Bulan adalah seorang gadis berusia 18 tahun yang mengalami tunanetra semenjak kecil. Namun, dia bersekolah normal seperti anak lainnya. Hanya saja, dia dijauhi oleh teman sekelasnya sehingga Bulan tidak pernah memiliki teman.
“Bu, apakah wajahku jelek?” Suatu hari Bulan bertanya sendu kepada ibunya membuat sang ibu terkejut.
Ibunya—Hana, lantas memegang wajah putrinya dengan senyum lembut. “Tidak, Sayang. Kamu sangat cantik. Bahkan kecantikanmu melebihi ibu.”
Perkataan Hana tidak salah. Wajah Bulan imut dan cantik. Dengan mata besar, hidung mungil mancung, dan bibir ranum.
Tapi, sepertinya Bulan tidak percaya. Ia memegang wajahnya sendiri dan berkata sedih. “Tapi kenapa semua orang menjauhiku, Bu? Kenapa aku tidak memiliki teman?”
Mata Hana berkaca-kaca. Ia berusaha menahan air matanya yang nyaris luruh. Rongga matanya memerah dan memanas. Suara menjadi sengau, namun sangat menenangkan Bulan. “Tidak, Sayang. Mereka tidak menjauhimu. Banyak teman memang menyenangkan, namun satu teman sejati sulit untuk ditemukan. Suatu hari kamu pasti bertemu dengan teman sejatimu, yang selalu di sampingmu, dan tak pernah meninggalkanmu.”
Mata abu-abu Bulan yang redup langsung berbinar. Ia menatap dunianya yang gelap, namun hawa hangat ibunya mengelili dengan hangat. “Aku pasti akan bertemu dengannya, kan, Bu?”
Hana tersenyum sembari mengusap pipi bulat putrinya. “Iya, Sayang. Itu pasti.”
***
“Aku akan membantumu.” Bulan tersentak mendengar suara rendah lelaki di sampingnya. Ia ragu-ragu.
Biasanya, jika ia akan menyeberang, selalu ada ibu-ibu yang baik membantunya. Namun, pagi ini Bulan gelisah karena Ibu baik itu tidak ada.
Sebelum Bulan menanggapi, anak lelaki itu mengambil tangannya untuk memegang ujung bajunya sendiri. Bulan tak memiliki kesempatan menolak, karena dia sudah dibimbing maju untuk menyeberang.
Karena sangat jarang berinteraksi dengan lelaki, Bulan sedikit takut. Anehnya, hatinya berangsur-angsur tenang. Ia mengepalkan ujung seragam anak lelaki itu agar tidak terlepas.
“Sudah sampai.” Suaranya kembali datang. Bulan mengedipkan matanya dan sedikit enggan melepaskan pakaiannya.
“Terima kasih,” ucap Bulan lembut.
“Hm.”
Bulan tidak tahu apakah dia sudah pergi atau masih di sana. Namun, ia harus segera memasuki gerbang sekolah agar tidak terlambat. Ia sudah sangat akrab dengan letak sekolah itu. Walaupun terkadang dia selalu ditabrak orang lewat secara tidak sengaja.
Benar saja, detik berikutnya bahu Bulan tertabrak keras seseorang hingga terhuyung ke belakang. Sebelum ia membayangkan rasa sakit jatuh, tubuhnya tiba-tiba mendarat di sebuah pelukan asing.
“Ma-afkan aku!” Pihak yang menabrak segera meminta maaf dan menggigil saat bertabrakan dengan mata dingin orang yang menangkap gadis ditabraknya.
Melihat isyarat di mata dingin itu untuk pergi, dia langsung lari dengan gemetar.
“Kamu baik-baik saja?” Suara itu lagi!
Mata Bulan melebar merasakan sebuah tangan membantunya berdiri tegak. Apakah anak lelaki yang membantunya di jalan tadi merupakan anak sekolahnya? Ia menjawab gugup. “Aku baik-baik saja. Terima kasih.”
“Aku akan mengantarmu ke kelas.”
Bulan terkejut atas kebaikannya. Ia seharusnya takut pada kebaikan seseorang yang tiba-tiba. Tapi hatinya merasa tenang dan ada kepercayaan yang muncul begitu saja. “Apakah tidak merepotkanmu?”
Lelaki remaja itu membangkitkan senyuman hangat di wajah tampannya. “Tidak. Aku sangat senang membantumu.”
Hati Bulan gemetar mendengar suaranya yang penuh ketulusan. “Siapa namamu?”
Bulan terkejut dia menanyakan nama tiba-tiba. Namun, ia menjawab pelan. “Bulan.”
“Aku langit,” katanya sembari mengambil tangan Bulan untuk berjabat. “Bolehkah aku berteman denganmu?”
Mata Bulan terbelalak. Pupil matanya yang pucat gemetar. “Teman?”
“Hm. Sudah lama aku menantikannya.”
***
Bulan tak pernah menyangka langit benar-benar ingin berteman dengannya. Apakah dia teman sejati yang seperti ibunya katakan? Langit selalu hadir membantunya setiap pagi, membimbingnya berjalan ke mana pun sehingga Bulan tak kesulitan lagi, membelikannya makan siang, dan makan bersama di kelas. Dia selalu di sampingnya dan tak pernah tidak hadir di kehidupan sekolahnya setiap hari.
Namun, kedamaian itu tak berlangsung lama. Saat pulang sekolah, tiba-tiba dia dicegat beberapa anak gadis dan membawanya ke toilet. “Apakah kamu menyukai langit?” Suara gertakan itu membuat Bulan gemetar takut.
Suka? Ia tak mengerti arti suka yang dia maksud. “Ak-u tidak tahu .…”
Tiba-tiba air dingin mengguyurnya dari atas rambut sehingga Bulan tersentak dan syok. Lalu suara kejamnya datang lagi. “Kamu tidak boleh menyukainya! Kamu harus menjauhinya di masa depan! Atau kita akan menggertakmu setiap hari!”
Bulan gemetar dan menangis. Ia sudah biasa mendengar cemoohan dan hinaan, namun ia tak pernah di bully secara langsung seperti sekarang.
Mendengar suara langkah kaki menjauh, tangisan Bulan mengeras. Ia sangat takut sekarang… ia kedinginan ... Dan ia tak bisa melihat apapun. Sangat gelap. Bulan ingin melihat cahaya. Bulan berharap suatu hari ia bisa melihat dunia.
Saat mendengar suara langkah tergesa datang kepadanya, Bulan memucat. Ia menyusut takut.
Namun, tiba-tiba pelukan hangat mengelilinginya. Saat Bulan tertegun, suara akrab memasuki telinganya. Terisak menangis. “Maaf … maafkan aku, Bulan. Ini semua salahku. Aku tidak akan membuatmu tersakiti lagi.”
***
Semenjak hari itu, Langit tak pernah muncul lagi di hadapannya. Bulan sangat sedih hingga dia menangis setiap malam. Hana yang sudah tahu pertemanan keduanya hanya bisa menghibur putrinya tanpa bisa apa-apa. Namun, tiba-tiba Bulan membuat keputusan untuk berhenti sekolah. Hana yang tidak berdaya akhirnya mengiyakan.
Beberapa bulan kemudian, Bulan dikejutkan dengan perkataan ibunya yang menangis bahagia. “Bulan, ada seseorang yang ingin mendonorkan matanya kepadamu. Apakah kamu ingin menerimanya?”
Bulan tak kuasa menahan tangis dan mengangguk tanpa ragu sembari memeluk ibunya. “Aku ingin, Bu. Aku ingin melihat dunia … aku menginginkannya.”
Selama proses operasi, semuanya lancar dan sukses. Hal pertama yang Bulan lihat adalah dunia berwarna seperti dalam bayangannya. Lalu wajah dokter dan ibunya. Bulan menangis lagi karena rasa bahagia yang membuncah.
Tiba-tiba dua orang asing dengan wajah sembab dan mata bengkak memberinya sebuah surat dengan senyum hangat dan sendu. “Kamu Bulan, kan? Ini adalah surat yang putraku titipkan kepadamu. Semoga kamu menyukai hadiah yang dia berikan. Terima kasih telah datang di kehidupan putraku yang hanya sebentar.”
Bulan menerimanya dengan bingung. Saat melihat nama di pengirim surat itu, mata Bulan memerah. Tiba-tiba hatinya berdenyut sakit.
Melihat baris pertama di surat itu, Bulan tak bisa menahan air matanya lagi dengan hati gemetar syok. Wajahnya memucat dengan air mata luruh tanpa henti.
Dear, Bulan.
Saat kamu membaca ini, kamu pasti sudah melihat dunia yang kamu inginkan. Indah, bukan? Begitulah perasaan bahagiaku saat pertama kali melihatmu. Nyatanya kamu memang Bulan di langit malamku yang gelap gulita. Kamu memberi cahaya di hidupku yang penuh kegelapan. Cahaya yang damai tanpa membuat terbakar panas seperti sengatan matahari. Tolong jangan menangis saat menerima kenyataan langit tlah pergi. Aku selalu memelukmu di mana pun kamu berada. Langit tak pernah meninggalkan Bulan sendirian.