“Aira, kamu tuh ceria banget sih, enak banget kayaknya hidup kamu!”
Kalimat itu terlontar dari teman sekelasku pagi ini. Enteng. Leluasa. Seolah mereka benar-benar tahu apa yang mereka bicarakan.
Aku hanya tersenyum. Iya, senyum. Padahal kalau mereka tahu, aku baru menangis di kamar mandi tadi pagi—karena mimpi semalam yang lagi-lagi memutar ulang masa kecilku. Karena aku bangun dengan hati sepi, tanpa pesan, tanpa peluk, tanpa suara siapa pun yang peduli aku ada atau tidak.
Tapi senyumku... selalu utuh.
Aku terbiasa terlihat baik-baik saja. Terbiasa jadi Aira yang kuat, Aira yang paham segalanya, Aira yang tidak pernah mengeluh. Di sekolah, aku bicara seperti tak pernah punya luka. Tapi di rumah, aku bicara hanya dalam diam—karena di sana, suara hanya boleh dimiliki oleh yang lebih tua, lebih benar, lebih keras.
Aku pernah berpikir... mungkin kalau aku terus jadi “anak baik” dan gak bikin masalah, mereka akan mulai peduli. Tapi tidak. Bahkan saat aku jatuh pun, mereka hanya lewat. Tidak tanya kenapa, tidak duduk di sampingku. Hanya diam dan menilai dari jauh, seolah aku pajangan yang dipoles, bukan manusia yang bisa retak.
Dan retakanku sudah terlalu banyak untuk dihitung.
Lucunya, banyak orang iri padaku. Katanya, aku punya wajah yang ceria, punya hidup yang tenang, punya nilai bagus. Padahal mereka tidak tahu—setiap malam aku bicara dengan dinding kamar, kadang menangis di dalam lemari agar suara isakku tak terdengar keluar. Bukan karena aku drama. Tapi karena aku tidak punya ruang untuk didengar.
Dunia tidak butuh air mataku, mereka hanya butuh aku terlihat normal.
Tapi... hari ini aku menulis. Dan saat aku menulis, aku tidak perlu memakai topeng. Aku tidak perlu tersenyum palsu, tidak perlu mengangguk saat hatiku ingin menolak. Di sini, aku bisa menjadi Aira... versi asli. Aira yang sedang lelah. Aira yang sedang kosong. Aira yang sedang berusaha tidak runtuh.
Karena kadang satu-satunya pelukan yang bisa kuraih... adalah kata-kataku sendiri.
Dan jika kamu membaca ini, entah siapa pun kamu, entah kamu juga sedang menahan tangis di balik senyum—ketahuilah, kamu nggak sendiri.
Aku pun sedang belajar jujur pada diri sendiri. Sekalipun dunia tidak siap mendengarnya.
Tertanda,
Aira