Di sebuah negeri yang tersembunyi di balik tirai kabut abadi, berdirilah Kerajaan Anaraya—tempat di mana siang dan malam tak pernah saling bersentuhan. Negeri itu selalu disinari senja, bagaikan dunia yang tak pernah tidur ataupun terjaga sepenuhnya. Penduduknya hidup damai di bawah naungan langit jingga, dan segala sesuatu di sana terasa tenang, nyaris abadi. Namun, segala ketenangan itu ternyata hanyalah permukaan dari rahasia besar yang telah lama dikubur.
Anaraya adalah negeri para Penjaga Bayang. Mereka bukan manusia biasa. Mereka adalah keturunan dari perjanjian purba antara manusia pertama dan roh cahaya, yang memberkati mereka dengan kemampuan melihat dan menenun bayangan menjadi kenyataan. Tetapi perjanjian itu memiliki harga: tak ada penjaga yang boleh melangkah keluar dari batas kabut, atau cahaya dan kegelapan akan saling berbenturan—menghancurkan keseimbangan dunia.
Arava, seorang gadis berusia tujuh belas tahun, adalah anak dari keluarga penenun bayangan terakhir. Ia memiliki mata yang tak seperti penduduk lainnya—mata perak yang bercahaya seperti bintang. Sejak kecil, Arava dilarang keras menyentuh benang bayangan yang disimpan ayahnya di ruang belakang. Tapi rasa ingin tahu selalu tumbuh lebih cepat dari ketakutan.
Suatu malam, saat kabut terlihat lebih tipis dari biasanya dan bintang seolah-olah lebih dekat, Arava masuk ke ruang terlarang. Di sana ia menemukan gulungan benang hitam berkilauan, bergerak pelan seperti ular tidur. Ketika jarinya menyentuhnya, bayangan yang tak pernah ia bayangkan pun menyergap pikirannya.
Ia melihat pohon-pohon runtuh dalam kobaran api hitam, istana Anaraya runtuh ke bumi, dan sesosok makhluk besar bersayap kabut menatap langsung ke arahnya, berbisik dalam bahasa yang tak ia mengerti. Ia jatuh tersungkur, napasnya tercekat. Tapi di tengah bayangan mengerikan itu, terdengar bisikan lembut:
Kau adalah kunci. Waktumu telah tiba.
Arava bangun keesokan harinya dengan luka berbentuk spiral di telapak tangannya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana luka itu berasal. Ketika ia menunjukkan kepada ibunya, wanita itu menatapnya lama, lalu berkata lirih, “Kau telah dipanggil oleh Benang Hitam. Kau bukan lagi gadis biasa.”
Malam itu, ayahnya memanggilnya ke ruang tenun, tempat para penjaga terdahulu biasa merajut takdir dunia melalui bayangan. Dengan suara berat, ia bercerita tentang asal-usul mereka: bahwa dunia ini tidak tunggal, melainkan berlapis. Dan para Penenun Bayang bertugas menjaga pintu antara dunia cahaya dan dunia kegelapan. Namun salah satu dunia telah retak.
“Retakan itu berasal dari luar,” kata ayahnya. “Ada sesuatu... atau seseorang... yang mencoba masuk. Dan hanya keturunan darah sejati—kau—yang bisa menenunnya kembali.”
Arava tak mengerti semua itu, tapi ia tahu satu hal: setelah malam itu, ia tak bisa lagi hidup hanya sebagai gadis biasa. Ia harus pergi ke pusat kabut—Tempat Pertama, tempat lahirnya bayangan pertama. Di sanalah ia akan menemukan jawaban, atau kehancuran.
Perjalanan ke jantung kabut bukanlah hal yang mudah. Jalan-jalan tidak lagi berupa tanah, melainkan bayangan yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang telah “terbangun.” Arava ditemani oleh seekor burung gagak bermata tiga—penjaga kuno bernama Ekinu, yang bisa berbicara dalam bahasa mimpi.
Mereka melewati hutan yang daunnya terbuat dari kenangan, tempat di mana Arava melihat bayangannya sendiri sebagai anak kecil yang menangis karena kehilangan kakaknya yang dulu menghilang di dalam kabut. Ia harus melawan keinginannya untuk tetap tinggal di sana, untuk hidup dalam masa lalu.
Di sungai Lirena, air mengalir ke atas, dan arusnya membawa mimpi buruk dari semua yang pernah hidup. Arava hampir tenggelam dalam mimpinya sendiri, melihat seluruh Anaraya runtuh, dirinya menjadi ratu bayangan yang menaklukkan dunia, wajahnya tak lagi manusia. Tapi Ekinu menyelamatkannya, mencakar wajah ilusi itu hingga bayangan hancur berkeping-keping.
“Bayangan bukanlah musuh,” kata Ekinu. “Tapi cermin. Jika kau menolak melihatnya, ia akan menelanmu.”
Di pusat kabut, berdirilah Pohon Waktu—pohon raksasa yang tumbuh dari akar cahaya dan batang bayangan. Di sana Arava bertemu dengan makhluk bernama Nihl, roh penjaga perbatasan dunia. Nihl tak memiliki wajah, melainkan ribuan topeng yang berganti tiap kali ia berbicara.
“Jadi kaulah pewaris terakhir?” tanya Nihl. “Sudah terlalu lama dunia kita tergantung pada keseimbangan rapuh. Dunia bayang ingin keluar. Dunia cahaya ingin menelan segalanya. Kau harus memilih.”
“Apa yang harus kupilih?” tanya Arava.
“Kebenaran. Dan dengan itu, kau harus mengorbankan salah satunya: Anaraya atau dunia yang lain.”
Arava marah. Bagaimana bisa ia memilih kehancuran salah satu dunia? Tapi Nihl memberinya sepotong benang bercahaya—benang waktu. Dengan itu, ia bisa menenun ulang takdir. Tapi ia hanya punya satu kesempatan.
Arava kembali ke Anaraya, tapi semuanya telah berubah. Kabut menjadi merah. Langit senja berubah menjadi malam yang tak berbintang. Bayangan menyerbu dari segala arah, merasuki penduduk. Ayahnya telah berubah menjadi sosok bayangan tak bernyawa. Ibunya menghilang. Kota runtuh.
Namun di tengah kehancuran, ada sesuatu yang tetap: ruang tenun. Di sana, Arava duduk. Ia mengambil Benang Hitam dan Benang Waktu. Dengan tangannya yang gemetar, ia mulai menenun.
Setiap helai benang adalah keputusan: satu untuk membebaskan bayangan agar tidak lagi terkekang, satu untuk menyelamatkan Anaraya dari kehancuran. Tapi tak bisa keduanya.
Ekinu duduk di bahunya, dan dengan suara serak ia berkata, “Tak semua dunia bisa hidup bersama. Tapi satu kebenaran bisa menjadi fondasi baru.”
Dengan air mata, Arava memotong sebagian Benang Waktu dan menenunnya bersama bayangan dan cahaya. Hasilnya bukanlah dunia baru, tapi celah—tempat di mana semua dunia bisa saling melihat, bukan menaklukkan.
Anaraya tidak kembali seperti semula. Ia berubah. Tidak lagi senja abadi, melainkan pagi dan malam datang silih berganti. Penduduknya tidak lagi hanya menenun bayangan, tapi juga cahaya dan harapan.
Arava menjadi Penjaga Celah, seseorang yang tidak hanya menjaga batas, tapi juga jembatan antar dunia. Ia tahu, keseimbangan tidak berarti memisahkan terang dan gelap, tapi memahami keduanya sebagai satu.
Dan di langit yang baru, bintang-bintang menari. Burung gagak bermata tiga terbang tinggi, dan bayangan bukan lagi ketakutan—melainkan bagian dari kisah yang utuh.
Epilog
Di ujung dunia, seorang anak kecil menatap bintang dan bertanya kepada ibunya, “Ibu, apakah bayangan itu jahat?”
Ibunya tersenyum, lalu menunjuk ke langit malam yang berbintang:
“Tidak, Nak. Bayangan hanya ada karena ada cahaya. Sama seperti kita.”