---
Teman Kalem Tapi Bikin Stress: Kisah Alena dan Zeinia di Ujung Tali Kesabaran
Alena Rania, 18 tahun, mahasiswa baru jurusan Sastra Anti-Galau di Universitas Serba Bisa, sedang duduk termenung di kantin kampus. Tangannya menopang dagu, wajahnya murung, dan ponselnya terbuka pada layar “Saldo e-wallet: Rp 3,00”.
“Zeinia...” gumam Alena dramatis, “Kita harus nyari kerja sambilan. Kalau enggak, aku akan makan bayanganmu setiap siang.”
Zeinia, yang duduk di depannya, tampak kalem. Rambutnya dikuncir rapi, kemeja putihnya disetrika dengan sempurna. Dari jauh, dia kelihatan seperti anak dekan. Tapi dari dekat…
“Kerja sambilan? Gampang. Kita jadi pemburu hantu aja. Aku ada koneksi sama dunia gaib.” katanya serius.
Alena menatapnya lempeng. “Aku lagi ngomongin kebutuhan hidup, bukan skrip sinetron jam 2 pagi.”
Zeinia mengambil roti bakar dari nampannya, menggigitnya pelan, lalu menjawab, “Tapi beneran. Malem-malem WC gedung F itu angker. Aku kemarin ngomong sama keran air, dia ngaku mantan mahasiswa.”
Alena menyadari satu hal: sahabatnya ini terlihat kalem bukan karena kalem, tapi karena mikirnya belok ke dimensi lain.
---
Kehidupan kampus mereka dipenuhi hal-hal absurd. Seperti waktu mereka ikut organisasi Kecintaan Terhadap Kucing Virtual (KTKV), sebuah komunitas yang tiap minggu rapat untuk... me-review foto kucing dari internet.
“Anggota baru, silakan perkenalkan diri,” kata ketua organisasi, seorang senior bernama Kak Bram yang membawa boneka kucing sebagai penunjuk bicara.
Alena berdiri. “Hai, aku Alena. Aku ikut karena... e-wallet aku kosong, dan aku pikir di sini ada snack.”
Zeinia menyusul. “Nama saya Zeinia. Saya tertarik karena kucing itu adalah perwujudan kebaikan dan... katanya kalau kita menyatu secara spiritual dengan meong, hidup jadi lebih berkah.”
Semua tepuk tangan. Kak Bram menangis pelan sambil memeluk boneka kucingnya. “Akhirnya... ada yang mengerti…”
Alena melirik Zeinia. “Lu serius barusan?”
Zeinia membalas dengan senyum kalem. “Nggak. Gue cuma ngarang. Tapi seru, kan?”
---
Puncaknya adalah saat mereka mendaftar lomba Debat Mahasiswa Nasional, karena menurut Zeinia, “Lumayan, hadiahnya motor. Bisa kita jual buat beli nugget.”
Masalahnya, topik debat mereka adalah:
“Apakah bantal lebih penting dari kasur?”
Dan mereka di tim pro-bantal.
Hari H, Alena berdiri dengan percaya diri (dan sedikit panik), memulai argumen, “Saudara juri, kasur itu overrated. Tanpa bantal, manusia akan hidup dalam kehampaan. Tidak ada peluk-pelukan hangat. Tidak ada dukungan emosional saat nonton drama Thailand. Bantal adalah sahabat!”
Zeinia menambahkan, dengan suara lembut tapi penuh semangat, “Bahkan di zaman prasejarah, manusia menggunakan batu sebagai bantal. Tapi tidak ada satu pun bukti bahwa mereka bawa kasur ke gua. Terima kasih.”
Ajaibnya... mereka menang juara dua.
Hadiah? Helm.
“Yaudah, satu langkah lebih deket ke motor,” kata Zeinia, memeluk helm itu seperti anaknya sendiri.
---
Hidup mereka seperti reality show tanpa naskah. Suatu hari, Alena kepikiran hal random.
“Zei, menurut lo... kalau aku reinkarnasi jadi burung, kira-kira aku bakal jadi burung apa?”
Zeinia menjawab tenang, “Elang. Karena kamu suka menerkam masalah... terus lari dari tanggung jawab.”
Alena melempar sandal. Zeinia menangkapnya pakai raket nyamuk.
---
Tapi di balik semua kekonyolan itu, persahabatan mereka tulus banget. Saat Alena sakit karena demam dan kangen mie ayam kampung halaman, Zeinia muncul dengan mangkuk plastik dan pengumuman nyeleneh:
“Aku nyuri resep mie ayam dari alam mimpi. Rasanya 80% akurat, 20% eksperimental. Tapi... penuh cinta.”
Rasanya? Aneh. Tapi Alena makan sampai habis, karena kadang, bentuk cinta paling nyata adalah masakan aneh buatan sahabat.
---
Dan begitulah hidup dua anak absurd ini berjalan. Kadang mereka jadi detektif kampus buat nyari pencuri sandal. Kadang mereka jadi relawan acara donor darah cuma karena dapet roti dan susu kotak. Kadang mereka nangis bareng nonton video bayi beruang.
Tapi satu hal yang pasti...
Dalam dunia yang penuh tugas, drama, dan dosen killer, Alena dan Zeinia punya satu sama lain — dan itu cukup untuk bikin kampus terasa kayak rumah... yang penuh tawa, sandal ilang, dan mie ayam experimental.
---