“Bagaimana bisa Anda menyukai saya?”
Elisa terucap setengah lunglai, suara dan tubuhnya serasa melemah oleh kejutan yang baru saja menerpa. Waktu seolah berhenti berputar di sekelilingnya. Tegang yang merayap di setiap helaian saraf membuat seluruh tubuhnya membeku dalam diam.
Ia benar-benar tak percaya dengan apa yang didengarnya. Pengakuan Rahman itu seperti petir di siang bolong, tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Baginya, Rahman adalah seseorang dari dunia yang berbeda—bagaikan langit dan bumi, bangsawan dan rakyat jelata. Perbedaan latar belakang mereka terlalu besar untuk bisa disatukan. Memang, tak jarang wanita biasa menikah dengan pria berstatus tinggi, tapi bagi Elisa, rasanya dirinya tak pantas berdiri sejajar dengan seseorang sehebat Rahman.
Rahman menatapnya lembut dan berkata, “Aku hanya menyukaimu, Elisa. Aku menyukaimu sejak pertama kali kita bertemu. Aku jatuh cinta padamu.”
Kata-kata itu seperti tamparan keras yang menggetarkan hati Elisa. Meski terdengar manis, beban yang menyertainya terasa begitu berat hingga membuatnya nyaris terpukul.
“Tidak! Tidak bisa seperti ini. Ini tidak benar. Kau salah,” Elisa membantah, suaranya bergetar. “Itu bukan cinta. Kau hanya mengada-ada. Pasti salah paham. Kau salah menerjemahkan perasaanmu padaku.”
Ia memegangi pelipisnya, tubuhnya terhuyung sedikit, dan dengan tawa kecil yang getir, ia seperti tak percaya dengan kenyataan yang tengah ia hadapi.
“Aku mencintaimu, Elisa. Tidak ada yang salah dengan itu. Aku hanya mencintaimu. Dan aku hanya menginginkanmu,” Rahman berkata dengan yakin, perlahan mendekat.
Namun Elisa mundur dengan cepat, menepis tangannya yang mencoba meraih. “Maka berhentilah mencintaiku! Ada banyak wanita lain di dunia ini. Kau pasti akan menemukan mereka dengan mudah. Aku—aku tidak pantas untukmu. Aku harus pergi sekarang.”
Dengan itu, Elisa berbalik dan berlari meninggalkannya, membawa segala kekacauan dalam pikirannya. Ia tahu, dirinya butuh waktu untuk menenangkan hati dan pikirannya yang berkecamuk.
Di belakangnya, suara Rahman memanggil-manggil, mungkin sama terkejutnya dengan penolakan tiba-tiba itu. Ia berharap bisa meminta waktu agar Elisa memikirkan semuanya. Namun Elisa sudah menolak dengan tegas. Setelah ini, hubungan mereka mungkin akan berubah menjadi canggung.
Rahman berasal dari keluarga yang sangat berada. Hidupnya tak pernah harus berjuang keras, karena warisan dan kekayaan keluarganya cukup untuk menjaga kenyamanan hingga tujuh generasi ke depan. Ia adalah pewaris tunggal dari sebuah perusahaan iklan milik ayahnya, sementara ibunya adalah dokter sekaligus pemilik rumah sakit ternama. Kakeknya pernah menjadi seorang jenderal militer yang dihormati, dan neneknya adalah pemilik perkebunan apel terbesar di kota.
Namun, Rahman juga punya pesonanya sendiri. Ia adalah seorang aktor ternama. Sejak kecil, wajah tampannya sudah memikat banyak perhatian. Kariernya dimulai dari iklan-iklan yang dibuat oleh ayahnya, hingga kini ia menjadi aktor pria paling populer dan idola banyak wanita.
Sementara Elisa? Ia hanya seorang aktris kecil, figuran dalam dunia hiburan. Berasal dari keluarga biasa-biasa saja, bahkan hidup sederhana rasanya belum cukup menggambarkan keadaan mereka.
Rahman adalah kakak kelas Elisa saat SMP. Mereka pertama kali bertemu di perpustakaan, ketika Elisa berusaha meraih sebuah buku di rak tinggi tapi malah menjatuhkannya. Seperti dalam film-film romantis, Rahman menahan jatuhnya buku itu dengan punggungnya, dan pada saat itu, mata mereka bertemu untuk pertama kali.
Bukan hanya itu, Elisa menemukan tempat persembunyian yang nyaman di antara rak-rak buku di perpustakaan—tempat yang sedikit gelap dengan cahaya lembut dari jendela, sempurna untuk bermalas-malasan dan menenangkan pikiran. Kadang, Rahman ikut duduk di sana, membaca buku sementara Elisa tertidur nyenyak di sampingnya. Elisa membiarkannya, karena Rahman begitu tenang dan tak pernah mengganggunya. Ia merasa kasihan, mungkin tempat itu adalah pelarian Rahman dari para siswi yang terpesona akan ketampanannya.
Tak ada yang tidak menyukai Rahman, termasuk Elisa. Ia memang menyukainya, tapi selalu memupus perasaan itu dengan keyakinan bahwa dirinya tak pantas. Baginya, Rahman adalah bintang yang bersinar terang di langit—indah, jauh, dan tak bisa ia raih. Tugasnya hanyalah mengagumi dan memujanya, bukan memilikinya.
Elisa mengatur nafasnya, mencoba menguatkan diri. Dunia ini masih terasa seperti mimpi baginya. Ia menepuk pelan pipinya dan berkata, “Tenanglah, Elisa. Tidak apa-apa... ini hanya mimpi. Kau akan terbangun besok.”
Bersambung
-