Malam yang gelap di terangi cahaya bulan purnama yang terang. Jendela kamarku terbuka, aku duduk di depannya dengan kue ulang tahun kecil yang begitu sederhana. Mataku menatap bulan dan bibirku membentuk senyum tipis.
Aku menghela nafas, kemudian menatap perlahan meletakan kue kecilku di atas meja di samping jendela. Aku menghidupkan dua lilin berbentuk angka 1 dan 8—menandakan umurku saat ini.
Menatap jam digital flip di depanku, aku menutup mata dan mulai berdoa dalam hati dengan tangan saling menggenggam di depan dada. Detik demi detik berlalu, jam akhirnya menunjukkan pukul 00.00, tepat tengah malam.
Aku membuka mata kemudian tersenyum. "Selamat ulang tahunan... Aila," ucapku pada diriku sendiri, kemudian aku meniup lilin di depanku.
Malam semakin larut, aku memakan kue ulang tahunku. Porsinya tidak besar, namun seleraku yang berkurang. Rasa manis kue itu tidak membuatku bahagia.
Malam pun larut. Entah karena kelelahan atau hanya merasa kosong, aku tertidur di kursiku, kue masih setengah dimakan di atas meja. Kepalaku di atas meja dengan tangan terlipat sebagai bantal, sedangkan mataku tertutup dengan cepat. Seolah ada yang menarik paksa diriku untuk tertidur.
Aku tidak ingat berapa lama aku tidur, itu seperti hanya mengerjapkan mata dan akhirnya aku kembali terbangun. Tapi... pagi ini tubuhku terasa berbeda. Aku bangun dengan tubuh pegal dan jantung berdegup tidak karuan. Saat menatap cermin, aku membeku. Di sepanjang leher hingga dadaku terlihat ada jejak-jejak merah samar—tidak seperti gigitan nyamuk, melainkan seperti bekas hisapan dan... jilatan. Pakaianku kusut, robek di bagian bahu dan sisi samping.
Yang lebih anehnya, seingatku saat malam aku tertidur aku berada di depan meja. Bukan di atas kasur ku sendiri.
“Mungkin serangga, atau aku mengigau saat tidur? Sepertinya beberapa serangga masuk karna jendela kamarku terbuka," gumamku, meski hatiku seperti menolak logika itu.
Hari-hari ku berlanjut, namun kejanggalan setiap malam selalu sama. Setiap malam aku akan tertidur dengan cepat, tanpa mimpi dan seperti hanya menutup mata sesaat. Dan saat aku bangun, tubuhku akan terasa pegal dan tanda merah kebiruan semakin banyak di tubuhku. Hal itu berlangsung selama lima hari sejak malam ulang tahunku.
Aku pernah mengaktifkan kamera ponselku diam-diam saat aku akan tidur. Namun paginya saat aku memeriksa ponselku, video yang ku rekam seolah di serang virus, membuat tampilannya seperti film dalam kaset rusak.
Pada malam berikutnya, aku memutuskan untuk pura-pura tidur. Mataku masih terbuka, namun aku berbaring tenang di atas ranjang. Aku berusaha tetap kuat meski jantungku selalu kencang berdetak.
Jam menunjukkan pukul 02:43 saat udara di kamar tiba-tiba terasa dingin dan lembap. Lampu berkedip. Lalu… muncul suara berbisik, seperti napas kasar di telingaku. Aku perlahan dan hati-hati mengangkat cermin kecil kecil di tanganku, aku melihat pantulan bayangan sosok mengerikan itu. Sosok tinggi kurus dengan kulit kelabu, lidah panjang menjulur dari mulutnya yang begitu lebar tersenyum. Matanya hitam namun di tengahnya memancarkan cahaya merah yang menyala. Sosok itu merayap ke arah tempat tidurku, membuatku langsung menutup mataku rapat-rapat dan menutup cermin di tanganku.
Aku menahan napas. Makhluk itu tidak menyadari aku terjaga.
Makhluk itu mendekat, jari-jari panjang yang kurus dan kasar menyentuh lengan dan punggungku yang menyamping membelakanginya. Sekuat tenaga aku menahan getaran di tubuhku saat sesuatu berlendir dan panjang menjilat pipiku. Aroma menjijikkan menusuk penciuman ku, membuat perutku terasa sangat sakit.
Aku membuka mataku perlahan saat makhluk itu menjauh dari belakang. Perlahan dan waspada, aku menoleh ke belakang, mencari keberadaan makhluk itu. Melihat makhluk itu tidak ada di kamarku, aku segera bangun. Kakiku perlahan turun dari ranjang, menginjak lantai dingin di bawahku.
Aku menghampiri jendela, menatap ke luar jendela yang tertutup. Kaca tembus pandang itu tidak menunjukkan apapun, tidak ada tanda keberadaan moster tadi.
"Sepertinya sudah selesai," gumamku, menghela nagas lega.
Saat aku berbalik, mataku terbelalak melihat sosok tinggi menjulang hingga menyentuh langit-langit kamarku.
Aku menahan napas saat mata hitam pekat makhluk itu mengunci pandanganku. Suara napasnya kasar dan berat, seperti desis ular yang lapar. Makhluk itu menunduk, wajahnya dekat dengan wajahku. Lidahnya yang kasar, berlendir dan panjang menjilati pipiku. Membuatku merasa jijik dan reflek menekan kepalaku ke jendela di belakangku.
Lidah moster itu semakin berani, benda menjijikkan itu menyapu kulit pipiku hingga ke leher dan bahuku. Jari-jari panjangnya menarik dan mencabik krak baju tidurku. Membuat nafasku semakin cepat dan tidak teratur, telebih karna lidahnya itu menyapu kulit ku yang terbuka sedangan tekanan kuat.
Aku menatap meja di sampingku, perlahan dan hati-hati aku mengambil sebuah pisau buah di atas meja. Setelah mendapatkannya, aku memegang kuat pegangan pisau dan dengan cepat menusukkan pisau itu ke lidah moster yang menyentuh dadaku yang terbuka.
Makhluk itu meraung—suara yang bukan milik manusia, bukan pula binatang. Tubuhnya terhuyung mundur, lidahnya mengeluarkan cairan hitam seperti darah, namun hitam dan menjijikkan.
Tanpa membuang waktu, aku berlari ke pintu kamarku. Tanganku gemetar saat memutar knop, tapi... terkunci. Aku memutar kuncinya, menggerakan knop, menekan dan mengguncangnya sekuat tenaga. Tidak ada hasil.
“Tidak... ku mohon bukalah! BUKA!” teriakku frustasi.
Di belakangku, terdengar suara lendir diseret di lantai. Sesuatu bergerak cepat. Sebelum aku sempat menoleh, sesuatu yang dingin dan lengket melingkari pergelangan kakiku—lidah itu. Dalam sekejap, tubuhku terseret ke belakang dengan kekuatan luar biasa.
“Aaaaahhh!!!”
Tubuhku menghantam lantai, dan kepalaku terbentur cukup keras. Dunia berputar, pandanganku kabur, suara-suara terdengar jauh. Yang terakhir ku rasakan, lidah makhluk itu melilit seluruh tubuhku dan menyeretku begitu saja.
---
Aku terbangun perlahan, mataku terbuka dengan sangat berat. Saat mendapatkan kembali kesadaranku, aku mendapati diriku terikat di kursi tua. Tanganku terikat ke belakang punggung, seperti ada tali yang menggeliat mengikat tangan juga kakiku.
Aku mengangkat pandanganku, memerhatikan tempat mengerikan yang menampungku. Di dapapanku, makhluk itu duduk di sudut ruangan setelah membunuh dan merobek dada manusia yang masih setengah hidup. Tidak ada jeritan, namun aroma basi darah menguar. Makhluk itu berbalik, empat kakinya yang seperti kaki laba-laba merayap ke arahku. Di telapak tangannya yang kasar dan kecil seperti dahan pohon—terlihat sebuah gumpalan menjijikkan seperti jantung.
Wajah moster itu tertunduk dan mendekat ke arahku, membuatku langsung mundur dan bersandar pada kursi yang mengikatku. "Apa... apa maumu?" tanyaku dengan suara bergetar.
Moster itu mengambil gumpalan di tangannya dengan lidah panjangnya. Kemudian memaksaku memakannya.
Aku mengalihkan wajahku, berusaha menghindar saat benda itu menyentuh bibirku. Rasa takutku semakin besar, tanganku semakin kuat berjuang untuk terlepas.
"Ma... kan!" suara moster itu terdengar, begitu serak dan pecah, sangat tidak manusiawi. Ia menggunakan jari panjangnya untuk memutar wajahku agar menghadap kembali padanya.
"T-tidak... aku tidak lapar. Aku... tidak bisa makan itu..."
Akhirnya gumpalan itu terjatuh ke lantai, akhirnya aku bisa bernafas. Lidah moster itu terulur ke arahku, menjilati pipiku hingga ke telingaku. Wajah mengerikannya begitu dekat, begitu menakutkan.
“Apa yang... kau mau dariku?” suaraku terdengar lemah dan tercekat, namun aku berusaha bertanya.
Makhluk itu hanya diam, sejenak, menatapku dengan mata kosong yang tampak seperti dua lubang gelap tak berujung. Kemudian, suara monsternya itu muncul lagi—suara serak dan mengerikan yang bergetar dalam setiap kata.
“Milikku... milikku... semuanya milikku...”
Kata-kata itu terus terulang, membuatku semakin merinding ketakutan. Setiap kali lidah makhluk itu menjulur, ia membelai wajahku, leherku, tangan dan bahuku, dengan sentuhan dingin yang menjijikkan. Lidah itu bergerak halus namun penuh ancaman, seolah berusaha menandai setiap inci tubuhku sebagai miliknya.
Lidah moster itu semakin jauh menyentuh kulitku yang terbuka. Lidah keduanya keluar dari mulutnya yang terbuka lebar. Lidah kedua moster itu turun ke paha kiriku, lilitannya perlahan lalu mencengkram dengan kuat. Lidah panjang itu melingkar dan merayap semakin ke bawah ke pergelangan kakiku.
"A-apa... apa yang..."
Aku membelalakan mata saat tiba-tiba kulit kakiku di tusuk dengan kuat oleh lidah moster itu. Aku merasakan darah mengalir dari betisku, membuatku ingin menjerit namun lidah pertama moster itu langsung masuk ke mulutku dengan gerakan menjijikan.
Air mataku menetes, merasakan panas di tenggorokanku, sakit di kakiku, dan sengatan racun di tubuhku. Racun dari liur moster itu membuat kaki kiriku panas dan lumpuh. Sedangkan lidahnya yang seolah ingin menggali tenggorokanku membuatku merasa sangat sesak.
Dengan usaha terakhir, tanganku dengan kuat menarik diri dari tali yang mengikat. Setelah sekian lama berjuang, akhirnya tanganku terlepas dari belenggu yang menahan pemberontakanku. Aku mengambi penusuk rambut di rambutku, di saat yang tepat aku dengan cepat menusuk satu mata moster itu dengan kayu kecilku.
Lidah moster itu segera keluar dari mulutku, juga terlepas lilitannya pada kakiku. Begitu terlepas aku segera mengambil nafas rakus, sementara tanganku menyentuh leherku yang seperti hampir terbakar. Aku dengan cepat membuka ikatan pada kakiku kemudin segera berdiri.
Aku menatap moster itu. Raugannya itu memenuhi ruangan, mengguncang dinding dengan kekuatan yang membuatku merasa seolah-olah seluruh dunia sedang berputar. Lidah makhluk itu terulur mengobati luka di matanya sendiri. Moster itu berbalik menjauh dariku, dengan suara yang mencekam, terengah-engah penuh amarah.
Tanpa ragu, aku meraih kursi kayu yang ada di sampingku, dengan kekuatan yang tersisa aku mengangkatnya kemudian mengayunkan kursi itu ke arah moster itu.
BANG!
Suara benturan keras terdengar, membuat makhluk itu mengerang kesakitan, terhuyung mundur beberapa langkah.
Namun, itu belum cukup untuk menghentikan makhluk itu. Wajahnya yang hancur dan tercabik mulai memperlihatkan ekspresi mengerikan yang tidak manusiawi, sementara darah hitam menetes di lantai semakin banyak.
Aku segera berbalik, dengan langkah tertatih dan setengah berlari aku menyeret kaki kiriku yang lumpuh untuk keluar dari ruangan itu.
Keringat mengalir deras di wajahku, pernapasanku tersengal-sengal, namun aku terus berjalan dengan kondisi saat ini. Dinding gelap dan lembap tampak semakin memenjarakan diriku, tapi aku tetap berusaha mencari pintu, mencari jalan keluar. Aku bisa mendengar suara langkah berat makhluk itu yang semakin dekat di belakang, seperti langkah kaki yang menyusulnya di kegelapan.
Kakiku yang terseret semakin terasa sakit, namun aku menekan rasa lelah dan ketakutan yang hampir menghancurkan semangatku. Aku bertekad untuk keluar.
Akhirnya, di sudut ruangan yang gelap, aku melihat pintu—pintu besar yang terbuat dari kayu gelap, terkunci rapat. Dengan tanganku yang gemetar, aku menggapai knop pintu itu dan berusaha memutarnya. Tapi... pintu itu tidak terbuka.
Panik mulai menghantuiku, keringat semakin membasahi tubuhku, dan langkah makhluk itu semakin dekat. Aku bisa mendengar napas beratnya, seperti desis ular raksasa yang siap melahap.
“Tidak…!” aku berteriak dalam hati, berusaha mendorong pintu dengan semua kekuatan yang tersisa. Namun pintu itu tidak bergeming.
“Milikku... milikku...” suara itu terdengar semakin dekat, mengerikan, seperti bisikan dari dunia lain yang merasuk ke dalam tubuh. Sesuatu merayap dari balik bayangan, dan aku tahu—makhluk itu hampir di belakangku.
Dengan satu gerakan insting, aku mendobrak pintu dengan seluruh kekuatan yang masih ku punya. Setelah berusaha keras, akhirnya pintu itu berhasil ku dobrak. Pintu kayu besar itu terbuka dengan keras, menimbulkan suara berderak yang menggema. Cahaya remang dari luar mengalir masuk, memberi sedikit harapan untukku.
Aku tidak ragu dan segera melangkah ke depan, ingin keluar dari tempat kegelapan ini. Namun, tepat saat hampir menginjakkan kaki di luar ruangan itu, sebuah sensasi dingin dan lengket melilit pinggangku—seperti seutas tali besar yang menyeret tubuhku ke belakang.
Lidah makhluk itu!
Dengan kecepatan yang tak terduga, lidah panjang dan berlendir itu melilit erat di sekitar tubuhku, mengangkat tubuhku ke udara seolah-olah hanyalah mainan kecil. Setiap helaan napasku terasa semakin sesak, lidah itu mengikat tubuhku begitu erat, meremas perutku dengan kekuatan yang membuatku hampir tak bisa bernapas.
"L-lepaskan... aku..." suaraku tercekik oleh lilitan lidah itu yang terus mengencang.
Setiap detik berlalu, semakin sulit untukku bernafas. Pandanganku mulai kabur, tubuhku mulai terasa berat. Lidah itu terus menarikku ke belakang, kembali ke tempat yang lebih gelap, lebih menakutkan.
Aku berjuang sekuat tenaga, namun semakin lama tubuhku semakin lemas. Aku tidak dapat berbuat banyak, hingga akhirnya kesadaranku mulai memudar.
Lidah moster itu melepasku di atas permukaan, membuat tubuhku terjatuh dengan keras ke tanah. Setelah itu, semua suara terdengar perlahan memudar dan semuanya kembali menjadi gelap.
---
Saat aku kembali tersadar, aku terbaring di lantai, tubuhku tak bergerak—lebih tepatnya tidak bisa ku gerakan. Keheningan meresap di sekelilingku, sementara makhluk itu berdiri di atas tubuhku, menatapku dengan mata kosong yang mengerikan.
Lidah moster itu terlihat lebih panjang dan tebal, ujungnya terlihat seperti terlilit dan membentuk runcing. Wajah moster itu begitu dekat dengan wajahku, sementara lidahnya menjalar seperti ular dari leher ke lengan kanan ku.
"Aaaahhh!!" Mataku terpejam kuat, jeritanku terdengar tanpa tertahan. Tubuhku tersentak karna rasa sakit yang membakar.
Lidah Makhluk itu menekan lebih dalam, menanam racun di tanganku hingga benar-benar tidak bisa ku gerakan lagi. Setelah itu, aku merasakan ujung lidahnya kembali tumpul di dalam dagingku, menjilati darah langsung dari dalam lukaku.
Jari-jari panjang dengan kuku tajam dari moster itu merobek-robek pakaianku hingga compang-camping. Beberapa bagian rusak dan robek, kukunya juga mencakar sampai menggores kulit.
Tubuhku sontak tersentak, napasku memburu. Makhluk itu mengeluarkan suara parau keras, seolah sedang meneriakiku dari dalam dirinya sendiri—suara itu menggetarkan dadaku, bergema hingga ke tulang belakang.
Aku menatap sekitar, mencari cara untuk meloloskan diri saat lidah makhluk itu semakin jauh mencumbu tubuhku. Memberikan bekas merah menjijikkan dengan liur kentalnya.
Aku melihat potongan balok kayu dari sudut ruangan, dengan tangan kiriku aku berusaha keras meraihnya. Moster itu sadat, lidahnya dengan cepat terangkat dari perutku dan melilit tangan kanan ku.
Namun sebelum terlambat, balok kayu itu berhasil ku ambil. Kaki kananku menendang moster dengan kuat, membuatnya sedikit terhuyung ke belakang. Aku segera bangkit dan mengangkat balok kayu itu tinggi-tinggi.
Dengan jeritan dalam hati yang menembus rasa takut, aku mengayunkan balok kayu ke arah makhluk tersebut. Memukulnya berulang kali dengan kuat.
Makhluk itu menjerit—untuk pertama kalinya dengan nada ketakutan. Moster itu merangkak mengajauh, kemudian berbalik menghadapku.
Aku terengah, tubuhku bergetar karna sakit dan takut. Namun aku sadar, jika aku takut sekarang, aku akan menghadapi kematian yang mengerikan.
"Grrr... milikku..."
Aku melangkah mundur, mataku terbelalak melihat tubuh moster itu semakin tumbuh dan besar. Seolah batang pohon yang tumbuh. Kepalanya hancur dan lidahnya tebuka lebar, mengeluarkan lebih banyak lidah panjang dan besar yang bergerak di udara.
Makhluk itu mengamuk, suara geraman terdengar memenuhi ruangan besar itu. Wujudnya semakin mengerikan.
Aku menyeret sebelah kakiku, setengah berlari aku keluar dari ruangan itu. Namun moster itu merayap, dengan cepat menyusulku.
Aku tahu... malam ini akan berakhir dengan satu dari dua kemungkinan: makhluk itu mati... atau diriku.
Aku terengah, tubuhku gemetar di antara rasa sakit dan ketakutan. Aku tahu, aku tidak akan bisa kabur lebih lama dari makhluk itu. Namun menghadapinya dengan tangan kosong adalah hal yang mustahil.
Pandanganku berkeliling cepat, dan di tengah kegelapan ruangan, aku melihat sesuatu di sudut—tulang berulang manusia yang berserakan.
Harapanku menyala kembali!
Aku melesat, setengah menyeret kaki, berlari menuju tulang itu. Namun belum sempata aku meraihnya...
SWAPP!
Satu lidah makhluk itu menyapu kakiku, membuatku jatuh dengan keras ke lantai. Tubuhku terhentak, napas terpotong, tapi aku tak menyerah.
Aku kenoleh ke belakang—lidah-lidah panjang makhluk itu mendekat cepat, dari kejauhan suara geraman makhluk itu terdengar pecah. Lidah-lidah itu seperti tali yang bergerak, mereka menyentuh dan melilit pergerakan kakiku.
"Milikku... milikku... MILIKKU!!" suara pecah itu samar terdengar.
Dengan teriakan penuh ketegangan, aku menendang kuat-kuat, berusaha melepaskan lilitan menjijikkan itu. Kakiku yang lumpuh hampir berhasil di tarik, namun dengan cepat aku menendangnya dan terlepas, meski yang ku mampu hanya mengulur waktu. Aku berhasil menunda sesaat sergapan makhluk itu.
Aku menyeret tubuhku, tangan kiriku berusaha meraih tulang besar di hadapanku. Aku menggapai ke depan—hanya beberapa sentimeter lagi! Tulang itu begitu dekat, seperti satu-satunya alat yang bisa menyelamatkanku dari akhir tragis.
Namun terlambat—lidah-lidah itu kembali melilit dengan kuat, ia menjalar dari pergelangan hingga ke pahaku, memeras dan menarik tubuhku ke udara, mendekat ke arah moster mengerikan itu.
Tubuhku terangkat tinggi, udara dingin menyelimuti kulitku. Lidah makhluk itu merayap naik, mendesak pakaianku, menarikku makin erat. Makhluk itu membuka mulut lebarnya yang hitam—bau busuk darah dan kematian menguar dari dalamnya. Lidah-lidahnya menggerayang seluruh tubuhku, memberi luka dan tekanan yang menyakitkan.
"Semua... milikku..."
Namun sebelum itu... tanganku berhasil meraih tulang. Genggamanku erat, penuh tekad, dan ambisi mengalahkan memuncak.
Saat tubuhku ditarik hingga hanya beberapa jengkal dari wajah menyeramkan makhluk itu—aku menancapkan tukang ke satu mata besar makhluk itu sekuat tenaga! Seolah titik lemahnya, makhluk itu mengerang dengan kuat dan menjerit dengan suara serak dan pecahnya.
CRAAK!
Tulang itu menembus daging hingga ke dalam, membuat cairan hitam menjijikkan mencimprak ke udara sedikit. Makhluk itu menjerit, suara yang tak pernah terdengar dari makhluk manapun—jeritan kematian yang mengguncang udara. Tubuhku terlempar, menghantam dinding sebelum akhirnya terjatuh ke lantai. Membuatku batuk darah.
Makhluk itu menggeliat hebat, lidah-lidahnya terhempas ke dinding, tubuhnya terbakar dari dalam oleh semacam energi hitam yang meledak dari luka itu.
"MI... LIK... KUUUUUU—!!!"
Dan dalam satu erangan panjang, tubuh makhluk itu runtuh... meleleh perlahan, menghitam seperti arang. Ia mati.
Ruangan yang semula panas dan lembap perlahan menjadi dingin dan hening. Aroma busuk menghilang, berganti dengan keheningan yang menusuk.
Aku masih di sana, bergetar dan menangi tanpa suara. Perasaanku perlahan lega, nafasku masih memburu dan cepat, sedang berusahaku tenangkan.
"S-sudah... sudah selesai," ucapku pelan, pada diriku sendiri.
Meski moster itu telah lenyap, namun semua pertanyaanku masih berjejak hingga sekarang. Apa yang moster itu inginkan? Mengapa moster itu datang? Kenapa moster itu terus mengucapkan kata milikku padaku? Dan... kenapa bisa ada moster di jaman sekarang?!!
Pertanyaan itu tidak terjawab, bahkan sampai sekarang.