Di langit Olympus yang abadi, di antara dewa-dewi yang memerintah nasib manusia, Cupid dikenal sebagai dewa cinta yang nakal, cerdik, dan selalu ceria. Ia berkeliling dengan busur emas dan anak panah cinta, menembakkan cinta ke hati manusia—dan kadang juga ke dewa—membuat mereka jatuh cinta secara ajaib.
Namun, satu aturan abadi selalu berlaku padanya: **Cupid tidak boleh jatuh cinta.**
"Karena jika sang penggoda cinta mencintai," kata ibunya, Venus, "maka seluruh tatanan dunia akan terguncang."
Cupid menganggap larangan itu sebagai beban yang menyebalkan, tapi ia menuruti. Hingga suatu hari, ia melihat seorang gadis manusia bernama **Lyra**.
Lyra bukan dewi. Ia bukan bidadari. Ia hanyalah seorang pelukis jalanan di kota Athena, yang sering melukis pasangan yang sedang jatuh cinta. Tapi ada sesuatu pada dirinya—tatapannya yang dalam, senyumannya yang tenang, dan caranya memahami cinta tanpa pernah mengalaminya sendiri—yang menusuk jantung Cupid lebih tajam dari panah mana pun.
Setiap hari, Cupid diam-diam turun ke dunia fana, hanya untuk mengamati Lyra melukis. Ia tertawa dalam diam saat Lyra mencaci dirinya sendiri karena tak bisa menggambarkan "mata orang yang sedang jatuh cinta." Ironisnya, dewa cinta sendiri yang selalu menontonnya—dan diam-diam jatuh cinta padanya.
Namun Cupid tahu, ia tak bisa menyentuh dunia cinta yang ia ciptakan. Ia hanya bisa menjadi pengamat, bukan pelaku.
Tapi cinta tak bisa dibatasi oleh aturan, bahkan oleh Olympus sekalipun.
Pada malam bulan purnama, ketika Lyra menangis sendirian di atap rumahnya karena merasa dunia tidak adil dan cinta terlalu rumit untuk dirinya, Cupid melanggar satu aturan suci: **ia menembakkan anak panah cinta ke dirinya sendiri.**
Jantungnya bergetar. Tubuh abadi sang dewa seolah terbakar oleh perasaan yang selama ini hanya ia sebarkan ke orang lain. Ia jatuh cinta, benar-benar jatuh cinta, untuk pertama kalinya. Kepada Lyra.
Ia muncul di hadapan Lyra sebagai pemuda biasa, dengan senyum menawan dan mata penuh rahasia. Ia memperkenalkan dirinya sebagai "Eros," dan dalam waktu singkat, keduanya menjadi dekat. Lyra, yang tak pernah percaya cinta itu nyata, mendadak menemukannya dalam pria misterius ini.
Tapi Olympus tidak tinggal diam.
Panah cinta milik Cupid diciptakan untuk menghubungkan dua jiwa—tapi bukan jiwanya sendiri. Karena itulah, dengan setiap detik ia jatuh cinta pada Lyra, tubuhnya menjadi semakin lemah. Cinta yang seharusnya menyatukan, kini perlahan membunuhnya.
"Kalau kau terus bersamanya," kata ibunya, Venus, menahan air mata, "kau akan lenyap."
Cupid tersenyum lirih. "Lebih baik aku lenyap karena mencintai, daripada hidup selamanya tanpa pernah tahu rasanya."
Pada hari terakhirnya di dunia fana, Cupid mencium Lyra untuk terakhir kali. Ia menghilang dalam pelukan sang gadis, berubah menjadi cahaya hangat yang membungkus tubuh Lyra. Air mata Lyra jatuh, namun ia tersenyum. Di hatinya, ia tahu siapa Eros sebenarnya.
Setelah kepergiannya, Lyra melukis potret seorang pria dengan sayap lembut dan busur di punggungnya. Dan di bawah lukisan itu, ia menulis:
*"Ia mengajarkanku arti cinta, lalu pergi untuk selamanya. Tapi dalam hatiku, ia tinggal untuk selamanya."*