Namanya Liana. Sejak SMA, dia sudah jadi pusat perhatian. Bukan hanya karena tubuhnya yang semampai, lekuknya yang membuat banyak mata tak bisa lepas, tapi juga karena caranya berjalan yang tenang, penuh percaya diri, dan selalu dengan senyum setengah jahil.
Kami berteman sejak kelas 10. Waktu itu, aku tak pernah menyangka bahwa seseorang seatraktif dia mau duduk satu meja dengan anak cowok berkacamata yang hobinya cuma baca buku seperti aku. Tapi dia bilang, "Kamu bikin aku nyaman. Nggak kayak cowok lain yang matanya suka jelalatan." Aku cuma tertawa waktu itu. Padahal diam-diam, aku juga sama penasaran dengan dia. Bedanya, aku sembunyikan.
Hubungan kami terus berlanjut bahkan setelah kuliah. Kami beda kampus, tapi sering bertemu saat akhir pekan. Nonton film, nongkrong, kadang ke taman baca. Hubungan kami... ambigu. Bukan pacaran, tapi terlalu dekat untuk disebut teman biasa.
Suatu malam, semuanya berubah.
---
Malam itu hujan turun deras. Liana tiba-tiba mengirim pesan:
> "Aku kedinginan. Kamu di rumah, kan?"
Aku membalas, "Iya. Mau ke sini? Hujan, loh."
> "Aku udah di depan pintu."
Jantungku berdetak lebih cepat. Saat kubuka pintu, dia berdiri dengan jaket kulit hitam, rambut basah sedikit menempel di pipinya, dan mata yang terlihat lebih dalam dari biasanya. Bajunya ketat, rok pendeknya agak basah.
"Masuk, kamu bisa masuk angin," kataku sambil mengambil handuk. Dia mengangguk, berjalan masuk, dan duduk di sofa.
"Kamu selalu siap nyelamatin aku, ya," katanya sambil menyeka rambutnya dengan handuk yang kuberikan.
Aku tersenyum canggung. "Ya... karena kamu temanku."
Dia menoleh, menatap langsung ke mataku. "Teman, ya? Cuma teman?"
Aku terdiam. Suasana jadi aneh. Hening. Hanya suara hujan di luar dan napas kami.
Dia berdiri perlahan, mendekat. Tubuhnya hanya beberapa inci dari tubuhku.
"Kamu tahu nggak? Kadang aku pengin tahu... kamu pernah bayangin aku nggak? Dalam cara yang... berbeda."
Aku menelan ludah. "Liana... kamu mabuk, ya?"
Dia tertawa pelan. "Nggak. Aku cuma jujur. Kamu selalu sopan. Tapi matamu kadang cerita lain."
Aku mencoba menjauh, tapi dia memegang lenganku.
"Kalau aku menggoda kamu sekarang, kamu bakal nolak?"
---
Tangannya menyentuh pipiku. Lembut. Hangat. Dia menciumku perlahan, tidak buru-buru. Sekilas, aku sempat berpikir untuk menarik diri. Tapi hatiku — atau mungkin tubuhku — lebih dulu mengalah.
Ciuman itu tidak seperti yang sering kubayangkan. Itu nyata, penuh perasaan, tapi juga penuh ketegangan. Tangannya menyusup ke leherku, sementara aku membiarkan tanganku memegang pinggangnya. Kami tenggelam dalam diam.
"Liana..." bisikku di sela napas.
"Sst... cuma malam ini, oke?" katanya pelan.
Malam itu bukan tentang gairah semata. Itu tentang dua orang yang terlalu lama menahan rasa, mencoba melabeli hubungan mereka sebagai "teman", tapi di balik itu ada ketertarikan yang perlahan memuncak.
Kami tidak melewati batas yang terlalu jauh. Tapi cukup untuk membuatku tidak bisa tidur malam itu. Cukup untuk membuatku ingin dia kembali besok — dan seterusnya.
---
Paginya, dia membuat teh di dapurku. Mengenakan kaos lamaku, dan celana pendek yang bahkan bukan miliknya.
"Sarapan?" tanyanya ringan.
Aku hanya bisa mengangguk.
Dia tidak bicara banyak soal malam tadi. Tapi ada senyum kecil setiap kali mata kami bertemu. Bukan malu, tapi lebih ke: kita tahu apa yang kita rasakan, dan kita tidak akan pura-pura lagi.
---
Hari-hari setelah itu berubah. Kami masih berteman, tapi dengan jarak yang semakin kabur. Kadang, dia datang hanya untuk menonton film, tapi cara dia duduk lebih dekat dari biasanya. Terkadang dia menyandarkan kepala di bahuku tanpa berkata apa-apa. Diam-diam, aku menyukai kebiasaan baru ini.
Suatu sore, kami ke luar kota berdua. Liana ingin mencari udara segar, katanya. Kami menyewa vila kecil di kawasan pegunungan. Udara dingin, dan kabut turun lebih cepat dari yang kami perkirakan. Malam pun datang dengan cepat, dan hanya ada satu kamar.
"Kita tidur bareng?" tanyanya sambil mengangkat alis.
"Kamu serius?"
"Udah pernah juga, kan?" jawabnya, santai. Tapi ada senyum yang membuatku tak bisa membantah.
Kami berbaring di ranjang yang sama. Hening, hanya suara angin dan detak jantungku yang terasa makin cepat.
Tiba-tiba dia berbalik menghadapku. "Aku suka aroma tubuhmu," katanya lirih. "Selalu bikin aku pengin dekat."
Aku menatapnya, lalu menyentuh pipinya perlahan. Dia mendekat. Malam itu kami saling memberi — bukan hanya kehangatan fisik, tapi juga kejujuran yang tertahan sekian lama. Pelukan kami lebih lama, ciuman kami lebih dalam. Kami tak bicara banyak, tapi tubuh kami menyampaikan semuanya.
---
Hubungan kami perlahan berubah jadi sesuatu yang tak bisa lagi disangkal. Kami belum mendeklarasikan diri sebagai pasangan, tapi dunia kami terasa sudah menyatu.
Suatu hari, dia duduk di jendela kamarku, mengenakan kemeja putihku, menggantung longgar di tubuhnya.
"Kamu pernah kepikiran serius sama aku?" tanyanya tanpa menoleh.
Aku mendekat, memeluknya dari belakang. "Setiap hari. Tapi aku takut kamu cuma godain aku."
Dia menoleh dan tertawa kecil. "Aku mungkin menggoda. Tapi perasaanku ke kamu... itu nyata."
---
Waktu berjalan. Kami tetap seperti itu, membiarkan waktu yang menentukan. Tapi satu hal yang pasti:
Dia bukan lagi sekadar temanku.
Liana — dengan segala pesonanya, sikap manjanya, tatapannya yang bisa menghentikan waktu — telah membuka sisi lain dalam diriku. Dan sejak malam hujan itu, aku tidak pernah bisa melihatnya sebagai sekadar 'teman'.
Sekarang, setiap kali dia datang dan duduk di sofa lamaku, aku tahu… ini bukan hanya tentang tubuh yang saling tertarik.
Ini tentang dua hati yang akhirnya mengakui: kami saling menggoda, saling menginginkan, dan... saling jatuh cinta.
Setelah malam di vila itu, aku sering termenung sendiri memikirkan Liana. Selama ini, aku selalu memandangnya dari sudut teman, tapi kenyataan mulai menuntutku jujur. Ada rasa yang selama ini kusembunyikan, rasa yang kini semakin nyata setiap kali dia ada di dekatku.
Sore itu, kami duduk di teras rumahku, ditemani secangkir kopi dan angin yang sepoi-sepoi mengibaskan rambutnya. Liana menatap jauh ke kejauhan, bibirnya tersenyum samar. Aku bertanya, "Liana, kamu nggak takut hubungan kita berubah? Aku takut kehilangan kamu."
Dia menoleh, mata kami bertemu, dan dia menggenggam tanganku dengan lembut. "Aku juga takut, tapi aku lebih takut kalau kita terus pura-pura. Aku ingin kita jujur, walaupun itu berarti harus menghadapi risiko."
Percakapan itu membuka pintu baru dalam hubungan kami. Kami mulai berbicara tentang apa yang kami rasakan, ketakutan, harapan, dan bahkan mimpi-mimpi yang selama ini kami sembunyikan. Liana bercerita tentang bagaimana dia selalu ingin seseorang yang bisa memahami lebih dari sekadar penampilannya, dan aku menyadari aku adalah orang itu.
Malam itu, aku mengantarnya pulang. Hujan mulai turun ringan, tapi kami memilih berjalan pelan di bawah payung kecil yang kubawa. Tubuh kami terkadang bersentuhan, dan setiap sentuhan itu membakar rasa dalam dada. Saat sampai di depan pintu rumahnya, dia menatapku dengan tatapan yang sulit kubaca.
"Kamu tahu," katanya pelan, "aku nggak cuma menggoda kamu karena kesenangan sesaat. Aku serius."
Aku mengangguk, merasa lega dan gugup sekaligus. "Aku juga, Liana."
Dia tersenyum dan memelukku erat sebelum masuk ke rumah. Aku berdiri di sana, merasakan hangatnya pelukan itu masih melekat di tubuhku.
Hari-hari berikutnya, kami semakin dekat. Setiap momen kecil menjadi penuh makna — dari secangkir teh di pagi hari, tawa saat menonton film, sampai bisikan lembut di telingaku saat kami duduk berdua di taman.
Suatu malam, saat hujan turun lagi, Liana datang dengan membawa payung besar. Dia masuk, basah sedikit, dan aku langsung mengeringkan rambutnya dengan penuh perhatian. Dia menatapku dengan mata berbinar dan berkata, "Kamu tahu, aku suka cara kamu membuatku merasa aman."
Aku tersenyum dan menggenggam tangannya. "Karena aku ingin kamu merasa begitu, bukan hanya sekarang, tapi selamanya."
Kami berpelukan lama, membiarkan kehangatan saling meresap. Dalam keheningan itu, kami tidak butuh kata-kata — hanya perasaan yang mengalir antara kami, menggoda, manis, dan penuh harap
Hari-hari berikutnya, aku mulai menyadari betapa besar pengaruh Liana dalam hidupku. Setiap kali dia mengirim pesan atau tiba-tiba muncul di depan pintu, hatiku langsung berdetak lebih cepat. Tapi aku juga takut, takut jika aku terlalu berharap dan akhirnya kecewa.
Suatu sore, kami duduk di taman kota, di bawah rindangnya pohon besar. Angin sepoi-sepoi menyapu rambutnya yang terurai bebas. Dia menatapku dengan tatapan penuh arti.
“Kamu pernah nggak, merasa ada sesuatu yang berbeda antara kita?” tanyanya pelan.
Aku mengangguk, “Iya. Aku juga merasa begitu. Tapi aku nggak yakin kamu merasakan hal yang sama.”
Dia tersenyum, “Aku merasakannya. Lebih dari sekadar teman.”
Aku menatapnya, berusaha menyembunyikan kegugupanku, tapi mataku tak bisa berbohong.
“Kamu tahu, aku kadang takut kehilangan kamu. Tapi aku juga takut kalau kita nggak pernah mencoba,” ucapku jujur.
Liana meraih tanganku, menggenggamnya erat. “Kalau begitu, kita coba bersama-sama. Aku nggak mau kehilangan kamu juga.”
Malam itu, saat kami berjalan pulang, tangan kami tanpa sadar saling merapat. Sensasi hangat menyelimuti tubuhku, seolah mengatakan bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang baru.