“Pertama, maafin orang-orang yang sudah membuat kamu sampai harus bertemu saya ya!”
Nadia hanya mengangguk pelan, tanpa ekspresi, tanpa sinar di matanya.
“Kedua, jauhi orang-orang yang sudah membuat kamu jadi rajin berkunjung ke tempat ini, sekalipun itu teman baik atau keluarga.”
Nadia menatap kosong pada wanita dewasa berjas putih yang tersenyum lembut padanya. Ia tak mengangguk, tapi juga tak menggeleng. Hanya membeku dalam kerumitan pikiran yang tak terurai. Bingung. Linglung.
“Jangan lupa diminum obatnya, selalu berdoa dan yakin kalau semua akan baik-baik saja. Oke?”
Nadia kembali mengangguk, kemudian menerima jabat erat dan tepukan ringan di bahunya, sebelum keluar dari poli jiwa rumah sakit angkatan laut di kotanya. Poli yang selama tiga bulan terakhir menjadi tempat aman dan ternyaman untuk menumpahkan keluh kesah.
Nadia menderita depresi entah dari sejak kapan. Yang jelas, sebelum ia terapi dengan dokter jiwa atas saran kakaknya, ia sangat susah tidur, malas, suka menyendiri, sering menangis, nafsu makan memburuk, dan ingin segera mati.
Penyebabnya? Entahlah! Nadia juga tidak tahu pasti apa yang membuatnya seperti itu. Ia punya pekerjaan yang bagus, punya teman baik di kantor, punya sahabat dekat di rumah, punya keluarga harmonis. Ia juga punya kekasih hati. Namanya Aiden.
Awalnya hubungan Nadia dengan Aiden sangat manis sekaligus romantis. Nadia merasa nyaman karena Aiden bukan hanya dewasa, tapi juga pengertian dan mapan secara finansial.
Jangan lupakan tampang Aiden yang ganteng layaknya oppa Korea! Semua hal tentang Aiden mulai membuat Nadia bodoh cinta dan buta. Ia bahkan terlalu cepat mengambil keputusan untuk mengakhiri masa lajangnya nanti bersama Aiden. Apapun keadaannya.
Siapa sangka hubungan yang semula manis itu berubah menjadi toksik?
Aiden yang kalem, yang tak banyak tingkah mulai berulah, mulai menunjukkan karakter aslinya. Aiden mulai sering protes kalau Nadia terlalu abai padanya. Mulai mengatakan Nadia sangat sibuk dengan pekerjaan, hingga tak ada perhatian padanya. Dan dengan gilanya mulai menuduh Nadia tak setia.
“Nggak usah bohong deh, Nad! Aku tau kenapa kamu gak online, kamu lagi kencan sama Leo, kan? Kamu nggak malu apa, Leo itu udah punya bini!”
“Astaga … Aiden, harus aku jelasin berapa ribu kali lagi kalau aku nggak ada hubungan apapun sama Leo?”
Nadia kesal, dan berakhir dengan membanting ponselnya setelah debat sengit yang tak terselesaikan. Dan sudah menjadi tabiat Aiden untuk bersikap kekanakan, dengan menghilang dan mendiamkan Nadia selama berhari-hari.
Silent treatment ala Aiden membuat Nadia stress. Ia mulai uring-uringan dan overthinking. Padahal, ia sedang berjuang dan berusaha keras untuk memahami Aiden yang ternyata seorang flamboyan. Berharap Aiden akan berubah dan lebih memperhatikan perasaan cemburunya.
Akan tetapi, Aiden selalu saja mencari gara-gara atas nama cemburu. Selalu membalikkan fakta dan menuduh Nadia yang bermain di belakangnya.
“Nad, aku nggak bisa kalau kita cuma begini-begini aja! Hubungan kita ini jalan di tempat. Kapan aku bisa ketemu orang tuamu? Melamar kamu? Kasih aku kepastian untuk masa depan kita!”
“Ya gimana aku mau ngasih kepastian kalau kamu nggak bisa dipercaya?”
“Kita break aja lah! Capek aku sama hubungan nggak jelas ini. Aku mau mikir lagi, mau terus apa putus sama kamu!”
“Oke kalau memang itu mau kamu!”
“Tapi aku nggak bisa kalau harus jauh dari kamu, Nad!” kata Aiden dengan lagak tak bersalah. “Kita nggak jadi break deh, aku beneran nggak bisa kalau harus nggak punya hubungan sama kamu.”
Nadia hanya bisa menangis setelah obrolan berakhir. Mentalnya seolah sedang dipermainkan oleh Aiden. Sebentar diangkat sebentar dibanting. Berulang setiap beberapa minggu, dengan kalimat yang tak jauh berbeda.
Dua bulan berikutnya, Aiden masih tak berubah, justru semakin berulah. Sedangkan Nadia sudah lelah tapi tetap tak ingin pisah, masih berdoa setiap hari semoga Aiden bisa berubah.
“Aku mau putus! Aku capek nggak dipercaya terus sama kamu. Aku kan udah bilang aku nggak ada hubungan sama cewek lain.”
Nadia tak mendebat, hanya mendengarkan.
“Aku mau cari cewek lain yang bisa aku ajak serius, Nad! Yang seratus persen tulus dan percaya sama aku. Aku udah pengen nikah! Kita sudahi saja semua ini. Putus.”
“Putus?” tanya Nadia hampir tak terkejut. Namun begitu, air matanya meleleh, menandakan luka hatinya yang semakin menganga.
“Ya, aku mau kita putus. Mulai sekarang kita nggak ada hubungan spesial lagi. Kali ini benar-benar putus.”
“Oke. Terserah kamu!” jawab Nadia lemas.
“Tapi kamu jangan pergi dari hidupku ya, Nad! Walaupun kita udah nggak pacaran, kita masih bisa jadi teman, jadi hubungan silaturahmi tidak ikut putus,” kata Aiden di akhir pidatonya.
Nadia mungkin tidak sadar bahwa pertemanannya dengan Aiden adalah sebuah bencana. Jika dulu saat Aiden masih jadi pacar saja tak pernah peduli perasaannya, apalagi sekarang setelah tak ada hati yang harus dijaga?
Hari-hari selanjutnya Nadia mulai stress. Ia kerap menangis tengah malam, merasa kesepian, marah, kecewa tapi tidak bisa berbuat apa-apa.
Nadia berubah sensitif dan rapuh terhadap lingkungan. Mudah tersinggung dan selalu overthinking. Merasa dikucilkan dunia dan berpikir Tuhan tidak adil padanya.
Ketika Nadia berkeluh kesah pada sang kakak, saran yang diberikan padanya terlalu berat untuk dilakukan. Sangat berat. Ia tidak bisa. Sungguh tidak bisa menjalankannya.
“Nad, kamu harus bisa melepas Aiden. Kamu akan selalu sakit hati jika terus saja berteman dengannya. Mentalmu rusak karena dia. Kamu sadar nggak sih kalau dia itu banyak alasan? Blokir nomornya, blokir semua akun sosmednya, jangan pernah lagi berhubungan dengan dia! Cowok manipulatif gitu kamu cintai. Move on, Nad!”
“Aku bisa ngatasin dia kok, Bang! Aku nggak apa-apa berteman sama dia. Abang jangan khawatir!” tukas Nadia keras kepala. Masih membela Aiden dengan kebaikannya. Masih tak kuasa untuk jauh dari Aiden. Masih tak rela berpisah meski sudah disingkirkan.
“Oh ya udah. Lanjut deh!” ujar si kakak memendam kesal. Ia tahu persis adiknya sedang tidak baik-baik saja, tapi tak bisa memaksakan pendapatnya karena cinta Nadia begitu buta.
Nadia pun tak sadar-sadar, bahwa cintanya yang besar pada Aiden sudah membuat mentalnya sakit, hingga ia harus menjadi pasien dokter jiwa.
“Bisa putus hubungan dengan orang yang sudah membuat kamu balik lagi ke ruangan ini?” tanya sang psikiater. “Jauhi pria itu kalau mbak mau sembuh!”
Dengan ekspresi linglung, Nadia mengangguk, kemudian menggeleng.
T A M A T
Didedikasikan untuk yang sedang terluka oleh cinta.