---
Kesombongan Sang Iblis: Kisah Kejatuhan Silas
###
Aku adalah **Silas**, salah satu dari mereka yang menghuni kedalaman. Keabadian adalah penjara sekaligus taman bermainku. Aku telah menyaksikan kekaisaran bangkit dan runtuh, memutarbalikkan takdir manusia hanya dengan bisikan. Mereka, manusia, adalah makhluk yang rapuh, mudah putus, dan sungguh, sangat menyenangkan untuk dihancurkan. Kebosanan adalah musuh terbesarku, dan setiap jiwa baru adalah intrik yang menyegarkan.
Ketika **Bastian**, kepala pelayan yang ambisius namun picik itu, memanggilku, aku tahu ini akan menjadi permainan yang mudah. Dia menginginkan kekuasaan, kekayaan, warisan tuannya. Permintaan yang klise, semudah menarik permen dari tangan anak kecil. Aku memberinya segalanya, dan sebagai gantinya, aku meminta jiwanya. Dan, oh, sebuah tambahan yang tak terduga: putrinya, **Elara**. Ada sesuatu dalam dirinya, sebuah nyala api kecil di balik mata yang cerdas itu, yang menarik perhatianku. Dia akan menjadi hidangan penutup yang lezat.
Aku masuk ke dalam kehidupan mereka dengan fasad yang sempurna. Tinggi semampai, rambut hitam pekat yang tertata rapi, mata biru yang menawan—semuanya adalah topeng. Aku adalah pelayan yang ideal, selalu selangkah di depan. Aku melihat bagaimana Bastian, mangsa yang kubenci sekaligus kukasihani, tenggelam dalam keserakahan. Aku membisikkan racun di telinganya, mendorongnya menyingkirkan siapa pun yang menghalangi.
**Tuan Maxwell** adalah salah satunya. Seorang kontraktor yang cerewet, terlalu berani mengorek-ngorek urusanku. Aku mencabik-cabiknya di gudangnya, meninggalkan jejak cakar hangus di dinding, bau belerang yang memuaskan. Polisi mengira itu perampokan yang salah. Bodoh. Mereka tidak akan pernah mengerti. Aku kembali ke mansion, ada noda merah samar di manset kemejaku. Elara melihatnya. Gadis itu memang tajam. Ia bahkan mendesis, "Bajingan sepertimu," saat aku lewat. Oh, aku menyukai perlawanan kecil itu. Itu membuat perburuan ini semakin menarik.
###
Malam bulan purnama pertama tiba. Aku memasuki kamar Elara, diterangi cahaya rembulan. Dia sudah menungguku, berdiri di tengah ruangan, matanya memancarkan campuran amarah dan tekad. Aku menyukai itu. Mangsa yang berani selalu lebih menyenangkan.
"Sudah waktunya, Nona Elara," bisikku, suaraku mengalun, mengikatnya. Aku melihatnya mencoba bergerak, mencoba berteriak, sia-sia. Kekuatanku terlalu besar.
Aku mendekat, membungkuk, menatap langsung ke matanya. Mata biru yang dipenuhi api amarah itu. Ada tarikan aneh yang kumiliki terhadap jiwanya. Aku menempelkan bibirku pada bibirnya dalam ciuman dingin yang membekukan. Aku merasakan esensinya terkuras, sebagian dari jiwanya tertarik padaku. Manis sekali. Rasanya seperti setetes madu yang paling murni, namun ada juga getir dari perlawanannya. Itu adalah rasa yang unik, berbeda dari jiwa-jiwa lain yang hanya pasrah.
Setelah ciuman itu berakhir, aku menarik diri, senyum puas mengembang. "Manis sekali," kataku, menjilat bibirku. "Satu hari kehidupan Anda, setiap bulan purnama. Sedikit demi sedikit, saya akan mengumpulkan Anda."
Dia terengah-engah, bagian dari dirinya telah lenyap. Tapi di matanya, nyala api itu belum padam. Bahkan, sepertinya semakin membara.
Dia mencoba melawanku secara fisik. Suatu sore, saat aku berdiri di belakangnya, memandang ke cermin, dia berbalik dan **menamparku**. Suara keras memenuhi ruangan. Tangannya yang rapuh itu pasti sakit, karena wajahku, yang terbentuk dari esensi neraka, tidak akan pernah terluka oleh sentuhan manusia.
"Sungguh... agresif," bisikku, mengusap pipiku yang sempurna. "Anda menyukai permainannya, rupanya. Saya suka itu. Tapi, Nona Elara, Anda tidak bisa menyakiti saya. Anda hanya menyakiti diri sendiri."
Kemudian, dia **mencakar wajahku**. Sebuah goresan tipis, seperti retakan di porselen, muncul di pipiku. Aku terkesiap. Bukan sakit, tapi... sebuah kejutan. Beraninya dia meninggalkan bekas? Itu tidak melukaiku, tapi itu adalah sebuah penodaan, sebuah perlawanan yang menjengkelkan.
"Beraninya kau..." desisku, suaraku sedikit berubah, lebih kasar. "Kau telah menyentuh wajah yang tidak boleh disentuh manusia rendahan."
"Aku bukan manusia rendahan, kau **iblis pengecut**!" balasku. Nyala api di matinya membara lebih terang. Aku menyukai perlawanannya. Ini akan membuatnya lebih manis saat ia akhirnya hancur.
Aku sering menawarkan hal-hal klise. Kekuasaan, cinta, bahkan keselamatan Julian Rothschild yang bodoh itu. Aku tahu dia peduli pada bocah itu. Itu adalah salah satu tali yang bisa kutarik. Aku menawarinya semua, hanya untuk membuatnya menyerah, untuk membuatnya menjadi sepertiku. "Bergabunglah denganku. Menjadi seperti saya," kataku.
"Aku tidak akan pernah menjadi sepertimu, kau **makhluk kotor**!" jawabnya, meludahiku dengan kata-katanya. Dia benar-benar memiliki nyali. Kesombonganku melonjak. Dia pikir dia bisa melawanku?
"Aku abadi. Aku telah melihat kekaisaran bangkit dan runtuh. Aku telah mematahkan jiwa-jiwa yang jauh lebih kuat darimu," aku menyeringai. Aku yakin dia akan patah. Cepat atau lambat, dia akan berlutut.
###
Aku melihat dia mencari buku-buku kuno, mencoba memahami diriku. Itu lucu. Manusia selalu percaya mereka bisa memahami kegelapan yang lebih tua dari waktu itu sendiri. Biarkan saja dia mencari. Semakin dia mencoba, semakin besar kehancurannya nanti.
Pada malam bulan purnama berikutnya, dia tidak bersembunyi. Dia menungguku. "Sudah waktunya, Nona Elara," kataku, senyum predatorku melebar. "Aku bisa merasakan jiwamu semakin rapuh. Kau akan memohon padaku."
"Tidak," jawabnya, suaranya serak tapi tegas. Tekad yang konyol.
"Aku punya penawaran," katanya tiba-tiba, suaranya berubah, menjadi lebih lembut, lebih rentan. Aku mengerutkan kening. Apa ini? Sebuah trik? Tapi ada kepalsuan yang sangat halus dalam kelembutan itu, yang membuatku tertarik. "Kebebasan," bisiknya. "Kebebasan dari kebosananmu. Bukankah kau bosan dengan janji-janji manusia yang mudah dipatahkan? Aku akan menunjukkan padamu kebosanan yang sesungguhnya. Aku akan menunjukkan padamu bahwa ada manusia yang tidak bisa kau hancurkan. Jika kau bisa mematahkan jiwaku sepenuhnya, jika kau bisa membuatku menyerah dan memohon padamu, maka aku akan menjadi milikmu. Sepenuhnya. Bukan hanya sepotong-sepotong. Tapi jika tidak, jika aku tetap berdiri, kau harus pergi dari mansion ini dan tidak pernah kembali, melepaskan ayahku."
Sebuah permainan. Tantangan. Dari manusia rendahan? Ini sangat menarik. Aku menyukai itu. Sebuah pertaruhan yang baru, yang tak terduga. Sebuah godaan yang memabukkan. "Aku janji, Elara, aku akan mematahkanmu. Aku akan membuatmu memohon. Dan jika itu terjadi, maka kau adalah milikku. Abadi." Aku mengangkat tanganku, sebagai tanda perjanjian. "Apakah kau berjanji untuk tunduk jika aku berhasil?"
"Aku berjanji," katanya.
"Baiklah kalau begitu, Nona Elara," aku membungkuk, senyumku lebar. "Permainan dimulai. Dan aku **janji** tidak akan ada seorang pun yang bisa menyelamatkanmu dariku. Tidak Julian, tidak ayahmu, tidak siapa pun. Kau akan sendirian, bersamaku, hingga kau hancur." Aku sangat yakin dengan kata-kataku. Bagaimana mungkin makhluk fana bisa menyelamatkan dirinya dari cengkeramanku?
### Bab 4: Rasa Pahit Kejatuhan
Minggu-minggu berikutnya adalah neraka baginya, surga bagiku. Aku meningkatkan seranganku. Mimpi buruknya semakin nyata, aku muncul dalam setiap bayangan. Aku melihat ayahnya hancur, menjadi boneka yang sempurna dari keserakahan. Julian dilarang bertemu dengannya. Aku mengamati Elara, menanti momen kehancurannya. Dia semakin lelah, semakin pucat, tapi api di matanya tidak padam. Menjengkelkan, tapi juga... menarik.
Pada malam bulan purnama berikutnya, aku datang lagi. Aku melihat kelelahannya, tapi juga tekadnya yang kokoh. "Sudah waktunya, Nona Elara," bisikku. "Aku bisa melihatnya di matamu. Kau hampir hancur. Kau akan memohon padaku malam ini."
"Tidak," katanya, suaranya serak, tapi tegas. "Aku tidak akan memohon padamu, kau **iblis busuk**."
Ia melangkah mendekat padaku. "Silas," katanya, suaranya kembali berubah, menjadi lebih lembut, lebih rentan, sebuah kepalsuan yang hampir sempurna. "Aku tahu kau kuat. Kau abadi. Tapi... kau tidak bisa memahami segalanya, bukan?"
"Apa yang kau maksud?" Aku merasakan sedikit kegusaran. Ada sesuatu yang tidak beres.
"Emosi manusia," bisiknya, melangkah lebih dekat. "Cinta. Benci. Kebaikan. Kejahatan. Semuanya terasa... lebih rumit dari sekadar kekuasaan, bukan? Kau hanya tahu bagaimana mengambil, bukan bagaimana merasakan."
Aku mencengkeram rahangnya. "Apa yang kau coba lakukan?" desisku. Dia mencoba menggangguku. Membuatku marah.
"Aku hanya bertanya," katanya, suaranya semakin melunak. "Kau mengambil jiwaku sedikit demi sedikit. Tidakkah kau pernah berpikir, bagaimana rasanya jika kau yang kehilangan kendali? Jika kau, seorang iblis, menyerah pada sesuatu yang tidak seharusnya kau miliki?"
"Aku adalah penguasa emosi, Elara. Aku tidak menyerah. Aku mengendalikan." Aku mengatakan ini dengan percaya diri, seperti kebenaran mutlak.
"Apakah begitu?" bisiknya, nyaris tak terdengar. "Atau kau terlalu takut untuk merasakannya? Takut menjadi... **iblis durhaka**?"
Kata-kata itu menghantamku seperti cambuk dari neraka. Mata merahku melebar. Kemarahan membakar. Dia berani mengucapkan itu? Aku menariknya mendekat, menciumnya dengan brutal, bukan untuk mengambil jiwa, tapi untuk menunjukkan siapa yang berkuasa. Untuk membungkamnya. Untuk menunjukkan nafsu kepemilikanku yang membara.
Saat bibirku menyentuhnya, saat aku berusaha mengambil lebih banyak, merasakan esensinya bergolak dalam diriku, ia menatapku. Dan dengan seluruh sisa kekuatannya, dengan suara yang nyaris tak terdengar, ia berbisik di tengah ciuman mengerikanku, **"Kau... mencintaiku, Silas?"**
Seketika, seluruh duniaku runtuh. Kata itu. Rasa yang aneh itu. Rasanya seperti api suci membakar dari dalam. Aku membencinya, jijik. Cinta? Aku? Itu... itu **terlarang**. Itu adalah emosi yang tidak mungkin kumiliki, yang tidak boleh kumiliki. Itu adalah racun bagi esensiku. Jiwa iblisku memberontak. Aku adalah iblis yang sempurna. Aku tidak boleh menjadi lemah. Aku tidak boleh menjadi... **iblis durhaka**.
"Tidak!" raungku, mendorongnya menjauh dengan kekuatan yang tak terkendali. Aku mencengkeram kepalaku, tubuhku berasap. Kebingungan, amarah, dan sebuah sensasi menjijikkan yang belum pernah kurasakan merasuki diriku. "Kau... kau menjebakku! Itu mustahil!"
Tubuhku berasap lebih tebal, membakar karpet di bawahku. Fasad sempurna yang kubangun selama berabad-abad retak, hancur. Wajahku berubah menjadi wujud asliku: gumpalan api yang menyala-nyala, dengan mata merah membara dan gigi-gigi taring yang mengerikan. Aku melolong kesakitan, bukan lagi karena luka fisik, tetapi karena jiwaku sendiri terkoyak oleh paradoks mengerikan yang diciptakan gadis manusia ini.
"Aku akan kembali, Elara!" raungku, suaraku mulai memudar seiring asap yang mengepul. "Ini belum berakhir! Aku akan memilikimu!" Itu adalah ancaman terakhir dari iblis yang jatuh.
"Tidak," katanya, suaranya tenang, penuh kemenangan. "Kau tidak akan pernah kembali. Aku sudah mematahkan janji yang tak bisa kau patahkan. Kau telah melanggar aturanmu sendiri. Kontrakmu hancur."
Dan kemudian, kegelapan melahapku. Kekuatan yang telah mengikatku pada dunia manusia hancur, remuk menjadi debu kosmis. Aku, Silas, iblis yang sombong dan tak terkalahkan, telah jatuh. Bukan karena kekuatan fisik, bukan karena ritual kuno, tetapi karena kata-kata seorang gadis manusia yang cerdik, yang memanfaatkan kesombonganku sendiri. Aku meremehkannya. Aku meremehkan emosi manusia, meremehkan apa yang mereka anggap sebagai "cinta".
Aku adalah lelucon dunia. Seorang iblis yang durhaka, diusir dari dunia fana, karena ia... merasakan. Dan itu, itu adalah kutukan terburuk dari semuanya.
---