Beberapa hari terakhir, Mama selalu khawatir saat aku pulang sekolah. Dia memarahiku, menasehatiku, dan juga merawat luka-lukaku. Kalimat yang selalu terlontar dari lisannya adalah,
"Jangan nakal, ya? Siapa yang membuatmu berantakan seperti ini?"
Aku tidak pernah mau menjawab. Aku selalu menggelengkan kepala, meyakinkan Mama jika aku baik-baik saja. Namun demikian, dia tetap sabar. Setiap malam aku selalu mengintip Mama mencuci seragamku yang kotor penuh tanah juga darah. Dan ketika Mama memergokiku, dia akan berkata,
"Apa kamu sudah belajar, sayang? Mama sudah menyiapkan makan malam untukmu."
Aku takut. Aku tidak punya keberanian untuk menceritakan hal-hal yang menimpaku. Aku takut Mama bersedih.
Semuanya salah Jericho. Dia yang menggangguku. Dia yang mengacak-acak bekal makan siang buatan Mama. Dia juga yang membuang buku bahkan tasku ke dalam sungai. Mama bilang jika aku bersabar, bocah nakal akan berhenti menggangguku.
Tapi, ucapan Mama bohong.
Jericho tidak pernah berhenti menggangguku. Bahkan sikapnya semakin tengil setiap harinya. Aku tidak kuat. Aku tidak mampu bersabar jika selalu ditindas. Dan aku juga tidak mau melihat ekspresi sedih Mama setiap aku pulang sekolah.
Mungkin, batas kesabaran Mama telah habis. Mama geram mendapatiku selalu membawa pulang memar dan luka.
Hingga pada hari itu, Mama yang tidak pernah mengantarkanku, tiba-tiba memaksaku untuk ikut ke sekolah. Sampai di titik ini, aku belum cerita sebenarnya. Dengan marah Mama berkata,
"Tidak ada yang boleh melukai kamu! Sekarang cepat tunjukkan bocah mana yang membuatmu seperti ini!"
Lagi dan lagi, aku hanya menggelengkan kepala. Dengan lembut aku menenangkan Mama lalu menjawab, "Dia tidak berangkat, Ma. Lihat? Bangkunya kosong." Atensi Mama jatuh pada tempat duduk kosong yang berada di belakang kelas. Dia tidak berkomentar, hanya menghela napas panjang.
Setelah mengendalikan emosinya, Mama merapikan rambut hitam panjangku yang terurai. Meski tersenyum, aku masih bisa melihat tatapan khawatir yang tersirat dari binar netra sayunya.
"Mulai sekarang Mama akan mengantar dan menjemputmu, okay?" Dengan penuh antusias aku mengangguk, tersenyum hangat kepadanya.
Kita berpisah di depan kelasku. Mama melambaikan tangan, berjalan menjauhiku sebelum akhirnya menghilang dari pandangan. Karena suasana sekolah relatif sepi, segera aku berlari menuju hutan belakang sekolah. Menapaki dedaunan kering yang berguguran, mengikuti batang pohon besar yang telah aku tandai memakai cat putih.
Tidak jauh dari sana, tampak satu-satunya gubuk kecil di tengah hutan. Membuka gembok menggunakan kunci yang aku simpan, aku sangat bahagia menyapa Jericho yang terkapar lemas penuh luka dengan aroma kotoran menusuk penciumanku.
Menyadari kedatanganku, Jericho panik luar biasa berusaha menjaga jarak. Namun hal itu sama sekali tidak mengusikku.
Sebagai tanda terima kasihku karena masih mempunyai keinginan bertahan hidup, aku mengeluarkan sebungkus roti dari dalam tas dan melemparkan ke arahnya. Dengan rakus Jericho melahap roti itu.
Sungguh, pemandangan yang sangat cantik.
"Kamu jangan berisik, ya? Mama curiga denganmu. Aku bilang jika kamu tidak berangkat sekolah hari ini. Jadi ... kamu tidak akan tersandung masalah yang lebih besar."
Jericho tidak menggubris ucapanku. Baru satu minggu terkurung, tubuh besarnya menyusut. Netra sayunya begitu cekung, pipinya pun tirus. Bahkan beberapa luka belum sepenuhnya mengering, mengeluarkan bau yang kurang sedap.
Aku harus berterima kasih kepada Papa karena menyimpan rantai kukuh di ruang basement, sangat kukuh untuk menjerat bocah senakal Jericho. Rantai kukuh yang bisa mengubah kepribadian tengil menjadi pendiam.
"Ih kamu jorok hahaha!" Aku tertawa puas menunjuk Jericho yang pipis di celana. Wajah lesunya tertunduk malu. Dia yang biasanya tidak pernah puas menertawakanku, kini diam seribu bahasa.
"Aku ke kelas dulu, ya? Sebentar lagi bel masuk. Nanti kita bermain seperti biasa, okay? Sampai jumpa!"
Jericho panik. Benar-benar panik. Dia yang sedari awal cukup tenang kini meronta-ronta meminta untuk dilepaskan. Tapi aku tidak peduli. Bocah menyebalkan sepertinya harus diberi pelajaran setimpal karena telah membuat Mama selalu sedih.
Tapi, bagaimana Jericho bisa melawanku jika tangan, kaki, bahkan lehernya terikat oleh rantai? Tentu pertanyaan sederhana ini tidak perlu jawaban langsung dariku.
Aku hanya ingin Mama mengira jika Jericho adalah bocah menyebalkan yang selalu menggangguku itu.