Ibu, Ini arahnya ke mana?
Sore itu langit mendung. Angin dingin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan perasaan yang entah kenapa berat sekali. Aku berdiri di depan gerbang rumah sakit jiwa, sambil menggenggam erat tangan adikku, Lia, yang masih delapan tahun. Di belakang kami, Ibu duduk di kursi roda. Diam. Matanya menatap kosong ke arah langit, seolah sedang berbicara dengan sesuatu yang tak bisa kami lihat.
Beberapa tahun lalu, Ibu bukan seperti ini. Dulu, beliau orang yang paling hangat di rumah. Bangun paling pagi, selalu sibuk menyiapkan sarapan, membangunkan kami dengan senyum, dan bernyanyi kecil sambil menyiram bunga di halaman. Tapi semuanya berubah sejak Bapak meninggal karena kecelakaan motor. Saat itu aku baru masuk SMA, dan Lia masih TK.
Sejak hari itu, Ibu seperti kehilangan arah. Awalnya cuma murung. Lalu mulai sering bicara sendiri, menangis tengah malam, dan marah-marah tanpa sebab. Pernah suatu pagi, Ibu memanggil Lia "anak tetangga" dan menyuruhnya pulang. Lia menangis seharian, tak mengerti kenapa Ibu jadi asing begitu.
Aku berusaha bertahan. Jadi kakak, jadi orang tua, jadi segalanya. Pagi sekolah, sore kerja bantu warung, malam jaga Ibu yang kadang bangun dan jalan-jalan ke luar rumah sambil manggil-manggil nama Bapak.
Tapi makin hari, kondisinya makin parah. Ibu sering tidak makan, kadang mengunci diri di kamar, kadang mengamuk. Sampai akhirnya, tetangga menyarankan kami membawa Ibu ke rumah sakit ini. Tempat yang katanya bisa membantu. Tempat yang katanya aman.
Tapi di hatiku, ini terasa seperti... menyerah.
Aku jongkok di hadapan Ibu, memegang tangannya yang dingin. Ia melirikku sebentar, lalu pandangannya kembali mengarah ke langit.
“Ibu...” panggilku pelan.
Ia tak menjawab. Tapi tiba-tiba ia menunjuk ke jalan di belakang kami dan bertanya dengan suara pelan, seperti bisikan:
“Nak… itu arahnya ke mana, ya?”
Aku tercekat. Rasanya seperti ada yang mencengkeram dadaku dari dalam.
"Itu jalan ke jalan besar, Bu..." jawabku pelan.
“Ibu mau ke sana. Katanya Bapak nunggu. Mau ajak jalan-jalan ke taman, ada bunga matahari katanya…”
Air mataku menggenang. Suster di dekat kami mendekat, memberi isyarat bahwa waktu kami hampir habis. Lia mulai menangis pelan. Ia tak benar-benar mengerti, tapi tahu ada yang tidak beres.
Aku mencoba bicara lagi. “Bu… aku Fikri. Anak Ibu…”
Ia memandangku, lama. Lalu matanya menyipit, wajahnya bingung.
“Fikri?” gumamnya. “Enggak mungkin. Anak Ibu masih kecil. Masih suka main di halaman...”
Dan di detik itu juga, rasanya dunia berhenti. Napasku berat. Aku mencoba tersenyum, tapi rasanya seperti menahan badai di dada.
Suster menyentuh bahuku, lalu mendorong pelan kursi roda Ibu ke dalam bangunan. Sebelum pintu tertutup, Ibu menoleh sekali lagi dan bertanya:
“Nak… ini arahnya ke mana?”
Aku menahan tangis sekuat mungkin. Tapi akhirnya air mata itu jatuh juga. Lia memelukku, menangis bersama.
---
Malamnya, kami tidur berdua di rumah Bu Retno, tetangga yang baik hati. Rumah kami terlalu sepi tanpa suara langkah Ibu, tanpa bau masakannya, tanpa nyanyiannya yang sumbang tapi menenangkan.
Dalam gelap, Lia bertanya pelan, “Kak… Ibu bakal sembuh, kan?”
Aku ingin menjawab, tapi tak sanggup. Lidahku kelu.
Beberapa bulan berlalu. Kami mulai terbiasa hidup bertiga — aku, Lia, dan kenangan tentang Ibu. Tapi rasa rindu itu tak pernah pergi. Setiap kali lihat bunga matahari, aku teringat cerita Ibu. Tentang taman yang katanya Bapak tunggu di sana.
Suatu pagi, telepon rumah sakit berdering. Ibu kabur. Ia ditemukan di jalan raya, berjalan kaki sendirian. Katanya, ia bertanya ke semua orang yang lewat:
“Arah ke rumahku ke mana, ya? Anak-anak ku nunggu…”
Aku langsung menjemputnya. Saat kutemukan, tubuhnya kurus dan lusuh, tapi matanya… matanya menatapku dan bergetar.
“Fikri?” bisiknya.
Air mataku tumpah. Aku angguk, memeluk tubuh Ibu seerat mungkin.
“Iya, Bu… ini aku. Fikri…”
Ia tersenyum tipis. Tapi hanya sebentar. Lalu kembali menatap langit dan bertanya lagi:
“Ibu… ini arahnya ke mana?”
---
Tamat