Langkah kaki Nurul menggema di lorong sekolah tua tempat Arya ditugaskan sebagai guru tamu selama sebulan. Gedung ini adalah bekas sekolah dasar zaman kolonial, kini dialihfungsikan sebagai tempat pelatihan guru. Tapi suasananya... masih menyimpan sesuatu.
Lorong itu panjang, pencahayaannya redup. Di dinding tergantung foto-foto murid dan guru dari tahun 1950-an. Di ujung lorong ada ruang kelas yang selalu terkunci, nomor 13.
Sejak malam pertama, Nurul mendengar suara tangisan anak kecil, lirih dan terputus-putus, terdengar dari lorong itu. Tapi setiap kali ia mencari sumbernya, suara itu lenyap begitu saja.
---
“Sekolah ini punya kisah,” kata Pak Surya, kepala pelatihan. “Dulu, ada murid bernama Alina. Ia hilang setelah tersesat di lorong ini, malam sebelum sekolah ditutup karena kebakaran misterius. Tapi tubuhnya tak pernah ditemukan. Yang tersisa hanya boneka kecil di ruang kelas 13.”
Nurul menelan ludah. Ia tak suka cerita hantu, tapi entah kenapa, hatinya tertarik.
Arya, seperti biasa, skeptis. “Cerita seperti itu selalu ada di gedung tua.”
Namun malam itu, ia pun mendengar suara yang sama. Tangisan.
Dan lebih dari itu ada suara memanggil, “Bu... Nurul...”
---
Nurul terbangun pukul 02.17. Hujan mengguyur atap. Ia memandang ke lorong dari balik jendela kamar mess. Sosok anak kecil berdiri di ujung lorong, mengenakan seragam sekolah tempo dulu. Kuncir dua. Baju putih lusuh. Kepala sedikit miring.
Nurul membuka pintu. Lorong kosong. Tapi boneka kecil tergeletak di depan pintu kamarnya. Boneka kain dengan inisial A.L. dijahit di roknya.
Saat ia menoleh... suara tangisan itu terdengar dari ruang 13 yang katanya selalu terkunci.
---
Nurul mengajak Arya menyusuri lorong. Pintu ruang 13... terbuka.
Dalam kegelapan ruangan itu, mereka menemukan bangku-bangku tua berdebu, papan tulis retak, dan di sudut ruangan meja kecil dengan boneka serupa.
Saat Nurul menyentuh boneka itu, seluruh ruangan seakan bergetar.
Kilasan bayangan muncul. Gadis kecil duduk sendirian. Ia menulis sesuatu di kertas lusuh. Lalu terdengar suara-suara tawa ejekan dari luar. Gadis itu menangis, menyebut satu nama:
> “Bu Nurul... kenapa Ibu tidak kembali?”
---
Arya mulai menyadari bahwa Nurul kadang mengigau dalam tidur berbicara seperti guru TK, menyebut nama “Alina” dan mengulangi kalimat, “Ibu janji kembali ya, tunggu di kelas 13.”
Nurul pun mulai bermimpi aneh. Dalam mimpinya, ia mengenakan kebaya putih dan mengajar anak-anak di kelas tua. Salah satunya adalah Alina anak pendiam yang suka menggambar pohon dan menyendiri.
Dalam mimpi terakhirnya, ia lupa menjemput Alina karena harus pulang cepat. Malam itu, sekolah terbakar.
“Nurul,” kata Arya serius. “Aku rasa kamu... pernah ada di sini. Di masa lalu.”
---
Arya membaca buku catatan guru yang mereka temukan di laci tua ruang kepala sekolah. Di sana, tertulis nama:
> Nurul M. Rahmawati — Guru TK Tamu, 12 Februari – 28 Februari 1956.
Foto di sampingnya... identik dengan Nurul sekarang. Tak ada keraguan.
Nurul menggeleng. “Mustahil... aku bukan dia... tapi kenapa aku ingat semua?”
“Karena kau belum menepati janjimu.”
---
Malam terakhir pelatihan. Hujan deras. Petir menyambar. Lorong kosong itu kembali menggema oleh tangisan.
Nurul melangkah sendirian menuju ruang 13. Boneka A.L. ia bawa di tangan. Saat pintu terbuka, ia melihat Alina bukan sebagai bayangan, tapi nyata. Duduk, menggambar.
“Ibu janji kembali,” kata Alina lirih, tanpa menoleh.
“Ibu datang, Alina. Maafkan Ibu...” Air mata Nurul jatuh. Ia memeluk Alina, tubuh mungil itu terasa nyata.
Dalam pelukan itu, Alina menghilang perlahan. Hanya boneka yang tersisa, kini bersih dan utuh.
---
Esok pagi, ruang 13 kembali terkunci. Tapi boneka itu sudah tidak ada.
Pak Surya bercerita, “Aneh. Semalam ruang 13 terbuka, dan semua barang tua di dalamnya hilang. Seolah... dibersihkan.”
Arya dan Nurul saling pandang. Mereka tahu.
Ketika mereka kembali ke rumah, Nurul menulis:
> Kadang, kita meninggalkan janji di masa lalu yang tak kita ingat. Tapi jiwa tak pernah lupa.
Karena cinta, bahkan pada murid kecil yang hilang... bisa melintasi lorong waktu.