## Palet Hantu
Elena adalah seorang pelukis. Bukan pelukis biasa yang melukis pemandangan indah atau potret manis. Paletnya dipenuhi warna-warna gelap: abu-abu yang muram, biru yang beku, merah marun yang menyerupai darah kering. Lukisannya adalah cermin dari jiwanya yang remuk, sejak **kecelakaan itu merenggut tunangannya, Daniel.**
Daniel meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil misterius, di jalan berliku menuju mercusuar tua di tepi tebing. Sebuah tempat yang sering mereka kunjungi, tempat di mana Daniel melamarnya. Sejak itu, Elena mengurung diri di studio tuanya, sebuah loteng berdebu dengan jendela besar yang menghadap ke laut lepas. Di sana, di antara kanvas-kanvas kosong dan cat-cat yang mengering, ia mencoba melukis ketiadaan yang Daniel tinggalkan.
Awalnya, lukisannya hanya refleksi dari kesedihannya yang mendalam. Ia akan berdiri di depan kanvas, kuas di tangan, menghela napas panjang. "Daniel," bisiknya pelan, seolah udara itu sendiri akan mengembalikan suaranya. "Aku merindukanmu." Ia melukis dengan linangan air mata, mencampur warna kesedihan yang pekat.
Namun, suatu malam, saat ia mencoba melukis potret Daniel dari ingatan, sesuatu yang aneh terjadi. Guratan kuasnya terasa bergerak sendiri, seolah ada tangan lain yang membimbing. Ia mencoba melawan, mengarahkan kuasnya untuk membentuk senyum khas Daniel, tapi kuas itu berbelok, menciptakan garis cemberut yang dalam.
"Tidak, Daniel, jangan seperti itu," gumamnya, menarik kuasnya. "Kau selalu tersenyum."
Di kanvas, wajah Daniel mulai terbentuk, namun dengan **mata yang kosong**, terdistorsi oleh bayangan hitam yang tak wajar di rongga mata. Ada sentuhan kengerian pada lukisan itu, sesuatu yang membuat bulu kuduk Elena meremang. Itu bukan Daniel-nya. Itu adalah sesuatu yang lain.
"Apa... apa ini?" Ia bertanya pada udara yang sunyi, tangannya gemetar.
Ia mengabaikannya sebagai kelelahan, menyalahkan kurang tidur dan kesedihan yang menggerogoti. Tapi keesokan harinya, saat ia melukis lagi, hal itu terulang. Kali ini, bukan hanya wajah Daniel yang aneh, tapi ada **sosok samar di latar belakang**, seperti siluet bayangan, menyerupai gumpalan kegelapan yang merayap di balik bahu Daniel. Sosok itu tampak mengawasi Daniel.
"Siapa itu?" Elena mundur selangkah, jantungnya berdebar kencang. Ia mencoba menghapus sosok itu dengan kain basah, tapi catnya tak bergeming, seolah sudah menyatu dengan kanvas. "Ini... ini gila."
Elena mulai merasa takut. Ia mencoba melukis hal lain: pemandangan laut yang tenang, bunga-bunga yang mekar di taman, apa saja yang jauh dari kenangan Daniel dan horor yang baru ini. Namun, setiap kali kuasnya menyentuh kanvas, sensasi dingin menjalari tangannya, dan lukisannya selalu berakhir dengan **detail-detail mengerikan**: riak air yang menyerupai wajah-wajah tenggelam, kelopak bunga yang layu seperti daging membusuk, atau mata-mata gelap yang mengintip dari balik bebatuan.
"Aku tidak bisa mengontrol ini!" teriaknya suatu sore, melempar kuasnya ke lantai. Cairan cat hijau dan cokelat memercik di mana-mana, menyerupai noda muntah. "Ini bukan aku yang melukis!"
Yang paling parah adalah saat ia melukis rumahnya sendiri, studio ini. Di lukisan itu, dinding-dinding studio tampak **retak dan berdarah**, dan sosok bayangan itu kini berdiri di sudut ruangan, semakin jelas, **semakin mengancam**. Matanya merah menyala, meskipun hanya berupa gumpalan bayangan.
"Kau... kau siapa?" Elena bergumam, menatap lukisan itu, seolah bayangan di kanvas bisa menjawab. "Apa yang kau inginkan dariku? Atau... dari Daniel?"
---
Kondisi mental Elena memburuk drastis. Lingkungan studio yang dulunya adalah tempat perlindungan, kini terasa seperti sangkar yang menyempit. Dinding-dinding seolah bergeser, membayangi. Sudut-sudut ruangan tampak lebih gelap dari biasanya, dan setiap bayangan memanjang seolah siap menerkam. Suara ombak yang menampar tebing di luar jendela terdengar seperti bisikan menggoda dari kedalaman, memanggil namanya. Ia sering mendapati dirinya menatap laut, bertanya-tanya apakah Daniel ada di sana, atau apakah ia hanya mendengar gema dari kesedihannya sendiri.
Gangguan-gangguan kecil mulai merayapi setiap sendi kehidupannya.
Saat ia duduk di meja dapur, mencoba menelan sarapan yang terasa seperti pasir, bayangan di sudut matanya bergerak. Piringnya yang kosong, seolah baru saja disapu bersih, tiba-tiba memiliki **jejak kehitaman** yang menyerupai noda hangus. Aroma amis dan gosong yang ia cium di studio kini samar-samar tercium dari makanannya. "Apa ini?" ia bertanya pada diri sendiri, menjauhkan piring dengan jijik.
Di sore hari, saat ia mencoba menyirami tanaman pot di dekat jendela, air dari selang tiba-tiba berubah warna menjadi **merah marun pekat** seperti darah kental, sebelum kembali jernih dalam sekejap mata. Elena berteriak, menjatuhkan selang, jantungnya berdebar kencang. Debu dari pot tanaman di tangannya terasa seperti abu dingin.
Yang paling mengerikan adalah cermin. Setiap kali ia menatap pantulannya di cermin kamar mandi, ada **sesuatu di belakangnya**. Bukan bayangan ruangan, melainkan **siluet gelap** yang melayang, semakin dekat setiap detiknya, mengawasi gerak-geriknya. Elena akan berbalik dengan cepat, tapi tidak ada apa-apa di sana. Hanya kamar mandi kosong, dan rasa dingin yang menusuk.
Tidur, yang seharusnya menjadi pelarian, berubah menjadi medan pertempuran. Setiap kali Elena memejamkan mata, ia terjatuh ke dalam mimpi yang sama: **jalan berliku menuju mercusuar, mobil Daniel yang terbakar, dan sosok bayangan yang berdiri di atas Daniel yang sekarat.** Ia akan terbangun dengan napas terengah-engah, tubuhnya bermandikan keringat dingin, merasakan sentuhan dingin di lehernya.
Suatu pagi, ia bangun dengan pusing hebat dan mual. Seluruh tubuhnya terasa pegal, seolah ia baru saja bertarung. Cermin di sudut ruangan menunjukkan wajahnya yang pucat, dengan lingkaran hitam di bawah mata yang cekung. Ia tahu, ia tidak bisa terus seperti ini. Ia tidak bisa lagi membedakan antara mimpi dan kenyataan.
Dengan tangan gemetar, ia merogoh laci meja kerjanya. Di sana, tersembunyi di bawah tumpukan sketsa lama, ada sebotol pil kecil. Resep dari dokter yang ia temui sebulan lalu. **Obat penenang**. Dokter itu, dengan nada prihatin, telah berkata, "Nona Elena, Anda butuh istirahat. Stres pasca-trauma bisa sangat melelahkan. Minumlah ini untuk membantu Anda tidur."
Elena menatap botol itu. Apakah ini jalan keluar? Jalan keluar dari kengerian yang ia alami, atau hanya jalan keluar dari kesadarannya? Dengan bibir bergetar, ia mengeluarkan dua pil, menelannya tanpa air. Rasa pahit obat itu terasa di lidahnya, seperti pahitnya kenyataan yang terus-menerus ia hindari.
Setelah menelan pil, kesadarannya sedikit melayang. Sudut-sudut studio tidak lagi tampak begitu gelap. Bayangan-bayangan seolah mundur. Bisikan-bisikan menjadi lebih samar, seperti desiran angin di kejauhan. Ini adalah kedamaian semu yang menipu, namun Elena membutuhkannya. Dalam kondisi yang setengah sadar, ia membuat keputusan yang didorong oleh keputusasaan dan rasa sakitnya.
---
Suatu malam, dengan efek pil yang samar di benaknya, ia memutuskan untuk melukis kecelakaan Daniel. Ia ingin membebaskan dirinya dari obsesi ini, atau mungkin, untuk menghadapi apa pun yang bersembunyi di baliknya. "Aku harus melihatnya, Daniel," bisiknya pada dirinya sendiri, jemarinya memegang kuas dengan tekad yang goyah. "Aku harus tahu apa yang terjadi padamu."
Dengan tangan gemetar, ia mulai melukis jalan berliku, mercusuar di kejauhan, dan mobil Daniel yang terbalik di jurang. Namun, begitu kuasnya mencapai bagian mobil, sebuah **suara benturan keras** menggelegar dari dalam lukisan. Kanvas bergetar hebat, dan cat-cat di atas paletnya bergejolak seperti darah yang mendidih. Aroma amis dan gosong kembali menusuk, semakin kuat dari sebelumnya.
Di dalam lukisan, mobil Daniel tidak hanya terbalik, tapi ada **sosok Daniel di dalamnya**, dengan wajah yang dipenuhi kengerian, tangannya terulur ke arah Elena seolah meminta tolong. Darah mulai merembes dari luka-lukanya di kanvas, membasahi serat-serat kain. Dan di samping mobil, berdiri **sosok bayangan itu**, jauh lebih besar, jauh lebih solid, dengan mata merah menyala yang menatap langsung ke arah Elena, penuh kebencian dan rasa memiliki.
"Dia bukan sendirian," bisik suara serak di telinga Elena, dingin dan tajam, seolah keluar dari kanvas itu sendiri. "Dia tidak pernah sendirian. Dia adalah **milikku**."
Elena menjatuhkan kuasnya. Palet cat terjatuh dengan suara nyaring, memecah kesunyian yang mencekam. Ia mundur, napasnya tersengal. Kengerian itu kini bukan hanya ada di kanvasnya, tapi juga di sekelilingnya. Udara terasa dingin, seperti ada yang berdiri tepat di belakangnya.
"Kau... kau yang melakukannya?" Elena berbisik, menatap bayangan di kanvas dengan mata membelalak. "Kau yang membunuh Daniel?"
Sosok bayangan itu di kanvas bergerak, seolah mengangguk, lalu tangannya yang kurus terangkat, menunjuk ke arah Elena. Lukisan itu seolah bernapas, memancarkan aura dingin yang menusuk tulang. Cat-cat di palet dan kuas di sekitar studio mulai bergejolak, mendidih, dan menguarkan kabut tipis berwarna kelabu.
"Kau tidak bisa menghancurkanku, Elena," suara serak itu kembali, kini terdengar dari seluruh ruangan, seolah udara itu sendiri yang berbicara. "Aku ada di dalam dirimu. Di dalam kesedihanmu. Di dalam setiap lukisanmu."
Kini, bukan hanya bayangan di kanvas. Di setiap sudut studio, bayangan-bayangan gelap mulai memadat, menari-nari di antara tumpukan cat dan kuas, membentuk sosok-sosok kurus yang menyerupai hantu. Mereka mendekat perlahan, langkah mereka tak bersuara, hanya deritan lantai tua yang menjadi saksi bisu.
Elena menyadari, setiap lukisan yang ia buat, setiap goresan kuas yang terbimbing oleh kekuatan tak terlihat, bukan sekadar ekspresi duka. Itu adalah **portal**. Sebuah portal yang ia buka dengan patah hatinya, menarik entitas gelap itu semakin dekat ke dunianya. Dan kini, entitas itu ingin Daniel sepenuhnya, dan mungkin juga **jiwa Elena.**
"Aku tidak akan membiarkanmu!" teriak Elena, air mata mengalir di pipinya. "Kau tidak bisa mengambilnya dariku lagi!"
Ia meraih pisau palet yang tajam, bersiap menyerang kanvas itu, menghancurkan portal dan memutus ikatan yang mengerikan ini. Namun, saat tangannya mendekati kanvas, sosok bayangan di dalamnya tumbuh semakin besar, semakin nyata. Ruangan bergetar. Lampu di loteng mulai berkedip liar, sesekali mati total, menjerumuskan studio ke dalam kegelapan pekat yang hanya sesaat, sebelum menyala kembali, menunjukkan bayangan-bayangan yang semakin mendekat. Aroma amis yang membusuk semakin kuat, membuat Elena mual dan kepalanya berdenyut.
Sebuah dilema yang mengerikan: menyingkirkan hantu, atau mempertahankan cinta yang menghantui. Elena tahu, menghancurkan lukisan itu berarti menghancurkan kenangan Daniel yang ia miliki, kenangan yang kini tercemar oleh kengerian. Tapi jika tidak, ia akan kehilangan segalanya, termasuk dirinya sendiri.
Waktu terus berdetak, karena sosok bayangan di kanvas itu semakin jelas, semakin nyata, dan Elena bisa merasakan sentuhan dinginnya di punggung, seolah tangan tak kasat mata siap mencengkeramnya. Keputusan ini akan menjadi ujian terakhir bagi kewarasannya.
"Pergi! Pergi dari sini!" Elena berteriak, suaranya pecah, sambil mencoba mengayunkan pisau paletnya ke udara, melawan musuh yang tak terlihat namun terasa begitu nyata. Ia tahu, perjuangan ini baru saja dimulai. Dan untuk pertama kalinya sejak Daniel meninggal, Elena tidak hanya merasakan kesedihan, tapi juga rasa takut yang membakar, sebuah ketakutan yang membuatnya ingin berjuang untuk hidupnya sendiri.
---