Desa Aethelgard adalah sebuah permata tersembunyi di kaki Pegunungan Azure, dikelilingi oleh hutan pinus yang menjulang tinggi dan danau biru jernih. Di sanalah, di tengah kesederhanaan dan kedamaian, hiduplah Elliona, seorang gadis dengan mata sehijau lumut dan senyum secerah matahari pagi. Ia dikenal sebagai Elliona si Penenun, karyanya tak tertandingi di seluruh penjuru desa. Namun, di balik setiap tenunan indah, ada hati yang diam-diam bersemi, menyimpan nama Kaiden Jedn.
Kaiden bukanlah pemuda biasa. Rambutnya sehitam malam, matanya setajam elang, dan langkahnya selalu tegap dan penuh keyakinan. Ia adalah pemburu terbaik di Aethelgard, membawa pulang hasil buruan yang melimpah ruah, memastikan setiap keluarga tak kelaparan. Setiap kali Kaiden lewat di depan rumah Elliona, dengan bahu lebar dan senyum tipis, jantung Elliona berdebar kencang, seolah benang-benang di alat tenunnya ikut menari. Ia tahu, dalam kisah hidupnya, ia mungkin hanya seorang pemeran sampingan, namun hatinya tak bisa mengelak dari daya tarik sang pemeran utama.
Suatu sore, saat senja memulas langit dengan warna jingga keemasan, Elliona memberanikan diri. Kaiden sedang duduk di beranda rumahnya, memperbaiki jaring buruannya.
"Kaiden," sapa Elliona pelan, suaranya sedikit bergetar.
Kaiden mendongak, senyumnya mengembang. "Elliona? Ada apa gerangan kau kemari?"
"Aku... aku membawakan ini," Elliona menyodorkan sekeranjang roti gandum yang baru dipanggang, wanginya semerbak. "Baru keluar dari oven."
Kaiden mengambilnya, matanya berbinar. "Wah, kau selalu tahu cara membuat perutku senang. Terima kasih, Elliona."
"Sama-sama," jawab Elliona, pipinya merona. "Aku hanya... ingin memastikan kau makan dengan baik."
Mereka terdiam sejenak, hanya suara jangkrik dan desir angin yang menemani. Elliona memberanikan diri lagi. "Kaiden, aku... aku selalu mengagumi betapa gigihnya kau. Kau selalu memastikan semua orang di desa ini aman dan kenyang."
Kaiden tersenyum lembut. "Itu sudah tugasku, Elliona. Lagipula, desa ini adalah rumahku, dan kalian adalah keluargaku."
Setiap percakapan dengan Kaiden adalah seperti tetesan embun bagi hati Elliona yang kering. Ia tahu, Kaiden tak pernah secara eksplisit menunjukkan perasaan yang sama, tapi tatapan hangatnya, senyumannya, dan setiap kata yang terucap darinya sudah cukup bagi Elliona. Ia rela menjadi pemeran sampingan, asalkan ia bisa tetap berada di orbit Kaiden.
Beberapa minggu berlalu, hubungan mereka semakin akrab. Kaiden sering mampir ke rumah Elliona, sekadar berbincang atau mendengarkan Elliona menyanyi saat menenun. Kebersamaan itu adalah melodi indah bagi Elliona, bahkan jika ia tahu, melodi itu mungkin akan segera berakhir.
Hingga suatu pagi, ketenangan Aethelgard pecah. Suara sepatu bot berderap kencang, kuda meringkik, dan teriakan-teriakan memenuhi udara. Tentara kerajaan, dengan lambang singa emas di perisai mereka, menyerbu desa. Mereka bukan tentara yang biasanya patroli; jumlah mereka lebih banyak, dan wajah mereka menunjukkan niat yang serius.
Elliona, yang sedang menjemur kain tenunnya, terlonjak kaget. Ia melihat para tentara mengepung rumah Kaiden. Jantungnya mencelos. Apa yang terjadi?
Seorang jenderal bertubuh besar dengan suara menggelegar memerintahkan, "Kaiden Jedn! Serahkan dirimu! Kami tahu kau adalah Pangeran Azrael, pewaris takhta yang digulingkan!"
Elliona terhenyak. Pangeran Azrael? Pewaris takhta yang digulingkan? Ini mustahil. Kaiden hanyalah Kaiden, pemburu dari Aethelgard.
Dari dalam rumah, Kaiden keluar dengan tenang, tanpa perlawanan. Wajahnya tetap datar, namun di matanya terpancar kesedihan yang mendalam.
"Aku bukan siapa-siapa lagi, Jenderal," kata Kaiden, suaranya pelan tapi tegas. "Aku hanya seorang pemburu di desa ini."
"Omong kosong!" bentak sang jenderal. "Kami telah melacakmu selama bertahun-tahun. Darah permaisuri terdahulu yang terkutuk itu mengalir di nadimu. Kau akan dibawa ke ibu kota untuk menghadapi pengadilan atas pengkhianatan leluhurmu!"
Elliona tidak bisa lagi menahan diri. Ia berlari menerobos kerumunan penduduk desa yang terkejut, menuju ke arah Kaiden.
"Tidak! Jangan sentuh dia!" teriak Elliona. "Dia tidak bersalah! Dia hanya Kaiden!"
Seorang prajurit mencekal lengannya, menghentikannya. "Minggir, gadis! Ini bukan urusanmu!"
Kaiden menatap Elliona, ada kepedihan dan penyesalan yang mendalam di matanya. "Elliona, jangan! Ini bukan tempatmu!"
"Kaiden, katakan pada mereka ini salah!" Elliona meronta, air mata mulai mengalir di pipinya. "Katakan kau bukan yang mereka cari!"
Kaiden menghela napas panjang. "Aku minta maaf, Elliona. Aku menyembunyikan ini darimu. Tapi... mereka benar. Aku adalah Pangeran Azrael."
Pengakuan itu menghantam Elliona seperti badai. Dunia di sekelilingnya seolah runtuh. Pria yang dicintainya, pria yang selama ini hanya ia kenal sebagai pemburu sederhana, ternyata adalah seorang pangeran yang hidup dalam pelarian.
"Kau... kau berbohong padaku?" tanya Elliona, suaranya pecah.
"Aku tidak bermaksud begitu, Elliona," jawab Kaiden, tatapannya penuh penyesalan. "Aku hanya ingin hidup normal. Aku ingin melupakan masa lalu itu."
Para prajurit segera memborgol Kaiden. "Bawa dia!" perintah sang jenderal.
Saat Kaiden diseret pergi, ia menoleh ke arah Elliona sekali lagi. Matanya memancarkan ribuan kata yang tak terucap: permohonan maaf, kesedihan, dan mungkin, sedikit rasa sayang.
"Elliona..." bisiknya, sebelum ia menghilang di balik kerumunan prajurit.
Elliona roboh ke tanah, air matanya tak terbendung. Desa Aethelgard yang damai kini terasa dingin dan kosong. Ia merasa seolah ditarik dari sebuah cerita indah yang baru saja dimulai, dan dilemparkan kembali ke realitas yang kejam. Ia hanyalah pemeran sampingan, menyaksikan pemeran utama ditarik paksa dari panggung.
Hari-hari berikutnya terasa seperti bayangan. Elliona masih menenun, tangannya bergerak mekanis, namun benang-benang itu terasa hampa, tak lagi memiliki jiwa. Setiap sudut desa mengingatkannya pada Kaiden. Pada tawa Kaiden, pada senyumnya, pada roti gandum yang selalu ia bawa.
Kadang, ia berpikir, apakah Kaiden mengingatnya? Apakah di balik jeruji besi, ia masih mengenang Elliona si penenun dari Aethelgard?
Ia tidak tahu apa yang akan terjadi pada Kaiden. Apakah ia akan dihukum mati? Dipenjara seumur hidup? Yang jelas, Kaiden kini berada di dunia yang berbeda, dunia intrik politik dan perebutan kekuasaan, jauh dari Aethelgard yang damai.
Elliona memandang hasil tenunannya, sebuah kain dengan pola hutan dan danau, mengingatkannya pada Kaiden. Ia sadar, kisahnya dengan Kaiden telah berakhir. Ia mungkin hanya pemeran sampingan dalam kisah Kaiden, tetapi kisah Kaiden, Pangeran Azrael yang hidup dalam pelarian, akan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari kisah Elliona. Dan meskipun hatinya hancur, ia tahu ia harus terus hidup. Terus menenun. Menenun harapan baru, meskipun ia tidak tahu kapan harapan itu akan terwujud. Ia hanya seorang pemeran sampingan, namun hatinya, seperti benang-benang yang ia tenun, akan selalu kuat, meski rapuh di beberapa bagian.