“Mama, ayo main.”
Di sudut ruangan, Gladis meringkuk ketakutan, matanya bergerak liar. Sesekali dia akan berteriak frustasi sembari mencengkeram erat rambut hingga beberapa helainya rontok.
“Pergi! Aku bukan Mamamu!” Gladis berteriak frustasi, pipi tirusnya tidak pernah kering karena air mata.
Ia kehilangan dua kilo dari berat badannya, sejak pindah ke rumah baru itu sebulan yang lalu. Lengan yang dulu agak berisi menjadi mengecil seolah ada yang mencuri daging-daging empuk dari sana, matanya yang biasa segar kini menghitam, terdapat cekungan khas kurang tidur di area bawah mata.
Suara dering ponsel membuat Gladis yang sibuk dengan ketakutannya segera tersadar, cepat-cepat ia beranjak dari duduknya.
Meraih ponsel yang tergeletak di atas meja, kepalanya tak bisa diam dan terus celingak-celinguk memperhatikan sekitar dengan waspada.
“Arin, tolong Rin,” ucap Gladis penuh permohonan saat panggilan telepon benar-benar tersambung.
“Kenapa? Masih dapat teror dari suara anak kecil yang kamu ceritain itu?” Terdengar tanya dari seberang telepon.
Gladis tahu bahwa sahabatnya itu masih skeptis dengan ceritanya, tapi tak ada waktu lagi untuk sekedar membuat seorang Arin percaya.
Dia harus segera pindah demi kewarasannya pikir Gladis, jadi dia mulai bertanya dengan tidak sabaran. “Ihh intinya gimana? Udah dapat kan rumah lain? Kalau nggak, kos-kosan juga nggak masalah deh.”
“Kamu mau pindah gitu aja? Trus gimana sama rumah itu, rugi dong udah beli langsung pindah lagi, tau sendiri kan kalau pembelian atas rumah itu tidak bisa dibatalkan,” ucap Arin masih merasa menyayangkan keputusan Gladis yang ingin pindah.
“Bodo amat, kita bisa jual rumah ini lagi, pokoknya Kamu harus bantuin aku. Kalau terus tetap di sini bisa-bisa kewarasanku benar-benar hilang,” ucap Gladis, nada suaranya penuh kekhawatiran.
“Oke deh, tapi kamu nggak berniat nyari orang pintar gitu? Setidaknya sebelum kita dapat rumah pengganti kamu udah ada usaha buat menghentikan teror, kita nggak tahu berapa lama lagi kamu ada di situ kan,” usul Arin yang mulai merasa kasihan dengan sahabatnya.
“Boleh deh, bantu cariin ya.” Gladis mengiyakan saja ide Arin, karena terlanjur lelah dengan teror tak berujung tiap hari.
Saking terlalu sering, Gladis sampai kurang tidur, terkadang dia terlelap karena kelelahan lalu terbangun
oleh gangguan.
Tidak ada yang paling menakutkan bagi Gladis selain malam hari, sebab frekuensi gangguan paling banyak datang ketika gelap mulai memayungi langit.
“Yaudah, gimana kalau aku jemput kamu? Biar kita jalan-jalan dulu, daripada kamu nggak tenang gitu di rumah sendiri.” Arin memberi ide untuk membantu.
“Hmm, tapi aku ada kuliah siang ini, jadi kayaknya nggak bisa jalan-jalan bareng.” Gladis mendesah kecewa, dia merasa butuh istirahat, tetapi semesta seolah tidak merestui.
“Oh ya, Aku tetap jemput kamu deh, nanti aku anterin ke kampus. Sana siap-siap, udah mau jam sebelas nih.”
Setelah mengiyakan ajakan Arin, telpon dimatikan sepihak oleh Gladis, napasnya sudah beraturan, sesaat tak ada kegelisahan di wajahnya.
Sebelum suara piring berjatuhan di dapur mengacaukan ekspresi tenang di wajah Gladis.
“Mama nakal, mama mau usir aku ya? Mama mau ninggalin aku? Kok mama tega sih?”
Suara-suara menakutkan itu menggetarkan hati Gladis yang tenang, menimbulkan kembali kegelisahan yang sempat padam.
“Pergi! Dasar anak nakal, kamu mecahin piring lagi ya!” Gladis berteriak marah, dia kesal dengan teror tak masuk akal dari mahluk yang bahkan tidak dia lihat.
“Mama, Aino tidak nakal, Aino anak baik.” Suara tangis terdengar begitu dekat di telinga Gladis, membuat lutut gadis dua puluh dua tahun itu bergetar.
Kakinya lemas, tubuhnya luruh ke lantai, ia terus menatap liar ke sekeliling. “Pergi! Dasar Setan!” Teriak Gladis, napasnya menjadi tak beraturan.
Angin kencang berhembus, di ruangan yang bahkan tak berjendela itu, saking kencangnya benda-benda yang digantung berjatuhan ke lantai.
“Arghhh!” Gladis berteriak keras.
Brak!
Pintu didobrak paksa dari luar, terlihat Arin berdiri di depan pintu dengan raut khawatir, ada seorang lelaki paruh baya di sebelah gadis berambut pendek itu.
“Gladis!” Arin berlari mendekat, memeluk tubuh Gladis yang gemetar.
Ketika tubuh hangat Arin mendekap tubuhnya yang dingin, tangis yang tertahan menjadi pecah. Gladis menangis sesenggukan, air mata membuat pandangnya menjadi buram.
“Nak, Aino. Sudah Nak, jangan mengganggu lagi, tenang lah.”
Suara dari pria dewasa membuat Gladis mengangkat pandangan, ditatapnya wajah lelaki tua yang tengah. mengelilingi kamarnya
Gladis memutar pandangan, menatap penuh tanya pada Arin. “Bapak itu salah seorang warga kampung sini, tadi saat aku menanyakan sesuatu tentang paranormal atau dukun pada warga, dia langsung menanyai ini itu, trus dia memaksa ikut setelah tahu kalau rumah kosong ini sudah ada penghuninya,” ungkap Arin menjelaskan, suaranya setengah berbisik.
Gladis mengangguk mengerti, dia berdiri dari duduknya dibantu oleh Arin. “Bapak kenal Aino?” tanya Gladis blak-blakan.
Pertanyaan itu mengundang perhatian pria tua itu, matanya menjadi sendu, terlihat raut kegetiran di wajahnya.
Arin dan Gladis saling pandang, mengernyitkan dahi, bingung dengan reaksi pria tua itu.
“Saya Darga, pemilik pertama rumah ini,” ucap pria tersebut memperkenalkan diri.
Gladis menyambut uluran tangan tersebut, disusul Arin yang ikut melakukan hal yang sama. “Saya Gladis dan ini teman saya Arin,” ucap Gladis dengan suara bergetar.
“Sebaiknya kamu segera pindah saja, Nak.” Darga mengusulkan dengan suara lirih yang bergetar.
“Saya memang mau pindah dan menjual kembali rumah ini,” ucap Gladis, sorot matanya menunjukkan bahwa dia serius.
“Tapi, saya tetap ingin tahu tentang cerita Aino ini, biar bagaimanapun saya masih akan tetap tinggal di sini sampai menemukan tempat tinggal baru.” Gladis menatap Darga penuh selidik.
“Tidak ada cerita apa-apa tentang rumah ini,” tolak Darga, tampak jelas keengganan di wajah tuanya.
“Saya merasa bapak tahu sesuatu, dari ucapan bapak sebelumnya sepertinya bapak kenal dengan Aino, saya harap bapak mau membantu saya,” ucap Gladis bersikeras.
Darga terlihat cemas sesaat, beberapa kali dia mengusap wajahnya. “Baiklah, mari ikut saya.” Pada akhirnya pria tua itu mengalah, dia mengajak kedua gadis yang kebingungan itu untuk ikut.
Ketiganya berjalan menapaki anak tangga menuju lantai dua, mereka berhenti di depan pintu bercat coklat.
Terdapat coretan X besar berwarna merah di pintu, sangat mencolok. Ada kertas yang ditempel juga, berisikan tulisan ruangan ini jangan dibuka.
Saat pertama kali membeli rumah ini pun, pemilik rumah sebelumnya mewanti-wanti dirinya agar tidak membuka pintu tersebut, sangat mencurigakan pikir Gladis.
Saat ini dia kembali berdiri di depan pintu yang sama, jantungnya berdetak kencang, karena akan segera melanggar peraturan tersebut.
Kriet
Derit pintu dibuka perlahan membuat Gladis dan Arin memejamkan mata sesaat, pintu tersebut tampak macet ketika dibuka, menunjukkan seberapa lamanya pintu tersebut baru dibuka.
“A-apa ini?” Arin menutup mulut syok, sedang Gladis sudah terduduk di lantai karena lemas.
Ruangan tersebut benar-benar berantakan, satu kasur kecil dengan banyak mainan robot tampak dilumuri warna merah mencolok.
Bau apak bercampur dengan bau besi berkarat menguar terbawa angin, hal yang paling mencolok adalah jejak telapak tangan kecil di dinding, jejak berwarna merah.