I
Langit senja tampak seperti kanvas merah muda yang dipoles tangan Tuhan. Di bawahnya, Rey duduk di kursi taman yang sudah mulai berkarat, menggenggam tangan Ara erat-erat. Tangannya hangat, tapi tubuhnya terasa lemah.
"Aku ingin waktu berhenti," gumam Rey pelan.
Ara tersenyum tipis. "Kalau waktu berhenti, bunga nggak akan mekar, Rey."
"Ya, tapi kamu juga nggak akan pergi."
Keheningan jatuh di antara mereka. Angin sore mengelus lembut rambut Ara yang kini lebih tipis dari biasanya. Kanker stadium akhir telah merenggut sebagian besar semangat hidupnya, tapi tidak cintanya pada Rey.
"Ada satu legenda," ucap Rey tiba-tiba. "Tentang Pohon Harapan di Gunung Senja. Katanya, kalau seseorang benar-benar tulus, satu permintaannya akan dikabulkan. Hanya satu."
Ara tertawa kecil. "Itu cuma cerita dongeng, Rey."
"Tapi kenapa nggak dicoba?"
II
Tiga hari kemudian, Rey mendaki Gunung Senja sendirian. Tidak ada jalur resmi, tidak ada peta, hanya cerita-cerita dari penduduk tua yang katanya pernah melihat pohon raksasa dengan daun berkilau emas.
Rey berjalan siang dan malam. Terluka, jatuh, tersesat. Tapi cinta membuatnya terus melangkah.
Di malam keempat, ia menemukannya.
Pohon itu berdiri tinggi menjulang, batangnya bercahaya lembut seperti cahaya rembulan. Daunnya berkilau, berdesir seperti bisikan dalam mimpi.
Rey mendekat dan berlutut. Dengan suara penuh harap, ia berkata:
"Aku ingin Ara hidup. Bahagia. Panjang umur. Bahkan kalau itu berarti aku harus menghilang."
Angin berhenti. Daun pohon itu terjatuh satu, perlahan melayang, menyentuh kepala Rey.
Lalu semuanya gelap.
III
Ara terbangun di rumah sakit. Tapi kali ini, alat-alat medis sudah dilepas. Dokter tersenyum.
"Keajaiban, Nona. Tumornya hilang. Tidak ada penjelasan medis."
Air mata membanjiri wajahnya. Tapi ketika ia menoleh, tidak ada Rey di sana.
Ia mencarinya—ke taman tempat mereka biasa duduk, ke rumah Rey, bahkan ke kantor polisi. Semua orang seperti lupa siapa itu Rey. Bahkan foto-foto Rey di ponselnya menghilang, seperti Rey tak pernah ada.
IV
Sepuluh tahun berlalu.
Ara menjadi dokter, membantu banyak pasien kanker seperti dirinya. Tapi setiap malam, ia duduk di kursi taman yang sama, berharap waktu bisa diulang. Tapi tak ada yang datang.
Sampai suatu malam, seorang pria asing duduk di sampingnya. Wajahnya familiar, tapi ia tak bisa mengingat dari mana.
"Aku suka bunga yang kamu tanam di sana," kata pria itu sambil menunjuk bunga mawar putih di pinggir taman. "Itu bunga favorit... seseorang yang kucintai."
Ara menatap matanya. Dalam, hangat, seperti mata Rey. Tapi ia tidak mengenalinya.
"Namamu siapa?" tanya Ara.
"Namaku... Rayan," jawabnya.
Dan untuk pertama kalinya dalam sepuluh tahun, Ara tersenyum.
V
Malam itu, saat langit penuh bintang, Ara bermimpi. Dalam mimpinya, Rey berdiri di bawah Pohon Harapan, menatapnya dengan lembut.
"Kamu bahagia sekarang. Itu sudah cukup."
Ara terisak.
"Tapi aku ingin bersamamu..."
Rey tersenyum. "Kadang, cinta terbesar bukan yang bersama selamanya. Tapi yang berani menghilang, demi kamu bisa hidup."
Dan saat Ara terbangun, ia tahu satu hal:
Rey tidak pernah benar-benar pergi. Cinta sejati tak perlu dikenang untuk tetap hidup. Kadang, ia hanya perlu diteruskan—dengan hidup yang dijalani sebaik-baiknya.
TAMAT