Disaat anak kecil seusiaku sedang asyik bermain dengan teman-teman, aku harus membantu ibu berjualan agar kehidupan kami bisa tercukupi.
Namaku Nadia Almira biasa dipanggil Mira, aku duduk dibangku sekolah dasar kelas 5. Aku memiliki seorang adik laki-laki bernama Fahmi, usianya baru 2 tahun. Ibuku bernama Ratih, kami tinggal bertiga setelah ayah meninggal dunia satu tahun lalu karena sakit.
Ibu bekerja sebagai buruh cuci dari rumah ke rumah atau biasa dipanggil jika ada yang membutuhkan jasanya, dirumah ibu juga sering membuat aneka kue untuk aku jajahkan di sekolah.
Dulu ayahku bekerja sebagai kuli bangunan, tapi belum lama ayah mendadak sakit dan ternyata tuhan berkehendak lain, ayah harus pergi meninggalkan kami untuk selamanya.
Itu sebabnya, sebisa mungkin aku ingin membantu ibu mencari uang. Agar kehidupan kami tercukupi, meskipun lelah tapi aku sangat bersyukur bisa membantu meringankan beban ibu.
Dan terkadang rasa iri itu ada, ingin seperti anak-anak lain yang ketika pulang sekolah bisa bermain dengan teman-teman tanpa harus memikirkan apapu, tapi takdirku berbeda dengan mereka.
"Kak, nanti tolong jagain adek ya ibu mau ke rumah Bu Leni. Tadi pagi bu Leni minta ibu buat bantu-bantu di rumahnya."
Aku yang sedang mengerjakan tugas sekolah berhenti sejenak kemudian menoleh kearah sang ibu.
"Memangnya disana ada acara apa bu?" Tanyaku penasaran.
"Katanya mau mengadakan acara selamatan rumah, kan rumahnya baru aja selesai dibangun." Jelasnya.
"Yaudah bu, nanti aku jagain adek dirumah. Ibu hati-hati, ya."
"Makasih ya, kak."
Aku pun menganggukan kepala dan bergegas menyelesaikan tugas sekolah, setelah selesai aku mengajak Fahmi bermain di kamar dan ibu berangkat ke rumah Bu Leni.
Rumah kami dan Bu Leni jaraknya lumayan dekat, sekitar 15 menit dengan berjalan kaki. Dan rumah Bu Leni berada di sebrang jalan raya hampir berdekatan dengan sekolahku.
Saat sedang asyik bermain dengan Fahmi, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah. Sambil menggendong adek, aku bergegas membukakan pintu.
"Eh Pak Rt, ada perlu apa pak? Ibu lagi pergi ke rumah Bu Leni." Ucapku menjelaskan saat melihat ada pak RT dan istrinya.
"Bapak kesini justru mau ngasih tahu kamu Mir, baru saja ibu kamu mengalami kecelakaan. Ibu kamu menjadi korban tabrak lari, dan sekarang sedang dibawa ke Rumah Sakit."
Bagai disambar petir, aku langsung jatuh kelantai. Dengan sigap Bu Rt mengambil Fahmi dan menenangkan aku, yang sedang menangis mendengar kabar itu.
"Kamu yang sabar, Mir. Semoga ibu kamu baik-baik saja, sekarang kamu ikut sama bapak pergi ke Rumah Sakit biar Fahmi sama ibu di sini."
"Iya bu, makasih. Kalau gitu aku berangkat sekarang ya bu," tanpa menunggu lama aku gegas bangkit dan mengikuti pak Rt.
Selama diperjalanan ke Rumah Sakit, aku terus menangis antara sedih dan takut. Takut akan kehilangan orang yang aku sayangi untuk kedua kalinya, tapi aku membuang perasaan itu dan menguatkan diri bahwa ibu akan baik-baik saja.
Sesampainya di sana, aku melihat ada beberapa tetangga yang sedang menunggu. Bisa di pastikan ibu berada di dalam sana, dan seketika bapak-bapak itu berdiri saat melihat aku datang bersama pak Rt.
"Gimana ibuku pak?" Tanyaku cemas.
"Ibu kamu masih di dalam Mir, dokter masih memeriksanya." Jawab salah seorang bapak-bapak itu.
"Kamu yang sabar ya Mir, ibu kamu pasti baik-baik saja." Ucap yang lainnya menguatkan.
"Iya pak, makasih doanya." Jawabku pelan.
Dengan perasaan cemas dan takut, aku terus berdoa memohon kesembuhan untuk ibu. Aku belum siap jika harus ditinggalkan lagi, apalagi dirumah ada Fahmi yang masih sangat membutuhkan ibu.
Tidak lama, pintu ruangan UGD terbuka dan dokter pun keluar.
"Keluarga ibu Ratih?" Tanyanya kepada kami yang sedang menunggu.
"Ini anak nya, Dok." Jawab pak Rt sambil menunjukku.
"Mohon maaf dek, pak, ibu Ratih tidak bisa kami selamatkan. Beliau mengalami pendarahan yang cukup berat di kepalanya akibat benturan yang sangat keras." Jelasnya.
Seketika duniaku hancur, sedih, lemas mendengar ucapan Dokter itu. Rasanya tubuh ini melayang, berputar seakan-akan runtuh.
Tiba-tiba, aku terbangun di ruangan berdinding putih. Dingin sunyi dan berbau obat-obatan, di sana sudah ada bu Rt yang menunggu.
"Akhirnya kamu sadar juga, Mir. Tadi kamu pingsan, jadi ibu menemani kamu di sini. Fahmi sudah ibu titipkan sama bu Yati, tidak mungkin ibu ajak dia kesini." Jelasnya.
Disaat kesadaranku pulih, aku kembali mengingat apa yang membuat aku pingsan. Aku hanya bisa menangis tanpa tahu harus berbuat apa.
"Kamu yang sabar Mir, doakan saja supaya ibu kamu tenang dialam sana. Kamu jangan takut, ibu akan selalu membantu kamu, untuk sementara ini kamu tinggal dulu sama ibu ya."
"Sekarang ibu dimana? Aku mau ketemu sama ibu." Sembari menangis aku menanyakan ibuku.
"Ibu kamu sudah dibawa pulang oleh bapak dan tetangga yang lain, sekarang mereka sedang mengurusi proses pemakaman ibu kamu. Setelah infusan ini habis, kamu boleh pulang." Jelasnya lagi.
"Aku mau pulang sekarang bu, aku baik-baik saja. Aku sudah sehat, sekarang aku mau lihat ibu untuk yang terakhir kalinya." Ucapku sembari menangis.
Akhirnya Bu Rt meminta izin Dokter dan diperbolehkan pulang, tanpa menunggu lama gegas kami pulang.
Setibanya di rumah para tetangga sudah berkumpul, mereka siap mengantarkan ibu ke peristirahatan terakhirnya. Aku mengikuti sampai ke pemakaman, disana aku melihat ibuku yang sudah berselimut kain putih.
Sampai proses selesai, aku didampingi oleh bu Rt. Beliau terus menguatkan aku, agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan.
Dengan tubuh yang terduduk di pinggiran gundukan tanah merah yang masih baru, aku menangis membayangkan kehidupanku selanjutnya seperti apa. Tanpa ayah dan ibu, aku harus apa sekarang. Membesarkan adik sendirian, tanpa adanya orang tua. Berjuang sendiri, tanpa keluarga. Aku hancur, berantakan tanpa ada lagi arah yang menentukan kemana lagi aku harus melangkah.