Dalam hidup kita pasti memiliki orang yang paling kita sayang. Kita bahkan akan melakukan apapun untuk kebahagiaan mereka.
Tapi terkadang kita tak benar-benar memiliki mereka. Orang yang kita sayang bukanlah sepenuhnya milik kita. Ia adalah milik Tuhan. Aku selalu ingat itu, tapi entah mengapa terkadang aku masih menyangkalnya.
Pada akhirnya aku disadarkan oleh Tuhan. Orang yang paling aku sayang dibawa-Nya kembali kepangkuan-Nya. Aku rasa sepertinya Tuhan juga sayang padanya. Tapi tidakkah Tuhan juga sayang padaku?
Kenapa Tuhan mengambil satu-satunya kebahagiaanku? Padahal Tuhan jua lah yang mempertemukan kami, membuat kami berbagi kasih, lalu kenapa Ia mengambilnya dari ku? Apakah karena dia adalah milik Tuhan? Lalu kenapa Tuhan membuatku mencicipi kebahagiaan hanya untuk sekedar menyadar bahwa itu hanya gula-gula kehidupan?
Hidupku pahit kembali, gula-gula kehidupan yang pernah diberikan oleh Tuhan membuatku kecanduan. Aku rindu dengan nya, orang yang ku sayang.
Setiap hari hanya kulewati dengan sunyi, hampa, hambar. Suara gelak tawa dari masa ke masa sudah hilang tinggal gema di dada. Aku melangkah gontai lalu tersungkur.
Dulu aku menangis tersedu. Sekarang hanya tinggal mata basah tanpa ekspresi. Tanah tempat peristirahatan terakhirnya sudah kering, berbeda dengan pipiku yang masih tergenang air.
Sebenarnya apa yang sedang aku cari? Dirinya atau kebahagiaan yang dia berikan? Sebenarnya aku butuh apa? Atau siapa?
Pertama kali aku bertemu dengannya adalah saat aku sedang mencoba mengakhiri hidup. Aku ketahuan membuat ayunan di dalam kamarku oleh Ibu. Melihat aku tak sadarkan diri, Ibu langsung membawaku ke rumah sakit. Sayang sekali aku selamat hari itu.
Lalu siangnya aku mencoba lagi, pergi ke atap rumah sakit lalu tiba-tiba bertemu dengannya. Ia mengajakku bicara, dari gelagatnya ia tau aku ingin melompat.
Ia bertanya tentang cita-cita dan impianku, lalu ia bercerita tentang dirinya. Katanya ia punya impian besar, tapi sayangnya ia sakit parah dan waktunya tak lama lagi.
Ia bilang bahwa kalau aku tak punya impian, maka tolong wujudkan impian dia. Aku marah, menyuruhnya untuk tetap kuat sampai akhir, ia tersenyum setelahnya.
Setelah itu kami menjadi akrab, bertemu di atap lalu membicarakan tentang kehidupan. Lambat laun aku merasa menemukan kebahagiaan. Rasanya aku hidup lagi saat melihat senyumannya.
Tapi sakitnya semakin parah, ia berpesan padaku agar terus hidup untuk mewujudkan impian dia. Namun bagaimana aku bisa hidup saat 'kehidupanku' sudah menghembuskan nafas terakhirnya?
Dulu aku selalu berdoa pada Tuhan agar ia tak merasakan sakit lagi dari penyakitnya. Dan akhirnya Tuhan menjawab doa ku, dengan membawanya pergi dari sisiku.
Kenapa caranya harus begini? Apakah aku tak pantas untuk berada di sisi dia? Apakah aku akan terus hidup dalam hampa?