka kemudian, "tapi izinkan aku juga menyembuhkan bagian hatimu yang masih patah."
Aira hanya mengangguk, pelan.
Tiga tahun kemudian, Aira melahirkan bayi laki-laki. Saat perawat bertanya soal nama, Aira dan Raka saling berpandangan.
“Revan,” jawab Aira dengan suara bergetar.
“Revan Mahendra Putra,” tambah Raka sambil mengecup dahi istrinya.
Mereka tak pernah menyebutkan siapa nama itu berasal dari siapa. Tapi malam itu, saat bayi mungil mereka tertidur, Aira berdoa dalam hati:
"Kamu pernah bilang tidak bisa menemani sampai tua... Tapi lewat dia, mungkin kamu tetap akan tumbuh bersamaku, selamanya."
Dan di luar jendela rumah sakit, bunga kamboja gugur satu per satu, dibawa angin senja.
---