Di sudut istana Lota yang megah, di mana gemerisik sutra berpadu dengan bisikan rahasia, hiduplah seorang gadis pelayan bernama Celine. Usianya baru menginjak delapan belas tahun, namun beban hidup telah mengukir kematangan di matanya yang bening. Ia bukan sekadar pelayan biasa; Celine adalah anak yatim piatu yang ditemukan dan dibesarkan di bawah asuhan Kepala Pelayan, Tuan Silas. Ia belajar segala hal tentang seluk-beluk istana, mulai dari tata krama bangsawan hingga meracik teh herbal untuk insomnia. Tugasnya sehari-hari adalah memastikan setiap sudut istana berkilau, setiap pangeran dan putri terlayani dengan sempurna. Namun, hari itu, tugasnya berubah drastis, menjebaknya dalam pusaran takdir yang tak terduga.
"Celine, kau ditugaskan untuk merawat Jenderal Lex Yehaz," titah Kepala Pelayan Silas dengan nada datar, nyaris tanpa emosi, seperti biasanya. Matanya yang tajam menatap lurus ke arah Celine. "Dia baru kembali dari medan perang, terluka parah, dan... sangat murung. Pastikan semua kebutuhannya terpenuhi, dan jangan pernah melonggarkan tugasmu. Kesabaranmu akan diuji."
Jantung Celine berdesir. **Lex Yehaz**. Nama itu bagai guntur di seluruh Lota, dulu selalu diiringi dengan sorak-sorai dan puji-pujian. Jenderal perang yang tak terkalahkan, sang pahlawan yang selalu membawa kemenangan bagi Kekaisaran Lota. Namun, kali ini berbeda. Desas-desus kekalahan telak di perbatasan utara telah menyebar seperti wabah, mengubah sanjungan menjadi bisikan cemooh dan makian. Para prajurit yang kembali disambut dengan wajah-wajah dingin dan tatapan menghina, bukan sorak-sorai kemenangan. Bahkan Jenderal Lex yang legendaris pun tak luput dari cibiran. Ia seolah diasingkan, ditugaskan di paviliun terpencil di sisi barat istana, jauh dari keramaian dan intrik politik.
Celine melangkah menyusuri koridor panjang menuju paviliun yang kini menjadi tempat Jenderal Lex diasingkan. Setiap langkahnya terasa berat, diiringi bisikan-bisikan pelayan lain yang mengasihani atau mencibir nasib Jenderal. Aroma obat-obatan dan keheningan mencekam menyambutnya begitu ia mendekati area paviliun. Pintu kayu ek di hadapannya terasa berat, seolah menyimpan beban seluruh perang yang telah usai dengan pahit.
Ia mengetuk pelan, suaranya sedikit bergetar. "Jenderal? Saya Celine, pelayan yang ditugaskan untuk merawat Anda."
Tidak ada jawaban. Hanya keheningan yang lebih pekat. Celine menunggu sebentar, menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, lalu mencoba lagi. Masih hening. Dengan ragu, ia memutar kenop pintu dan mendorongnya perlahan.
Cahaya samar dari jendela tembus pandang menerangi kegelapan ruangan, menyingkap sesosok pria yang duduk membelakangi pintu, menghadap dinding kosong. Punggungnya tegap, namun aura kesedihan dan kemarahan memancar kuat darinya. Rambut hitam legamnya acak-acakan, bahunya yang biasanya gagah kini tampak melengkung lesu. Perban tebal membalut lengan kirinya, tampak basah oleh cairan antiseptik. Di sampingnya, beberapa botol obat dan peralatan medis tergeletak begitu saja, tak tersentuh.
"Saya akan meletakkan makanan Anda di sini, Jenderal," kata Celine lembut, meletakkan nampan berisi bubur hangat dan teh herbal di meja samping tempat tidur. Ia berusaha tidak menatap langsung pria itu, merasakan tebalnya atmosfer yang tercipta dari kekecewaan dan harga diri yang hancur. "Anda perlu makan untuk memulihkan diri."
"Pergi," suara Lex serak, nyaris tak terdengar, namun menyimpan nada dingin yang menusuk.
Celine tersentak, tangannya sedikit gemetar. "Tapi Jenderal, Anda harus makan. Dokter bilang Anda membutuhkan nutrisi."
"Aku bilang pergi!" Kali ini suaranya lebih keras, ada sedikit getaran kemarahan dan frustrasi yang jelas. Udara di ruangan itu terasa menekan.
Celine menelan ludah, hatinya mencelos. Ini akan lebih sulit dari yang ia duga. "Baik, Jenderal. Saya akan kembali nanti untuk membersihkan piring Anda." Ia buru-buru keluar, napasnya sedikit terengah, dadanya sesak. Ia bisa merasakan tatapan dingin Lex mengikutinya hingga pintu tertutup.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan pola yang sama, bahkan lebih buruk. Lex Yehaz adalah gunung es yang tak tergoyahkan. Ia jarang berbicara, menolak menatap Celine, dan hanya menyentuh makanannya sedikit, terkadang sama sekali tidak disentuh. Celine berusaha keras, membereskan ruangan yang seringkali berantakan karena Lex jarang bergerak, mengganti perban (meskipun Lex hanya akan mengangguk kecil sebagai izin, tanpa mengucapkan sepatah kata pun), dan memastikan semuanya sempurna. Ia sering menemukan Lex menatap kosong ke luar jendela, seolah mencari sesuatu yang hilang di cakrawala, atau terkadang ia hanya duduk di pojok ruangan, meringkuk dalam kegelapan.
Pernah suatu pagi, Celine mencoba memulai percakapan ringan. "Cuaca hari ini cukup cerah, Jenderal. Mungkin Anda ingin duduk di dekat jendela agar mendapat sedikit sinar matahari?"
Lex hanya mendengus, tanpa menoleh. "Apa gunanya? Matahari tidak akan mengubah apapun."
Celine menghela napas. Frustrasi mulai merayapi hatinya, namun ia mengingat pesan Tuan Silas: **kesabaran**. Ia tahu Lex sedang terluka, bukan hanya secara fisik, tapi juga jiwanya hancur. Jenderal yang selalu gagah itu kini bagai cangkang kosong.
Suatu sore, saat Celine sedang membersihkan meja di samping tempat tidur Lex, matanya menangkap sesuatu yang tersembunyi di bawah tumpukan perkamen dan peta perang yang berserakan. Sebuah buku bersampul kulit tua, terlihat usang dan penuh coretan. Buku itu terbuka di sebuah halaman, menunjukkan sketsa pemandangan pegunungan yang megah, diselimuti salju dan hutan pinus. Ada tanda tangan "L.Y." di sudut bawah.
"Jenderal, ini... gambar Anda?" tanya Celine pelan, menunjuk sketsa itu dengan hati-hati. Ia merasakan ada sesuatu yang berbeda dari gambar itu; ada kehangatan yang kontras dengan aura dingin Lex.
Lex mengangkat kepalanya, matanya yang kelabu tampak sedikit berkedut. Ia menatap buku itu, ada sedikit kilatan emosi yang tidak dapat diartikan di sana. Ia tidak menjawab, hanya menatap gambar itu dengan pandangan jauh, seolah jiwanya terbang ke tempat itu.
"Pegunungan ini terlihat sangat damai," Celine melanjutkan, memberanikan diri. "Seperti tempat di mana seseorang bisa melupakan segala masalah, bukan?"
Lex tiba-tiba berdeham, sebuah suara yang jarang sekali ia keluarkan. "Itu... tempat kelahiranku." Suaranya lebih lunak dari biasanya, seperti bisikan kenangan yang jauh.
Celine tersenyum tipis, sebuah kelegaan kecil merayapi hatinya. Ini adalah pertama kalinya Lex berbicara tentang dirinya sendiri. "Pasti indah sekali. Saya belum pernah melihat gunung setinggi itu."
Hening. Namun, kali ini, heningnya tidak lagi membebani. Ada sedikit kehangatan yang merambat di antara mereka, seperti tunas kecil yang mencoba tumbuh di tanah beku.
"Kau tahu apa itu kekalahan, Celine?" Lex bertanya tiba-tiba, suaranya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri, namun ia menoleh sedikit, menatap Celine. "Itu adalah jurang. Kau jatuh, dan tak ada yang peduli seberapa keras kau berusaha bangkit. Bahkan jika kau adalah seorang Jenderal, tak ada yang peduli."
Celine menatapnya, ada empati yang tulus di matanya yang bening. Ia teringat masa kecilnya yang sulit, bagaimana ia juga pernah merasa jatuh dan sendirian. "Saya tahu, Jenderal. Hidup tidak selalu adil. Kadang-kadang, jurang itu terasa begitu dalam hingga kita berpikir tak ada harapan. Tapi yang terpenting adalah bagaimana kita bangkit setelah jatuh. Bukan seberapa keras kita jatuh."
Lex menoleh sepenuhnya, menatap Celine lurus-lurus untuk pertama kalinya. Matanya yang selama ini gelap dan dingin kini menunjukkan secercah cahaya, seperti pantulan dari api yang redup. Ada sesuatu di tatapan Celine – ketulusan yang polos, kekuatan yang tak tergoyahkan, dan pemahaman yang dalam – yang membuat Lex terdiam. Ia melihat bukan hanya seorang pelayan, tapi seseorang yang benar-benar peduli.
"Kau... tidak mengasihani aku?" tanya Lex, nadanya sarat keraguan, seolah tak percaya.
Celine menggeleng perlahan, matanya tidak goyah. "Tidak, Jenderal. Saya hanya... mencoba memahami. Setiap orang punya beban mereka sendiri. Dan Anda... Anda sudah berjuang keras. Anda hanya butuh waktu untuk sembuh."
Kata-kata itu, diucapkan oleh seorang pelayan muda yang sederhana, entah mengapa meruntuhkan sebagian dinding di hati Lex. Ia menatap Celine, matanya yang selama ini gelap kini menunjukkan secercah cahaya. Ia melihat bukan hanya kebaikan, tapi juga keteguhan.
"Aku... aku merindukan tempat itu," Lex berbisik, kembali menatap sketsa pegunungan. "Tempat di mana aku tidak perlu menjadi Jenderal. Hanya Lex."
Celine tersenyum lembut. "Mungkin suatu hari, Anda bisa kembali ke sana, Jenderal. Setelah Anda sembuh dan menemukan kedamaian."
Lex terdiam, memikirkan kata-kata Celine. Untuk pertama kalinya sejak ia kembali, ada sedikit harapan yang menyusup ke dalam jiwanya yang hancur. Ia tidak membalas, namun ada anggukan kecil yang nyaris tak terlihat. Sebuah isyarat. Sebuah awal.