Sejak awal menikah ia begitu menginginkan bayi, ia bilang ia akan sangat bahagia jika aku bersedia melahirkan buah cinta kami. Bahkan ia mengatakan banyak hal, berandai-andai jika anak kami perempuan kelak ia akan sangat mencintai anak itu dengan penuh kasih dan sayang.
Kemudian, jika anak itu laki-laki, ia akan merawatnya dengan kedua tangan nya sendiri, anggaplah anak pertama kami obat untuk dia yang terpisah jauh dari anak kandung yang ia besarkan tempo dulu, yang kini di bawa pergi jauh oleh mantan istrinya.
Tentu, aku ingin punya bayi kembali. Namun, rasa takut yang hinggap dalam diriku tak kunjung hilang. Aku takut, jika saja suamiku tak lebih baik dari mantan suamiku, yang kala itu kami menikah di usia yang masih sangat muda, yang mana dampak dari pernikahan dini tersebut aku harus mengalami baby blues berkepanjangan hingga menjadi trauma terberat yang saat ini harus ku hadapi.
Berkali-kali aku memohon maaf dan meminta waktu agar sekiranya suamiku mengerti keadaanku, meski berkali-kali sudah ku jelaskan alasanku menunda untuk kembali memiliki anak, namun faktanya ia tidak mau tau. Ia selalu berdalih dan menuduh aku tidak ingin memiliki anak darinya.
Tentu, penuturan nya membuatku sedih dan tertekan. Walau pada akhirnya aku memilih bersembunyi dengan trauma yang masih ku bawa hingga saat ini.
Setiap malam aku berfikir banyak hal, agar aku sembuh dari trauma, memaafkan orang-orang yang terlibat di masa lalu, hingga menepis semua pemikiran buruk pada orang-orang dimasa kini.
Namun, faktanya tidak mudah. Aku tetap kesulitan mengendalikan diriku sendiri, bahkan aku merasa seakan tubuh ku gila sendirian.
Beberapa tahun telah berlalu, Tuhan yang maha baik menuntun ku untuk datang ke suatu tempat yang mana tempat tersebut menjadi tempat yang aku sukai kala itu. Tempat yang menjadi pelarian kala aku merasa kosong dan sendirian. Bertemu dengan banyak orang yang luar biasa merubah banyak hal dalam hidupku.
Salah satu dari mereka mendiagnosa bahwa aku memiliki gangguan anxiety disorder, gangguan kecemasan yang mana itu pernah aku rasakan dengan sangat hebat 3 tahun yang lalu.
Aku merasa kaget dan terpuruk kala itu, benarkah aku menderita anxiety disorder? Ia bukan dokter, bukan juga psikolog, ia hanya seorang konsultan biasa yang mana ucapannya selalu tepat. Beberapa kali aku di terapi olehnya, meski rasanya proses yang harus ku hadapi amat sangat lambat di banding dengan orang lain.
Sejak hari itu, banyak ketidak beresan yang harus ku hadapi dalam diriku, aku mulai tidak mengenal siapa diriku, bahkan beberapa kali aku melakukan percobaan bunuh diri di hadapan suamiku sendiri.
Kalut dengan keadaan, bingung dan tak tau apa yang harus ku perbuat. Aku memutuskan untuk melakukan konsultasi dengan saudaraku yang tak lain adalah seorang suster yang bekerja di rumah sakit swasta di daerah jakarta pusat.
Bercerita panjang lebar, mencari tau apa yang terjadi, bahkan iapun bukan seorang ahli kejiwaan, namun akhirnya aku mendapat diagnosa baru yaitu bipolar affective disorder, yang mana ini merupakan gangguan mood yang di tandai dengan dua fase manik dan depresif.
Penuturan ini jelas membuatku semakin terpuruk, sementara suamiku tetap pada pendiriannya, meski berkali-kali ku jelaskan ia tetap berfikir bahwa aku baik-baik saja dan ia masih percaya bahwa aku hanya tidak ingin kembali memiliki anak buah cinta kita berdua.
Tak puas sampai di sana, beberapa bulan kemudian aku mendatangi dokter umum untuk mendapatkan penanganan lebih jauh mengenai apa yang saat ini sedang ku hadapi, dan terdapat kesimpulan yang berbeda.
Aku di diagnosa mengidap skizofrenia dan bipolar affective disorder. Fakta ini membuatku semakin hancur, aku merasa sangat berantakan.
Pada akhirnya, dokter menyerahkan ku pada psikiater. Disanalah perjalanan panjang mulai ku lalui.
Hingga suatu hari, aku berada di fase manik dan sangat menginginkan bayi. Tentu ini menjadi kesempatan emas bagi suamiku. Ia sangat setuju manakala aku melepas alat kontrasepsi implant yang aku pasang dua Minggu setelah akad.
Hingga tak butuh waktu lama, aku telah di nyatakan hamil. Bahagia sekali rasanya, dokterku bilang aku tidak perlu lagi mengkonsumsi obat psikiatri karena dengan hamil hormon ku akan stabil dan selalu merasa bahagia.
Tak ada yang salah di bulan pertama kehamilanku, aku masih hidup dengan normal, merasakan ngidam, manja terhadap suami, mudah lelah, hingga senang berleha-leha selayaknya orang hamil muda pada umumnya, meski terasa aneh karena aku tidak merasakan mual sekalipun.
Hingga suatu malam, aku menginginkan sesuatu yang aku harap suamiku dapat memberikan nya segera, namun ia malah berlagak tidak mendengar bahkan tak peduli, membiarkanku sendirian keluar rumah mencari apa yang aku inginkan.
Aku menangis histeris, menjerit dan memukul bagian bawah perutku, rasanya kesal sekali, marah dan merasa tidak di pedulikan.
Suamiku kaget dan mencoba untuk menenangkan ku, namun aku terlanjur kecewa hingga trauma itu seakan terulang kembali, ketakutan yang dulu sempat ada dan hinggap lama, kini seakan kembali. Memori ku memutar banyak fakta yang membuatku putus asa dan membenci diriku sendiri.
Di antara rasa prustasi itu, paginya aku kaget setengah mati melihat gumpalan darah yang menggenang di celana dalamku, aku berteriak dan ketakutan, feelingku tidak pernah salah seperti nya aku kehilangan calon bayiku, meski begitu aku berusaha untuk berfikir positif bahwa aku hanya kelelahan.
Aku pergi mencari bidan seorang diri, suamiku marah dan khawatir sementara aku tak henti-hentinya menyalahkan dirinya. Seakan semua yang terjadi padaku saat ini semua adalah kesalahannya, bahkan aku mengutuk bahwa aku tidak akan pernah lupa apalagi sampai memaafkannya.
Suamiku mengejarku, membawaku segera ke dokter obgyn. Dokter hanya berkata bahwa kantong rahimku kempes namun ia tetap memberikan obat penguat kandungan.
Aku pulang dengan hati yang kacau, menangis sepanjang jalan dan tak henti berdoa. Bahkan teman terbaikku mengirimiku obat penguat kandungan agar kehamilan ku bertahan. Pendarahan ku terus berlanjut hingga seminggu lamanya, anehnya aku masih tetap merasakan banyak hal, seperti ngidam, perubahan mood yang signifikan, hingga cepat merasa lelah ketika bekerja seharian.
Setelah pendarahan nya berhenti aku kembali mendatangi dokter obgyn, ketika di USG janinku telah hilang, yang tersisa hanya potongan darah kotor yang di sebut kista sepanjang 1.5 cm.
Hancur sekali hatiku, aku menangis sepanjang waktu, berlarut-larut dalam kesedihan, menyalahkan suamiku, membenci diriku sendiri, bahkan rasanya sulit untuk menerima keadaan.
Dokter obgyn menyarankan ku untuk kembali program hamil,karena dengan begitu kista yang ada di dalam tubuhku akan otomatis terangkat ketika aku hamil kembali.
Awalnya aku menolak dengan tegas, bagaimana mungkin dokter bisa semudah itu mengatakan banyak hal di kala pasiennya sedang merasa kehilangan dan berduka.
Meski pada akhirnya aku memikirkan usul dokter tersebut dan memulai banyak hal baru, seperti mengecek gigiku yang bolong. Katanya gigi bolong sangat berbahaya dan rentan bagi ibu hamil.
Dan ternyata aku harus menjalani serangkaian operasi bedah mulut, ada empat gigi berlubang yang nantinya di takutkan akan berdampak buruk pada kondisi kehamilan.
Aku mengikuti prosedur yang berlaku, aku mendatangi rumah sakit, bertemu dokter bedah mulut, kemudian di arahkan untuk melakukan rongsen dan tes darah untuk mengetahui kondisi ku yang mana apakah aku siap untuk melakukan tindakan operasi atau tidak.
Hasil ronsen memperlihatkan 4 gigi berlubang dengan 3 posisi tertidur, sementara satunya masih bisa di pertahankan.
Sementara hasil tes darah sangat baik dan siap untuk dilakukan tindakan operasi bedah mulut secepatnya.
Dokter menjadwalkan ku untuk secepatnya melakukan tindakan, aku menyetujui meski rasanya sangat takut sekali.
Hingga tibalah saat itu, saat dimana aku masuk ruang operasi. Disana ada banyak sekali pasien yang akan melakukan operasi. Mataku memutar melihat sekeliling, ada banyak keraguan dan ketakutan, rasanya ingin sekali pergi dari tempat dingin itu.
Namaku di panggil di awal, dengan alasan kondisi ku yang mengidap gangguan bipolar affective disorder, dokter anestesi mengajakku berbicara ia menyuntikan cairan antibiotik pada tangan kiriku, infusan pun menempel pada punggung tanganku, gak butuh waktu lama. Meski ia meyakinkanku bahwa semua akan baik baik saja, tetap saja ketakutan ku tak kunjung hilang.
Dengan menggunakan baju operasi aku di bopong masuk ke sebuah ruangan , ruangan dingin yang di penuhi dengan alat-alat asing yang beragam.
Nafasku tersengal, aku mengeluh pada dokter.
"Dok, mengapa dadaku sesak? Sepertinya aku kesulitan nafas!" Ucapku dengan nada rendah.
"Kamu itu takut, bukan sesak.. tidak apa-apa" Ungkapnya sambil mengambil suntikan besar dan memasukkan nya ke dalam infusan.
"Kenapa disini dingin sekali, aku ga kuat!". Keluhku.
"Seperti ini lah ruang operasi!". Jawabnya dengan singkat. Sejak itu aku tidak ingat apa-apa lagi, tubuhku seperti terlelap dengan sendirinya.
"Buk, ibu. Bangun buk! Operasi nya sudah selesai". Ucap dokter bedah.
"Ibu aku dimana?... Ibu aku dimana?". Ucapku seketika meneteskan air mata.
"Kamu tau kamu dimana? Kamu lagi stay cation di hotel bintang lima, yuk bangun". Ucap dokter dengan nada geli.
Seketika aku terbangun, menatap langit-langit rumah sakit yang masih terasa dingin. Aku mengusap air mataku yang terus mengalir.
"Aku kenapa?". Bisikku dalam hati.
"Ini jam berapa?" Kulihat sekeliling, ada banyak orang di sampingku, masih terlelap di tidurnya, hanya aku sendirian yang terjaga, sementara di kejauhan suara ners dan suster saling berbincang satu sama lain.
Adzan telah berkumandang, aku pikir waktu ashar telah tiba, aku ingin sholat dan bergegas menemui suamiku, ia pasti sangat kalut dan khawatir menungguku di ruang tunggu.
Perawat membawaku keluar ruangan operasi dan memindahkan ku ke ruang rawat inap, disana suamiku sudah menunggu dengan senyuman yang menandakan ketenangan dalam dirinya.
Ia tampak lelah dan prustasi, sesekali ia mengajakku berbicara,meski aku hanya mampu mengangguk dan menggelengkan kepala saja sebagai jawaban atas semua pertanyaan yang ia lontarkan.