Pada zaman dahulu kala, di sebuah kerajaan kecil di kaki Gunung Merapi, hiduplah seorang Ratu Sumber Dewi yang sangat cantik. Keindahan wajah dan parasnya tak tertandingi oleh siapa pun di seluruh kerajaan. Ratu Sumber Dewi selalu memandang cermin dan berkata, “Siapa yang paling cantik di kerajaan ini?”
“Engkau, Ratu,” jawab cermin ajaib yang diberikan oleh seorang dukun sakti.
Namun, seiring waktu, kecantikan Ratu Sumber Dewi mulai meredup karena umur yang semakin tua. Rasa cemburu mulai menggerogoti hatinya, hingga suatu hari, Ratu bertanya pada cermin ajaibnya, “Siapa yang paling cantik sekarang di kerajaan ini?”
Cermin itu menjawab, “Putri Sinta Rara, anak perempuanmu, jauh lebih cantik dari engkau.”
Ratu itu terkejut dan marah, karena merasa tak ada yang boleh lebih cantik darinya. Dalam kemarahannya, ia memerintahkan seorang pemburu untuk membawa Putri Sinta Rara ke hutan dan membunuhnya.
Pemburu yang diminta oleh Ratu untuk membunuh putrinya merasa sangat berat hati. Namun, karena takut pada Ratu, ia akhirnya membawa Sinta Rara ke hutan. Namun, di dalam hati, pemburu itu tidak tega dan membiarkan Putri Sinta Rara melarikan diri ke dalam hutan yang lebat.
Sinta Rara yang merasa ketakutan berlari jauh ke dalam hutan. Setelah berlari cukup lama, ia menemukan sebuah rumah kecil yang terbuat dari bambu dan kayu. Di depan rumah itu terdapat tujuh orang tua yang tinggal bersama. Mereka adalah tujuh petani tua yang sangat baik hati dan tidak memiliki keluarga. Mereka menerima Sinta Rara dengan hangat, memberi tempat tinggal, dan mengajaknya bekerja di rumah mereka.
Setiap hari, Sinta Rara merawat tanaman dan menyirami kebun milik mereka. Ia juga memelihara hewan peliharaan seperti burung dara, anjing, dan kucing di sekitar rumah. Kehidupan sederhana di desa kecil itu mulai membuat Sinta Rara merasa damai.
Ratu Sumber Dewi yang mendengar bahwa Putri Sinta Rara masih hidup menjadi sangat marah. Ia memutuskan untuk mengirimkan penyamarannya dengan membawa racun dalam bentuk buah apel berwarna merah.
Sang Ratu menyamar sebagai seorang nenek tua dan pergi mencari Sinta Rara di dalam hutan. Dengan cara licik, ia menawarkan sebuah apel merah yang terlihat sangat segar dan menggoda. "Neng, ini apel enak. Ayo dimakan, pasti sehat dan segar," katanya dengan suara manis.
Putri Sinta Rara yang tidak tahu bahwa apel itu beracun, akhirnya memakannya. Begitu ia menggigit apel tersebut, ia langsung jatuh tak sadarkan diri. Tubuhnya seperti tertidur dalam mimpi panjang.
Ketika tujuh petani tua kembali ke rumah dan menemukan Sinta Rara yang tergeletak tak bernyawa, mereka sangat sedih. Mereka meletakkan tubuhnya di dalam peti kaca yang indah. Di sekitar peti, mereka menanam bunga-bunga indah dan merawatnya dengan penuh kasih.
Beberapa waktu kemudian, seorang Pangeran Wira dari kerajaan tetangga yang sedang berburu di hutan melihat peti kaca tersebut. Ia terpesona oleh kecantikan Sinta Rara yang tetap memukau meskipun sudah tak bernyawa. Dengan penuh kasih sayang, Pangeran Wira mendekati peti tersebut dan mencium dahi Sinta Rara.
Tiba-tiba, Sinta Rara terbangun dari tidurnya yang panjang. Ia membuka matanya dan melihat Pangeran Wira yang tersenyum padanya. "Apa yang terjadi?" tanya Sinta Rara, bingung.
Pangeran Wira menjelaskan bahwa ia telah membangunkannya dengan sebuah ciuman, dan bahwa ia jatuh cinta pada kecantikannya.
Setelah Sinta Rara bangun, Pangeran Wira membawa Sinta Rara ke istananya. Kabar tentang kebangkitan Sinta Rara dan kecantikannya yang luar biasa segera tersebar ke seluruh penjuru kerajaan. Semua orang menyambut dengan sukacita, termasuk para petani tua yang merawatnya.
Namun, Ratu Sumber Dewi yang merasa cemburu dan takut akan kehilangan takhtanya mendengar kabar tersebut. Ia segera pergi ke istana untuk bertemu dengan Sinta Rara. Ketika ia sampai, ia merasa malu karena kecantikannya tidak lagi sebanding dengan Putri Sinta Rara.
Dengan penuh penyesalan, Ratu Sumber Dewi akhirnya mengakui bahwa kecantikan yang sejati datang dari hati yang baik, bukan dari penampilan luar. Ia meminta maaf kepada Sinta Rara dan Pangeran Wira, yang kemudian mengampuni dirinya.
Sinta Rara dan Pangeran Wira akhirnya menikah dengan meriah. Mereka hidup bahagia di kerajaan, dan Ratu Sumber Dewi pun akhirnya menyadari bahwa kebaikan hati lebih penting daripada kecantikan fisik. Istana pun dipenuhi dengan kebahagiaan, dan tujuh petani tua menjadi bagian penting dari kerajaan yang makmur.
Tamat