(Disarankan membaca cerpen ini sambil mendengarkan lagu 'About you' by The 1975).
【Bumi Putih, 2025】
"Do you think i have forgotten. About you?" Aku tersenyum kecil, setelah menyenandungkan sebaris lirik dari lagu favorit ku. Ku genggam erat buket bunga yang ku bawa. Mawar putih, bunga kesukaannya. Ku cium harum bunga itu, harum seperti dia. Bagai mengais memori lama, aku terkekeh pelan karenanya. Dia, harumnya, dan kenangannya. Menakjubkan. Satu kata yang dapat terucap ketika mengingat sosoknya di benakku. Ku langkahkan kakiku, hari ini aku akan bertemu sang pemilik harum mawar putihku. Semoga kamu tetap bahagia di sana, tunggu aku.
【Bumi Kala Itu, 2020】
Kala itu, sang senja bersinar teduh. Warna jingga indah mewarnai langit, Bagai lukisan Tuhan yang paling indah. Hangatnya menyapa kulitku, tersenyum seolah mengucapkan selamat tinggal sebelum sang candra menyapa. Dan di sana dia, memunggungi sang cakrawala. Tersenyum pada kucing yang lewat, dia terlihat enggan untuk mengelus. Mungkin takut? Atau mungkin segan? Atau terlalu malas untuk menghentikan langkah? Entahlah, yang jelas. Dia dan senja kala itu benar-benar berhasil membuatku terpukau untuk yang kesekian kalinya.
【Bumi dan Senyumnya, 2020】
Dia indah. Sungguh. Saat dia tersenyum, aku yakin senja yang selalu ku kagumi selama ini pun, akan menghilang karena kalah oleh senyumnya. Mata teduhnya melirik mawar putih di depannya, kemudian akan fokus kembali ke canvasnya. Aku tersenyum, dia indah saat sedang melukis. Oh, tunggu. Sudah berapa kali aku mengatakan dia indah? aku tertawa kecil, konyol.
Dia menjatuhkan kuasnya. Oh tidak, sekarang dia juga menjatuhkan palletnya. Aku terkekeh kecil, ia selalu seperti itu. Aku menghampirinya, mengambil kuasnya yang tengah asik bergelinding menjauhi sang pemilik indahnya. "Kuasmu, lain kali hati-hati. Kamu selalu menjatuhkan sesuatu, ya?" Aku terkekeh geli, mengingat segala kecerobohan menggemaskan yang dia lakukan. Dia menatapku cukup lama, "Dan kamu akan mengambilkan semua barang yang ku jatuhkan." Dia tersenyum. Indah. Sangat indah.
Aku menahan nafas, tanganku gemetar. Kuat-kuat aku menahan senyum dan pipi ku yang memerah, semoga dia tak sadar. "Kamu selalu sendiri?" Aku duduk di kursi sebelahnya yang kosong, tak tau siapa yang menyiapkan kursi itu. Yang jelas setiap aku melihatnya melukis, selalu ada kursi kosong di sampingnya. Padahal, sebelum aku sering datang mengganggunya yang melukis seperti ini, tak pernah ada kursi kosong yang terpatri di sebelahnya.
Dia diam, matanya fokus pada lukisannya. Sepertinya ia enggan menjawab pertanyaan sensitif ku ini. Sebenarnya aku juga merasa bodoh karna menanyakan ini. 24/7 aku mengamati cowok ini, dan memang tak pernah ada satupun teman yang menemaninya. Dia tak punya teman, cukup dimengerti. "Kamu melukis mawar putih lagi? Bunga favoritmu ya?" Aku mengamati lukisan itu. Sunyi, suram, sepi, hampa. Adalah kata yang pas untuk mendeskripsikan lukisan cowok itu. Aku selalu merasakan perasaan-perasaan itu setiap melihat lukisannya. Dan itu membuatku merasa gelisah tak tau mengapa.
"iya," Dia terdiam beberapa saat, hening kurasakan hingga semilir angin pun terdengar. "Putih, warna yang menenangkan bagiku." Dia berkata sambil menatap mataku. Entahlah, aku yang terlalu sensitif, atau memang tatapan matanya benar-benar kosong. Tak ada binar semangat dalam matanya, tatapannya redup bagai kehampaan yang menyayat hatiku, dan tak ada arti apapun pada mata yang menatap lurus padaku itu. Seolah, memang tak ada apapun lagi yang tersisa. Benar-benar hampa, kosong, sunyi, dan redup. Kenapa? Kenapa tatapanmu seperti itu? Mengapa seolah-olah tak ada semangat hidup pada matamu? Namun, aku hanya bisa diam. Enggan bertanya karna takut kamu akan tersinggung. Padahal, itulah keputusan yang akan paling aku sesali nanti.
【Bumi Sunyi, 2020】
Aku menunjukkan setangkai bunga mawar putih di hadapannya. Dia tersenyum, terlampau hapal dengan kegiatanku ini yang sudah ku lakukan selama 21 hari. Benar, semenjak aku tau dia menyukai mawar putih, aku rutin memberikannya setangkai mawar putih selama 21 hari ini. Kata orang, kalau kamu mengulangi sesuatu selama 21 hari berturut-turut, itu akan menjadi kebiasaan dan akan terus teringat tanpa sadar. Dan aku harap, melihatku di sekitarmu bisa menjadi kebiasaanmu dan akan terus kau ingat. Sehingga, jika kau tak melihat ku sehari saja, kamu akan mencariku. Semoga.
"Kamu tak bosan memberikanku bunga tiap hari?" Aku tersenyum geli, "Tidak, memberikanmu bunga adalah salah satu kebiasaan wajib yang harus aku lakukan!" Dia terkekeh, merasa lucu dengan sikap gilaku. "Kamu ganteng kalau tertawa, Bumi." Iya, Bumi namanya. Unik, bukan? Bumi Anggara, nama lengkapnya. Bumiku, Bumi yang ku kagumi, Bumiku yang indah. Bumi hanya geleng-geleng kepala mendengar gombalan klasik ku, kemudian ia fokus lagi pada lukisannya. Ah, aku iri. Andai saja aku yang kamu lukis, kapan kamu akan melukisku? Aku akan menunggu.
"Lukisanmu bagus, tak mau ikut lomba? Kamu pasti bakal menang!" Ia sekali lagi hanya menatap kosong pada lukisannya. Ah, tatapan itu lagi. Tatapan yang paling tak aku suka. "Nggak perlu. Toh, Nggak akan berguna." Aku terkejut mendengar jawabannya, kenapa? Kenapa tak berguna? Bukankah dia suka sekali melukis? Namun, sekali lagi aku hanya memendam segala pertanyaan dalam benakku. Sial, jika aku tau bahwa aku akan sangat menyesali keputusanku yang ini, aku pasti akan bertanya lebih banyak.
"Besok lusa ulang tahunku. Aku hanya ingin kamu, orang yang kusukai tahu. Aku tak mengharapkan apa-apa, sungguh! Tapi jika kamu ingin memberikan hadiah, akan kuterima dengan suka hati." Aku tertawa kecil setelah mengucapkan kalimat konyol itu. Namun, dia tak menjawab apa-apa, aku jadi malu sendiri. Yah, aku memang tak mengharapkan apa-apa sih. Dia saja bersikap biasa saja ketika aku mengatakan kalau aku menyukainya, benar-benar cowok no respond.
【Bumi dan Harapan, 2020】
Di luar dugaanku, dia berjalan menghampiriku di hari ulang tahunku ini. Memberikanku sebuah canvas kecil, ini aku! Dia melukis wajahku! Namun, tak seperti semua lukisan sebelum-sebelumnya yang telah ia buat. Ia menggunakan warna-warna cerah pada lukisan wajahku. Aku bisa merasakan tema musim semi pada lukisan ini. Hangat, ceria, sejuk, indah, dan harapan. Entahlah, hanya saja kali ini aku begitu senang melihat lukisan ini. Seolah, aku berhasil membuat laki-laki dengan gaya lukisan yang suram itu, melukis sosokku dengan gaya lukisan yang bercahaya. Aku senang. Sangat. Bolehkah aku berharap kalau kamu mulai membuka hatimu?
"Terimakasih! Aku akan menyimpannya selamanya, tak akan kubiarkan lecet sedikitpun!" Dia tersenyum, hangat. Entah kenapa senyumnya mulai menghangat untukku. "Terimakasih kembali, telah menyukaiku dan membawa warna baru untukku. Tapi aku mohon jangan berharap padaku, karna aku pun tak dapat berharap pada diriku sendiri. Aku nggak mau kamu terluka nanti. Warna mu memang berarti bagi hidupku, tapi itu belum cukup. Maaf." Dia mengelus rambutku, aku tertegun karna kata-katanya. Dan saat itulah, aku menyadari raut wajahnya yang begitu lelah. Aku berpikir karna itu akibat dia yang begadang karna mengerjakan lukisan wajahku. Namun, seharusnya saat itu aku bertanya. Bodoh.
【Bumi dan Senja, 2020】
Hari minggu, dan aku berjanji untuk mengajaknya bermain. "Kita mau kemana?" Dia menatapku dengan bingung, "Ke tempat bermain paling seru di negara ini!" Aku menariknya berlari menuju mesin capit boneka. "Kalau kamu berhasil mendapatkan boneka beruang itu, aku akan mentraktirmu es krim!" Dia menatap tajam pada capit itu, memusatkan diri agar hati-hati dalam menarik tuas. Dan yap! Dia mendapatkannya. Aku melompat bahagia karnanya, kemudian memeluknya tanpa sadar. Mengejutkannya, dia membalas pelukanku bahkan mengelus rambutku dengan pelan. Hubungan ini sangat aneh, bukan? Apa ya namanya? HTS? Menggelikan.
Kami membeli es krim, namun dia bilang aku tak perlu mentraktirnya, tentu saja aku paksa agar dia menerima traktiran ku! Aku bercerita banyak hal padanya, dan dia akan dengan fokus mendengarkan. Sekali-kali dia akan membersihkan sisa es krim di sekitar mulutku, atau menyingkirkan helaian rambut yang menghalangiku untuk menikmati es krim ini. Dia juga akan membawakan bingkisan-bingkisan yang aku beli selama mengelilingi mall itu. Kemudian, tiba-tiba dia menghentikanku untuk berganti sepatu ketika dia menyadari bahwa aku tak nyaman dengan flatshoes ini. Uniknya, dia memberikanku sepatu yang ia ambil dari tasnya. Sepertinya dia memang sudah menyiapkannya jikalau aku akan merasa tak nyaman dengan flatshoes ini.
Kita berakhir di taman, memandangi senja yang bersinar hangat. Aku menoleh ke arahnya. Indah. Entah tertuju kemana kata ini, kepada sang senja yang menyapa, atau kepada Bumiku ini yang tersenyum hangat mengalahkan sang senja. Yang jelas, kamu dan senja kala itu benar-benar indah, Bumi. Sibuk aku mengagumi salah satu ciptaan Tuhan ini, tiba-tiba ponsel Bumi berdering. Dia menjauh untuk mengangkat telepon itu. ketika ia kembali, wajahnya benar-benar suram. Ia langsung mengajakku pulang. Dia mengendarai motor dengan terburu-buru, aku bisa merasakan kegelisahan pada hatinya ketika memeluknya di tengah motor yang melaju.
Semenjak dia berpamitan pada hari itu, aku tak melihatnya lagi. Dia tak masuk sekolah, pesanku tak dibalas, dan aku cukup ragu untuk pergi ke rumahnya yang tak pernah ku kunjungi itu. Bodoh. Seharusnya hari itu aku mengunjunginya. Seharusnya aku bisa lebih berani. Persetan dengan rasa sungkan, seharusnya waktu itu aku tak perlu ragu. Seharusnya.
【Bumi Senyap, 2020】
Sudah 5 hari dia menghilang, tak ada kabar, dan tak ada tanda-tanda dia akan membalas semua pesanku. Hingga, sebuah kabar tiba-tiba datang tanpa diduga. Tanpa pernah terpikirkan olehku. Begitu mengejutkan hingga aku tak dapat berpikir jernih. Aku bergegas ke rumahnya, terus berlari bak orang gila agar secepatnya menemuinya. Namun, aku hanya melihat fotonya dengan karangan bunga di sana. Dan dia, yang sekarang telah diletakkan pada peti mati, siap dikubur bersama semua kenangan dan perasaanku dengannya. Aku terduduk tak percaya. Ia, yang ku pikir akan bersamaku selamanya, direnggut dengan kejamnya dariku.
Duniaku runtuh bersamaan dengan jasadnya yang terkubur. Bagaimana semua ini bisa terjadi dengan tiba-tiba? Padahal aku sudah membayangkan masa depan yang indah untuk kita. Kamu yang melukisku dengan senyum indah di bibirmu, dan aku yang akan memberikanmu mawar putih setiap hari. Mimpiku tentang kita begitu sederhana, namun kenapa kamu malah pergi?
Polisi bilang kamulah yang mengakhiri hidupmu sendiri, awalnya aku tak percaya. Namun, ketika salah satu pembantu rumahmu bercerita tentangmu, aku menjadi mengerti kenapa kamu mengambil keputusan ini. Hidupmu begitu menderita selama ini, tak mempunyai tempat berpulang, tak ada orang lain untuk bersandar, semua orang yang menghakimi, dan semua orang yang menjauh. Cukup membuatmu merasa begitu muak dan memilih untuk mengakhirinya. Kamu benar, walau aku berhasil membawa warna baru pada hidupmu yang gelap. Namun, warnaku masih belum cukup. Aku masih belum cukup untuk menjadi alasanmu tetap bertahan.
Aku telah membaca semua surat yang kamu tulis untukku sebelum pergi. Aku menangis deras begitu mengetahui bahwa ternyata selama ini cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Kamu mencintaiku juga. Namun, kamu lebih memilih untuk menjaga jarak agar aku tak semakin dalam mencintaimu, karna kamu sudah berencana untuk pergi. Aku juga sudah melihat semua lukisanmu tentangku, kamu bahkan bisa membuat studio dengan lukisan-lukisan itu. Aku tertawa ketika mengingat betapa aku berharap bahwa kamu akan melukisku suatu hari nanti. Nyatanya, kamu telah melukisku puluhan kali tanpa ku minta.
Andai, dulu aku lebih peka dengan segala emosi yang kamu keluarkan. Andai, dulu aku bertanya ketika merasa ada yang salah denganmu. Andai, dulu aku sering bertanya bagaimana keadaanmu? atau apakah kamu baik-baik saja? Andai dulu aku lebih sering memelukmu. Andai, dulu aku bisa menjadi sandaranmu, menjadi tempatmu berkeluh kesah, dan tempatmu menangis. Andai.
【Bumi Putih, 2025】
Disinilah aku sekarang, kuburanmu. 5 tahun sudah kamu pergi, dan aku masih belum melupakanmu. Tiap ulang tahunmu aku kesini untuk membawakanmu mawar putih. Benar kata orang, jika selama 21 hari aku melakukan hal yang sama berturut-turut, maka itu akan menjadi kebiasaan. Dan aku terbiasa memberikanmu mawar putih, meski tak ada lagi tangan hangatmu yang meraih bungaku, tak ada lagi senyum kecil yang kamu tunjukkan untukku, dan tak ada lagi suara tawa yang membuat hatiku berdetak cepat karnanya. Aku merindukanmu. Terus merindukanmu. Setiap menit, setiap detik, terus merindukanmu.
Aku masih mengunjungi taman yang selalu kamu tempati untuk melukis itu. Tempat pertama kali kita bertemu, dan tempat dimana pertama kali aku jatuh cinta pada sosokmu. Aku masih merasakan kehadiranmu di sampingku ketika aku duduk di kursi taman itu. Kursi yang dulu selalu kamu siapkan untukku. Aku selalu membeli mawar putih ketika tak sengaja melihatnya di toko bunga, dan kemudian menangis karena teringat padamu. Aku jadi suka melukis karna kamu sering mengajariku melukis dulu. Dan aku akan tersenyum, karna mengingat dirimu dan senyum hangatmu di setiap olesan yang ku buat.
Aku masih merindukanmu. Aku masih mengharapkanmu. Aku sangat ingin mendekapmu lagi. Sungguh. Tak bisakah aku lepas dari bayangmu? Kenapa kamu pergi? Sedangkan aku di sini yang begitu mengharapkanmu? Bumi, aku rindu. Tolong tetap baik-baik saja di sana. Suatu saat aku akan menyusul jika sudah waktunya. Atau, jika Tuhan mengijinkan, aku harap di kehidupan selanjutnya kita bisa bersama. Dengan kamu yang bisa lebih bahagia tanpa luka dan trauma yang menggerogotimu. Semoga.
♬ I know a place
it's somewhere I go when I need to remember your face
We get married in our heads
Something to do while we try to recall how we met
Do you think I have forgotten?
Do you think I have forgotten?
Do you think I have forgotten about you? ♬
『THE END』