Hari itu Nurul sedang membersihkan laci tua di rumah baru mereka di daerah pegunungan kecil, jauh dari hiruk-pikuk kota. Rumah itu dibeli Arya karena letaknya tenang dan cocok untuk menulis, hobi barunya sejak kejadian cermin tiga bulan lalu.
Di antara tumpukan surat usang dan kliping koran tua, Nurul menemukan satu amplop yang belum terbuka. Warnanya coklat pucat, ujungnya mulai rapuh dimakan waktu. Namun yang membuatnya merinding adalah tulisan di depannya:
> Untuk: Nurul
Dari: Arya
Dikirimkan: 28 Februari 1987
Nurul membeku. Ini mustahil. Ia baru lahir tahun 1998. Dan Arya… tak mungkin menulis surat ini di masa itu.
Namun tulisannya identik. Bahkan gaya hurufnya adalah gaya khas Arya yang suka menulis tangan dengan tinta hitam dan huruf miring kecil.
Dengan gemetar, ia membuka surat itu.
---
Isi Surat
> Nurul,
Jika kau membaca ini, maka aku berhasil melintasi waktu, meski hanya melalui tinta.
Aku tidak tahu apakah kita sudah saling mengenal di masamu. Tapi aku tahu aku mencintaimu, sejak pertama kali aku bermimpi tentangmu.
Setiap malam sejak Desember 1986, aku bermimpi tentang perempuan yang berjalan di bawah hujan, menggendong buku, memeluk dunia dengan kesedihan di matanya.
Aku menggambar wajahmu, aku merekam suaramu dalam mimpi.
Lalu, sebuah suara berbisik: “Tulislah surat untuknya. Ia akan menemukannya, tiga dekade dari sekarang.”
Jika kau Nurul yang aku impikan... carilah aku. Di mana pun aku berada.
Di balik batas waktu, aku menunggumu.
– Arya, Februari 1987
---
Dunia seakan berhenti berputar bagi Nurul. Ia mendengar detak jantungnya sendiri seperti gema di ruang kosong. Ia tak pernah memberi surat itu kepada Arya sebelumnya, dan tak ada cara baginya untuk menuliskannya di masa lalu.
Tapi surat itu nyata. Kertasnya tua. Baunya seperti buku perpustakaan lama.
Ia menunjukkan surat itu pada Arya.
Arya membacanya berkali-kali, lalu duduk diam selama satu jam tanpa berkata apa pun.
“Aku... pernah mimpi menulis surat ini,” katanya akhirnya. “Saat masih kuliah. Tapi aku pikir itu hanya... bunga tidur.”
---
Mereka mencari informasi tentang pemilik rumah sebelumnya, dan mendapati nama seorang penulis muda yang tinggal di sana pada tahun 1980-an: Arya D. Lesmana. Umurnya 23 tahun saat ia menghilang tanpa jejak pada Maret 1987.
“Aku punya nama tengah yang sama... Dewa,” kata Arya pelan.
“Kau pikir kau adalah dia?”
“Aku pikir... aku adalah kelanjutannya.”
---
Nurul menemukan manuskrip yang belum diterbitkan di bawah lantai ruang kerja: naskah novel berjudul “Untuk Nurul, Yang Belum Kutemui”. Setiap halaman berisi penggalan kisah romansa tragis antara seorang penulis muda dan gadis dari masa depan. Nama karakternya? Arya dan Nurul.
Beberapa kejadian dalam naskah itu adalah hal-hal yang sudah mereka alami. Bahkan deskripsi bajunya, ekspresi wajah, kebiasaan minum teh, semua persis.
Arya membacanya dengan tangan gemetar. “Aku tidak menulis ini. Tapi ini... suara hatiku.”
---
Malam itu, hujan turun. Nurul berjalan keluar untuk menenangkan diri, dan tiba-tiba ia mendengar suara radio tua dari rumah sebelah—padahal rumah itu kosong.
“...cuaca hari ini, 28 Februari 1987, hujan deras diperkirakan mengguyur kawasan pegunungan hingga malam...”
Ia masuk ke rumah itu dengan rasa penasaran dan ketakutan. Semua benda di dalamnya bergaya 80-an. Tak ada sinyal ponsel. Bahkan jam dinding menunjukkan pukul 10:45 pagi, padahal kini sudah pukul 9 malam.
Ketika ia melihat ke cermin kecil di dinding... ia tak melihat bayangannya sendiri. Yang ia lihat adalah dirinya berambut panjang, mengenakan blus putih, dan... sedang menulis surat.
Surat itu... untuk Arya.
---
Arya menemukan Nurul duduk di halaman rumah tetangga, linglung. Tapi di tangannya, ada selembar kertas basah yang baru saja ia tulis. Isinya identik dengan halaman terakhir manuskrip Arya D. Lesmana tahun 1987.
> Arya,
Jika kita pernah hidup di waktu yang berbeda, maka biarlah cinta kita menjadi jembatan.
Jika tubuh kita tak bisa bertemu, biarlah kata menjadi tangan yang menyentuhmu.
Jika waktu memisahkan kita, maka waktu juga akan menyatukan kita.
– Nurul
Arya tak bisa menahan air mata. Ia tahu: ini bukan hanya surat cinta. Ini adalah pengakuan bahwa jiwa mereka pernah bertemu dalam bentuk lain, dalam masa yang asing, dalam ruang yang tidak masuk akal.
---
Arya dan Nurul akhirnya menerbitkan novel itu, dengan dua nama penulis: Arya D. Lesmana dan Nurul Maresya. Novel itu menjadi terkenal di kalangan pembaca misteri-romantis karena kisah nyata di baliknya.
Tapi lebih dari itu, mereka tahu... bahwa cinta sejati tidak hanya terjadi dalam satu hidup. Kadang, ia melintasi dimensi. Kadang, ia menulis surat dari masa lalu agar bisa sampai kepada yang ditakdirkan.
Dan di malam hari, saat hujan turun pelan, Arya sering menatap jendela dan berkata, “Terima kasih... karena menemukan surat itu.”
Nurul tersenyum. “Atau mungkin... surat itu yang menemukan kita.”