"𝘚𝘢𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘰𝘳𝘳𝘺,𝘩𝘶𝘣𝘶𝘯𝘨𝘢𝘯 𝘪𝘯𝘪 𝘯𝘨𝘨𝘢𝘬 𝘣𝘪𝘴𝘢 𝘬𝘪𝘵𝘢 𝘭𝘢𝘯𝘫𝘶𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘭𝘢𝘨𝘪. 𝘈𝘬𝘶 𝘩𝘢𝘳𝘶𝘴 𝘱𝘪𝘯𝘥𝘢𝘩 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘬𝘰𝘵𝘢 𝘪𝘯𝘪, 𝘥𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘯𝘪𝘬𝘢𝘩𝘪 𝘱𝘦𝘳𝘦𝘮𝘱𝘶𝘢𝘯 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘴𝘦𝘣𝘦𝘯𝘢𝘳𝘯𝘺𝘢 𝘢𝘬𝘶 𝘤𝘪𝘯𝘵𝘢𝘪."
Tangan Arumi berkeringat dingin membaca isi pesan dari Sultan, kekasihnya.
Arumi merasakan Jantungnya berdetak lebih cepat,dia masih terus membaca pesan itu berulang-ulang, berharap kalau semuanya hanya mimpi, atau sekedar candaan dari Sultan seperti biasanya.
Jari Arumi bergerak lincah mengutak-atik gawainya, mencari kontak nomer Sultan cepat, dan terburu-buru menghubungi nomer itu begitu menemukanya, tapi... Berulang kali nomer itu ditekan, hasilnya nihil tidak bisa tersambung, yaa nomer Sultan sudah tidak aktif lagi.
𝘈𝘳𝘨𝘩𝘩𝘩𝘩𝘩
Teriak Arumi merasa frustasi, perasaan nya sangat kacau, tidak karuan.
𝘉𝘳𝘢𝘢𝘬
"Brengsek kamu Sultan, brengsek, pengecut, kenapa harus kabur? setelah semuanya aku berikan, kamu pergi gitu aja! bodoh... Kenapa aku jadi bodoh? Ya Allah, aku kotor, aku berdosa!"
Jam weker dengan model kucing berwarna biru menjadi sasaran kemarahan Arumi.
Pecah berkeping-keping, karena Arumi melemparkan nya dengan sangat keras ke tembok kamarnya.
Tubuh Arumi merosot lemah, terduduk dilantai, Airmatanya tidak bisa dibendung lagi.
Arumi tersedu didalam kamarnya yang sepi, hatinya terasa sakit sekali seperti tertusuk sembilu.
Tiba-tiba...
𝘛𝘰𝘬 𝘵𝘰𝘬 𝘵𝘰𝘬
"Arumi, kamu baik-baik aja? itu tadi suara apa dek?"
Pintu kamar Arumi diketok dari luar teratur, Ambar kakak Arumi berdiri didepan pintu kamarnya.
Tidak ingin Ambar mengetahui yang terjadi dengannya, Arumi menggigit bibir kuat-kuat untuk meredam tangisannya. Dia menutup wajah, menghapus air matanya kasar.
"Arumi...!" Panggil Ambar lagi sembari kembali mengetuk pintu kamar adiknya.
"Aku baik-baik aja Mbak... Jangan khawatir. Hemm... yang tadi suara jam weker jatuh. tidak masalah Mbak, aku sudah beresin semuanya." Jawab Arumi akhirnya lirih.
Ambar masih belum pergi, "Tidurlah dek, ini sudah larut," perintahnya pelan.
Tidak ingin membantah, Arumi beranjak dan mematikan lampu kamarnya.
Mengetahui kamar Arumi sudah gelap, Ambar pun beranjak pergi.
Didalam kegelapan kamarnya, tangis Arumi kembali pecah, hatinya masih terasa sangat sakit mendapatkan kenyataan Sultan telah meninggalkannya.
Hari-hari Arumi berubah drastis, tidak seperti biasanya. Arumi jadi lebih pendiam, banyak melamun, emosi tidak stabil, kebingungan dan terus menyalahkan dirinya sendiri.
Di setiap keheningan malam Arumi selalu menangis dalam sujud nya, meminta ampunan atas dosa besar yang telah dengan sadar diperbuatnya.
Seandainya waktu bisa dia tarik mundur kembali, dia berharap tidak bertemu dengan Sultan, mencintai pria itu dan menyerahkan kesuciannya tanpa ikatan yang sakral. Tapi itu semua sia-sia, impossible!
Perubahan sikap Arumi tidak lepas dari perhatian Ambar sang kakak. Tentu saja Ambar penasaran dan khawatir ada apa dengan adiknya itu? Hingga suatu hari diapun bertanya.
"Kamu kenapa,dek? Ada masalah apa? Mbak Ambar perhatikan kamu banyak berubah. Kamu terus melamun, ceritakan sama Mbak, dek, Jangan disimpan sendiri, Mbak ada buat kamu!" Ujar Ambar hari itu, sembari mengusap tangan Arumi lembut, layaknya seorang kakak.
Sejak kepergian ibunya, saat itu usia Arumi baru memasuki angka 15 tahun, Ambar lah yang selalu bersama Arumi, menggantikan posisi ibunya. Buat Ambar Arumi bukan lagi seperti adik tapi sudah seperti anak sulungnya.
"Aku tidak apa-apa Mbak," Arumi menjawab lirih, menahan sesak dihatinya tidak ingin mengatakan apapun pada Ambar, rasanya dia ingin mati saja mengingat dirinya sudah tidak virgin lagi.
Arumi tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Ambar, seandainya dia bercerita kalau keperawanannya telah diberikan pada Sultan, dan pria itu pergi meninggalkannya?
Bagaimana kalau orang-orang mengetahui masalahnya? Arumi yang dikenal perempuan baik-baik, shaleha, berpakaian syar'i tapi melakukan zina?
Karena pikiran-pikiran itulah Arumi terpuruk tidak tahu harus bagaimana, dia kebingungan, putus asa.
Sore itu, tiba-tiba terdengar suara Faruq, anak laki-laki Ambar berteriak dari kamar Arumi.
"Bunda, Kakak Rumi pingsan! Tangannya keluar darah banyak, Bunda Kakak Rumi kenapa?" Faruq memanggil bundanya tidak sabar.
Mendengar teriakan Faruq, Ambar tergopoh-gopoh menuju kamar adiknya itu
"Arumi!!! Astagfirullah, Arumi! Kamu kenapa dek?" Jerit Ambar tertahan melihat keadaan Arumi. Adiknya itu tergeletak dilantai tidak sadarkan diri dengan tangan berlumuran darah.
Tertekan dengan masalahnya, Arumi nekad mengiris urat nadi di lengannya dengan cutter, berharap mati saja dan masalah bisa selesai.
Tapi sang pemilik umur tidak mengabulkan harapan dan keputusasaan nya itu, nyawa Arumi masih bisa diselamatkan.
"Apa yang harus Mbak dan Mas lakukan buat kamu, dek? Mencari pria itu dan memaksa nya menikahi kamu?"
Arumi menggeleng, merespon pertanyaan Ambar. Dia merasa malu pada kakaknya.
Ya, Arumi akhirnya menceritakan semua perbuatannya, dan apa alasannya sampai dia harus dilarikan ke rumahsakit.
Apakah Ambar kaget? Shock? Sedih merasa gagal mendidik dan menjaga Arumi? Ya seperti itulah yang saat itu Ambar rasakan mendengar ucapan adiknya.
Tapi Ambar tidak bisa memarahi adiknya secara kasar, bukan berarti dia memaklumi yang dilakukan Arumi. Inilah bentuk kekecewaan seorang Ambar pada adiknya dengan diam dan tidak menjudge nya.
"Aku tidak ingin apa-apa dari pria itu, Mbak! Jangan lakukan apapun dan membawanya pria itu kehadapan ku. Aku berharap tidak ada kehidupan lain di perutku karena dosaku itu." Arumi berbisik lirih, berurai airmata Memeluk kakaknya, Mata Ambar berkaca-kaca, membalas pelukan Arumi erat, Arumi adik kesayangannya.
.
.
.
"Nah itu ibu, ternyata disini ibu ngumpetnya."
Arumi mengakhiri tulisannya, menoleh kebelakang mendengar suara seseorang yang sudah sangat dihapalnya.
Wajah Arumi berbinar, tersenyum sangat manis melihat Mas Sofyan , suaminya menggendong bayi laki-laki gemuk dan lucu berusia empat bulan dan menggandeng tangan balita perempuan di tangan kanannya.
"Hay... Kesayangannya ibu, wahh udah pada wangi nih, siapa yang mandiin ya?" Tanya Arumi bercanda meraih bayi laki-laki nya diberi nama Adam, mengecup pipinya Tsabita juga anak perempuan pertama nya.
"Siapa lagi yang mandiin, Ayah lah.. iya kan anak-anak? ayah juga harus dapat ciuman dari ibu."
Mendengar ucapan Mas Sofyan, Arumi tertawa, sambil memeluk Adam, Arumi berjinjit mengecup pipi suaminya itu.
"Terimakasih sudah menerimaku tanpa syarat, Mas, menutupi aib ku, Terimakasih sudah jadi suami dan ayah yang penuh kasih sayang, Aku bersyukur sudah dipertemukan sama kamu, Mas." Sofyan, memeluk Arumi erat.
Beberapa bulan pasca Arumi keluar dari Rumahsakit, Sofyan datang kerumah, bertemu dengan Ambar dan suaminya dengan tujuan niat baik melamar Arumi.
Saat itu lamaran Sofyan tidak langsung diterima Arumi ataupun Ambar sebagai walinya.
Tapi Sofyan tidak menyerah dia terus menunjukkan itikad baiknya untuk mempersunting Arumi.
Sofyan dan Arumi dipertemukan, Sofyan juga diberitahu keadaan Arumi yang sebenarnya tanpa ada yang ditutupi.
Tiga tahun sudah Arumi menjalani pernikahan nya bersama Sofyan, dia sangat bahagia, karena mereka menjalani pernikahan nya itu dengan ikhlas.
Lalu apakah Tsabita itu anak dari Sultan? Dipastikan bukan! Tsabita anak kandung Sofyan. Sebelum menikah dengan Sofyan Arumi mengalami periode. Mungkin salah satu doa yang dikabulkan-Nya adalah tidak ada kehidupan diperut Arumi dari Sultan.
Dan supraise lain yang diberikan pencipta buat Arumi adalah, kepergian Sultan untuk selama lamanya karena kecelakaan yang dialaminya, Arumi tidak tahu harus merasakan bagaimana dengan kabar itu, dia hanya menyakini itu sudah ketetapan yang terbaik dari sang pemilik umur.
Arumi sudah memaafkan Sultan dan dia sudah melupakan pria yang sudah menyakitinya itu.
Karena dengan memaafkan hatinya jadi lebih ihkas dan lebih tenang.
T A M A T
Cerpen ini didedikasikan buat perempuan perempuan diluar sana yang mungkin seperti Arumi.
Manusia tempatnya salah, tapi... Jangan putus asa. Ada Allah SWT yang akan menolong, karena sebaik-baik penolong adalah Allah. Ya tentu saja!
🫶