Malam itu, hujan turun deras membasahi kota kecil tempat Nurul tinggal. Aroma tanah basah dan suara rintik air menambah kesan muram di rumah peninggalan neneknya yang sudah lama kosong. Rumah itu baru saja ia tempati dua minggu lalu, setelah Arya, sahabat masa kecilnya yang kini menjadi kekasihnya, membantunya memutuskan pindah dari ibu kota.
Di ruang tengah, Nurul membersihkan sebuah cermin antik berbingkai emas yang ia temukan di loteng. Bingkainya berukirkan motif mawar layu, dan permukaannya sedikit buram seakan menyimpan kabut masa lalu.
"Aneh," gumam Nurul saat ia melihat pantulan cermin itu menampilkan sosok Arya yang sedang berdiri di belakangnya padahal Arya belum datang malam itu.
Ia menoleh cepat. Tidak ada siapa pun.
Jantungnya berdegup cepat. Ia mencoba tertawa kecil untuk menenangkan diri. “Halusinasi karena lelah,” katanya pada diri sendiri.
Namun malam demi malam, bayangan Arya di cermin itu semakin nyata. Kadang ia melihat Arya berdarah, kadang berteriak tanpa suara, kadang menatapnya dengan mata kosong. Sosok itu tak pernah berbicara, namun mata gelapnya selalu seakan menyimpan pesan yang belum selesai.
Suatu malam, Arya benar-benar datang. Nurul, dengan gugup, mengajak Arya melihat cermin itu. Tapi anehnya, saat Arya berdiri di depannya, cermin tak memantulkan apa-apa. Hanya dinding kosong.
"Aku tak melihat apa-apa, Nurul," kata Arya bingung. Matanya menyapu cermin dengan waspada.
Namun saat Nurul berdiri sendirian di depan cermin, bayangan itu kembali muncul dan kali ini, Arya dalam cermin berbisik.
"Selamatkan aku... sebelum waktu habis."
Nurul membeku. Kata-kata itu tak terdengar di telinga, tapi menancap langsung di pikirannya. Seolah-olah suara itu dikirim langsung ke dalam batinnya.
---
Dua Hari Kemudian
Arya memutuskan untuk membawa cermin itu ke temannya, Adnan, seorang kolektor benda-benda tua yang juga sedikit paham tentang okultisme.
“Cermin ini berasal dari tahun 1950-an,” kata Adnan sambil mengamati bingkai. “Gaya ukirannya khas era kolonial akhir. Tapi... lihat ini.” Ia menunjuk lambang kecil di sudut belakang kayu: mata tertutup bunga teratai.
“Lambang apa itu?” tanya Nurul.
Adnan tampak berpikir. “Legenda lokal menyebutnya sebagai Simbol Mata Terlelap. Digunakan dalam ritual penyegelan roh... atau dalam beberapa cerita, untuk menjebak waktu seseorang.”
Arya dan Nurul saling pandang.
“Ini bukan sekadar cermin biasa,” lanjut Adnan, “dan jika kamu melihat pantulan orang yang seharusnya tidak ada, bisa jadi itu... pantulan dari dunia yang tertahan. Roh yang tertinggal. Atau... waktu yang tak sempat berjalan.”
---
Kembali ke Rumah
Nurul tak bisa tidur malam itu. Ia duduk di depan cermin, menyalakan lilin dan mencoba mengingat tiap detail bayangan Arya yang ia lihat. Saat jarum jam menunjukkan pukul 03:00, udara di sekelilingnya menegang.
Cermin memantulkan kamar seperti biasa, tapi kemudian kabut mulai merambat dari sisi dalam kacanya. Lalu muncullah sosok Arya dengan luka di pelipis dan darah mengering di kemeja putihnya.
"Arya...?" bisiknya, tenggorokannya kering.
"Ini bukan aku... ini dia yang terjebak," suara itu menggetarkan hati Nurul. "Kau harus membangunkanku... sebelum tubuhku tak bisa kembali."
"Apa maksudmu?"
Tapi bayangan itu menghilang, meninggalkan jejak embun di permukaan kaca.
---
Penyelidikan Masa Lalu
Keesokan harinya, Arya dan Nurul menggali sejarah rumah nenek Nurul. Mereka menemukan buku harian tua di loteng tertulis oleh seorang wanita bernama Sari, pemilik rumah tahun 1952.
> Hari ke-17 bulan Maret. Aryaku tak kembali. Mereka bilang dia tewas tenggelam. Tapi aku tahu ia masih hidup, terperangkap dalam bayangan yang tak bergerak. Cermin itu menahannya. Aku mendengarnya setiap malam... memanggil namaku...
Nurul membacanya dengan napas tercekat. “Arya, nama lelaki itu sama denganmu...”
“Dan dia hilang tahun 1952... mungkin”
“mungkin kau adalah reinkarnasinya.”
---
Ritual Pengembalian Waktu
Adnan memberikan solusi terakhir: cermin itu harus “dibalik” di bawah cahaya bulan baru, di ruangan tertutup, saat pukul 03:00. Seseorang yang terikat secara emosional dengan roh di dalamnya harus menjadi perantara.
Nurul menjadi perantara itu.
Di dalam ruangan gelap, hanya diterangi lilin, ia berdiri di depan cermin. Tangan kanannya menyentuh permukaan kaca dingin itu. Di belakangnya, Arya berdiri dalam diam.
Pukul 03:00.
Kabut dalam cermin bergolak. Sosok Arya dari cermin muncul... dan perlahan melangkah keluar.
Tapi ia tidak sendiri.
Sari muncul di belakangnya, wajahnya penuh luka, matanya basah. “Jangan ambil dia dariku... aku telah menunggunya selama 73 tahun...”
Nurul menahan napas. Ia bisa merasakan kesedihan yang menguar dari sosok wanita itu.
“Maafkan aku, Sari... tapi dia sudah bukan milik masa lalu.”
Dengan satu tetes air mata yang jatuh ke cermin, cahaya terang meledak. Nurul terjatuh.
Saat ia bangun, Arya memeluknya erat. Tak ada lagi kabut. Tak ada lagi bayangan.
Cermin itu kini hanya cermin biasa.
---
Tiga bulan kemudian
Mereka pindah dari rumah itu. Namun hubungan mereka berubah. Lebih erat. Lebih dalam. Kadang, Arya masih diam saat malam, seolah mengingat sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Tapi ia tahu, cinta sejatinya bukan hanya sekadar takdir, tapi perjuangan dua jiwa untuk bertemu meskipun melintasi waktu.
Dan di ruang penyimpanan, cermin itu kini terbalik. Tak ada yang berani menyentuhnya lagi.
Tapi jika kau berani melihat ke balik kaca itu pada pukul 03:00, kau mungkin akan melihat kisah cinta lain... yang masih menunggu diselamatkan.