“Dia tipe cowok yang nggak akan ngomong kalau nggak ditanya dulu,” keluh Aurora, memutar-mutar sedotan es kopinya.
Di hadapannya, duduk laki-laki dengan wajah tenang dan tajam, mengenakan kemeja putih bersih. Dia hanya membalas dengan lirikan singkat, lalu kembali menatap layar ponselnya. Namanya Reyhan Mahendra, 34 tahun, CEO dari perusahaan logistik besar bernama VOLTUS. Ia dikenal kejam dalam negosiasi dan dingin dalam hubungan sosial. Hampir tak pernah tersenyum — apalagi bicara hal pribadi.
Hari itu adalah makan siang perjodohan yang diatur orang tua mereka. Aurora, 23 tahun, baru lulus dari jurusan Komunikasi, belum punya pekerjaan tetap, dan masih tinggal di rumah orang tuanya.
“Ibu saya bilang kamu suka baca,” ujar Reyhan, akhirnya.
Aurora mengangkat alis, senang karena Reyhan akhirnya bicara. “Iya. Lagi suka buku psikologi sekarang.”
“Hm.”
“Hm aja?”
Reyhan menatapnya sebentar. “Kalau kamu nggak nyaman, kita bisa selesaiin makan ini, terus anggap nggak pernah ketemu.”
Aurora mendengus. “Kamu selalu gini ke semua cewek yang dijodohin ke kamu?”
“Kurang lebih.”
---
Aurora pulang dengan kesal. Tapi ada satu hal yang ia akui: Reyhan menarik. Bukan soal wajah atau status — tapi justru karena ia seperti teka-teki yang belum selesai. Tidak menyenangkan, tapi memancing penasaran.
Seminggu kemudian, kejutan datang: ia diterima kerja magang sebagai penulis konten internal di VOLTUS.
Yang lebih mengejutkan? Ruang kerjanya ada satu lantai dengan kantor Reyhan.
---
Aurora tidak pernah menyangka akan bertemu Reyhan lagi begitu cepat — dan sering. Tapi pria itu tetap seperti pertama kali: dingin, singkat, dan terlalu tenang. Bahkan saat Aurora tidak sengaja menumpahkan kopi di dekat lift, ia hanya berkata:
“Ambil tisu. Jangan panik.”
Tapi perlahan, ada hal-hal kecil yang membuat Aurora ragu atas kesan pertama.
Seorang staf pernah bilang bahwa Reyhan diam-diam menanggung biaya pengobatan sopir logistik yang anaknya sakit. Atau bagaimana dia selalu ingat ulang tahun semua karyawan, meski tak pernah datang ke pestanya.
“Dia nggak dingin. Dia cuma... terlalu logis,” kata Mbak Rini, sekretaris pribadi Reyhan.
---
Suatu malam, Aurora masih lembur di ruangannya. Laptop-nya error, listrik satu sisi kantor padam karena pemeliharaan, dan hanya satu orang yang tersisa di lantai itu: Reyhan.
Tanpa berkata apa-apa, Reyhan masuk ke ruangannya, memperbaiki kabel colokan, dan menyodorkan laptop cadangan.
“Pakai ini. Jangan sendiri di ruangan gelap.”
Aurora memandangnya. “Kamu... perhatian juga, ya?”
Reyhan tidak menjawab. Tapi sebelum keluar, ia berkata lirih:
“Kalau aku kelihatan acuh, bukan berarti aku nggak peduli.”
---
Hari demi hari, jarak itu mengecil. Tak ada pengakuan, tak ada gombal. Tapi Aurora mulai melihat bagaimana Reyhan memperhatikannya — lewat tindak, bukan kata.
Ia akan memesan makanan lebih saat tahu Aurora lembur. Ia akan berdiri di dekat Aurora saat lift penuh. Ia akan memberikan payung tanpa bicara jika hujan turun saat jam pulang.
Lalu tiba-tiba, kabar itu muncul.
“CEO VOLTUS akan bertunangan dengan Putri Duta Besar!”
Aurora membeku saat membacanya di berita online. Ia langsung meninggalkan kantor hari itu juga. Tidak ada pesan. Tidak ada pamit.
Seminggu ia menghilang.
---
Plot twist datang saat Aurora menerima surat — bukan dari Reyhan — tapi dari asisten pribadi Reyhan.
> “Aurora, saya disuruh menyampaikan ini karena Pak Reyhan tidak pandai bicara langsung, dan tidak yakin kamu akan mengangkat teleponnya.” <
> “Pertunangan itu hanya spekulasi media. Tidak pernah ada rencana seperti itu.” <
> “Kamu ingin tahu kenapa dia tidak pernah berkata langsung tentang perasaan? Karena dia takut kamu pikir semua ini hanya kelanjutan dari perjodohan itu.” <
> “Tapi setiap hari, sejak kamu pergi, Pak Reyhan datang lebih pagi dan pulang lebih malam. Dia menunggu kamu masuk lagi. Dia tidak tahu cara bilang bahwa dia... kehilangan kamu.” <
Air mata Aurora mengalir saat membaca kalimat terakhir:
> “Dia tidak bisa mengatakan cinta dengan kata, tapi dunia tahu — kamu satu-satunya orang yang bisa membuat pria sedingin dia, menunggu dalam diam.”
<
---
Hari itu juga, Aurora datang ke kantor. Bukan sebagai karyawan. Tapi sebagai tamu.
Di ruang CEO, Reyhan menatapnya tanpa ekspresi, tapi tangannya mengepal di balik meja.
“Kamu datang,” katanya pelan.
“Kamu nggak ngomong apa-apa waktu aku pergi,” ujar Aurora.
Reyhan bangkit dari kursinya. Ia berjalan mendekat, berhenti satu langkah di depannya.
“Aku takut kalau aku bicara... kamu pikir aku hanya jatuh cinta karena perjodohan.”
Aurora menatap matanya. “Jadi sekarang?”
Reyhan menarik napas. “Sekarang aku tahu. Perjodohan itu cuma pintu. Kamu... yang membuatku ingin tinggal di dalam rumahnya.”
Untuk pertama kalinya, Reyhan tersenyum. Lembut. Hangat.
Dan untuk pertama kalinya juga, Aurora menggenggam tangan pria yang dulu dianggapnya dingin dan tak peduli — kini menjadi rumah paling nyaman yang pernah ia temui.
---
TAMAT