Di sebuah rumah sederhana di pinggir kota, Arya, seorang anak laki-laki berusia lima belas tahun, berjalan perlahan melewati halaman. Suara bentrokan orang tuanya dari ruang tengah merambat ke pendengaran seperti badai yang tak datang reda.
Setiap kata yang terucap terasa seperti duri yang menusuk jantung, namun Arya menahan diri agar tidak ikut terbawa emosi. Ia tahu, orang tuanya saling mencintai, namun terkadang cinta muncul dalam bentuk yang sulit dimengerti.
Di tengah semua kekacauan itu, Arya selalu menemukan satu hal yang membuatnya bertahan: tekad untuk mengukir masa depan yang cerah demi dirinya dan juga demi keluarganya.
Setiap malam setelah rumah sepi, Arya duduk di bawah cahaya lampu kamarnya, membuka buku-buku pelajaran dan menulis mimpinya. Ia bermimpi menjadi seseorang yang bisa membawa pelangi setelah hujan deras yang melanda keluarganya. Air mata orang tuanya, yang sering jatuh merasa tidak bersalah, kini menjadi sumber inspirasinya.
“Aku ingin membuat mereka bangga,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata.”
Hari demi hari, Arya melangkah maju. Wajah lelah orang tua yang pernah ia lihat berkali-kali tidak lagi membuatnya menyerah. Justru, setiap tetes air mata yang jatuh menusuk jantungnya memupuk semangat untuk terus berjuang.
Meski jalan yang dilalui penuh liku dan bayang-bayang bertabrakan, Arya percaya masa depan yang cerah menantinya. Ia tahu, di ujung perjalanan, akan ada kedamaian yang ia ciptakan sendiri.
Dengan kepala tegak dan hati penuh harapan, Arya melangkah, membiarkan air mata menjadi inspirasi, dan bukan beban yang menahan langkahnya.
Kesimpulan Cerita:Karena terkadang, dari dinginnya air mata lahirlah kehangatan sebuah mimpi yang nyata.