Aku Sena, perempuan introvert dengan tinggi 155 cm dan wajah yang kata orang terlalu polos untuk usia 21 tahun kala itu. Aku lebih nyaman mengamati dunia dalam diam, dari balik buku atau secangkir kopi di kantin kampus. Kuliah di Jogja membawa cerita panjang, dan tahun 2014 adalah titik balik hidupku.
Semester awal, aku pernah pacaran dengan Abi—cowok toxic yang posesifnya kelewatan, dan ternyata... tukang selingkuh. Setelah aku putus, aku jadi skeptis sama cowok. Rasanya malas membuka hati. Sampai akhirnya, aku bertemu dia.
Dia, si adik angkatan yang disebut-sebut mirip Bobby iKON. Tinggi, putih, sering pakai topi, dan selalu muncul seperti slow motion di drama Korea setiap kami papasan. Namanya Fay. Maba. Bocil. Dua tahun lebih muda dariku.
Awalnya, aku cuma komentar dalam hati: "Ganteng juga, nih." Habis itu? Ya udah. Aku tetap duduk di pojokan kantin sambil menyeruput kopi hitam.
Tapi hari itu beda.
Aku dan teman-teman duduk di kantin, ramai-ramai. Tiba-tiba, Fay datang dan duduk di meja kami. Meja kami! Aku langsung kikuk, apalagi dia ngobrol akrab sama teman-temanku. Aku cuma diem, nunduk, ngerasain jantung deg-degan kayak lagi ujian skripsi.
Ternyata—katanya—lagi taruhan sama teman-temannya buat minta nomor semua cewek di meja. Klasik. Teman-temanku iseng kasih nomor. Aku pun ikut-ikutan, dengan pikiran, "Ah, dia nggak akan ngehubungi juga."
Dia lihat ke arahku dan nanya, “Nomor kamu yang mana?”
Aku tunjuk pelan. “Yang ini.”
“Namanya?” tanyanya lagi.
“Sena,” jawabku cepat.
Dia senyum. Lalu aku lihat dia nyobek kertas itu, nyimpen sepotong kecil—bagian nomorku. Sisanya dia kasih ke teman-temannya. Licik juga.
Malamnya, dia ngechat. Aku kaget. Tapi tetap sadar diri: dia maba, aku udah dewasa dikit lah. Jadi aku balas secukupnya. Tapi beberapa hari kemudian, kami ketemu di depan tukang es doger. Aku lagi sendiri. Eh dia datang, ikutan beli, terus nemenin. Dia banyak cerita, aku mendengarkan.
“Balas chatku, ya,” katanya sebelum pamit.
Dan yang bikin aku bengong, malam Minggu dia ngajak jalan.
“Asal kamu berani datang ke rumahku aja,” kataku sambil nyebutin alamat yang lumayan jauh. Tahun 2014 belum zamannya Google Maps merajalela, jadi aku kira dia bakal nyerah.
Tapi... dia datang. Hujan-hujanan.
Orangtuaku sampai heran, “Ini anak siapa, nekat banget?”
Karena basah kuyup, aku kasih hoodie besarku buat dia. Hoodie kebanggaan anak kuliahan—yang warnanya udah mulai pudar tapi nyaman. Hoodie dia aku cuciin. Dalam hati? “Wah, bakal ketemu lagi nih.”
Kami makan di Sayidan. Fay ternyata lucu. Ceria. Suka minum Milk yang kemasan pink unyu-unyu, sedangkan aku... pecinta kopi pahit garis keras. Tapi entah kenapa kami nyambung. Nyaman.
Satu hari, tanpa aku sadari, Fay nyelipin kalung kesayangannya ke dalam tasku. Kalung itu biasa dia pakai setiap kali main voli, dan katanya, “Kalau hilang, kayak separuh nyawaku ikut hilang.” Tapi dia memberikannya padaku. Diselipkan diam-diam, tanpa kata. Aku menemukannya saat mau ambil pulpen. Ada secarik kertas kecil bertuliskan, “Kalau kamu simpan ini, berarti kamu simpan aku juga.” Kalung itu masih kusimpan sampai hari ini.
21 Desember 2014, dia nembak aku. “Kita jadian, ya?”
Dan aku terima.
Kami jadi pasangan yang cukup terkenal di kampus. Famous, katanya. Banyak yang iri, banyak juga yang nyinyir. Fay nggak peduli. Aku juga nggak, selama dia tetap genggam tanganku.
Fay selalu bilang aku lucu karena mukaku baby face, dan sangat cantik, dia bilang aku bukan tipe dia karena tinggiku tapi entah kenapa dari awal sebelum aku tau dia, dialah duluan selalu mengamati aku padahal aku lebih tua dua tahun. Dia bahkan pernah diganggu orang yang cemburu, tanpa bilang ke aku. Aku tahu belakangan dan marah banget.
Ada juga mantan dia yang nyesel ninggalin Fay, terus mulai ganggu.Fay sempat dilema karna dulu rumor dia bucin parah (The power of mantan) Saat itulah aku ngomong empat mata.
“Kalau kamu masih ada rasa sama dia, jangan karena kasihan tetap sama aku. Aku ikhlas kamu pergi.”
Fay melotot. Terdiam. Lalu... dia peluk aku sambil nangis. “Maaf. Kamu terlalu tulus. Aku bego.”
Dan aku? Pecah juga tangisanku.
Kami baikan. Dan makin dekat. Pergi ke Gembira Loka (yang menurutku biasa aja, tapi Fay selalu semangat). Masak bareng. Kerjain tugas bareng. Debat kecil soal Milk vs Kopi.
Tapi kami juga sering ngobrol aneh, kayak:
“Kalau aku nggak ada, kamu gimana?”
“Yaa... manfaatin aja waktunya selagi aku ada.
Kayak firasat. Tapi kami ketawa aja.
Ada rumor tentang aku nggak berhenti sampai di situ. Kali ini, omongan tentang aku lebih parah lagi. Beberapa teman sekelas Fay mulai nyinyir, bahkan ada yang bilang kalau aku cuma main-main dengan Fay. Mungkin karena kami sering kelihatan bareng, tapi nggak ada yang tahu kalau kami saling mendalami satu sama lain.
Fay jelas tahu betul tentang rumor itu, tapi dia nggak ngomong apa-apa. Sampai akhirnya, saat di kantin, semuanya jadi jelas.
Fay duduk dengan teman-temannya, termasuk beberapa orang yang mulai nggak suka sama aku. Aku lagi duduk di meja sebelah, sambil ngelihat Fay yang tampak santai. Tiba-tiba ada satu cowok yang ngomong sambil nyindir aku, “Emang si Sena itu gitu ya, bisa dipesan, sih. Enggak usah heran kalau Fay deketin dia, pasti cuma buat kesenangan sesaat.”
Aku bisa denger itu jelas, tapi aku diem aja. Fay yang awalnya nggak nanggepin, tiba-tiba berdiri, dan secepat itu dia nyamperin cowok itu. Semua orang terdiam. Fay ngadepin dia dengan tatapan tajam.
“Apa? Kamu berani ngomong gitu tentang Sena?” katanya dengan suara keras, menahan emosi. Teman-teman sekitar mulai gelisah.
Cowok itu sempat terdiam, tapi ternyata dia nggak takut. Dia malah coba ngelawan, “Kenapa? Emangnya masalahnya apa kalau dia dekat sama banyak cowok?”
Sekali lagi, tanpa ragu, Fay langsung meninju cowok itu. Semua orang yang ada di kantin itu terkejut, termasuk aku. “Kamu gak berhak ngomong gitu tentang dia! Jangan pernah ganggu dia lagi!” Fay berteriak, mengancam cowok itu dengan suara yang penuh amarah.
Aku buru-buru berdiri dan lari menghampiri mereka, bingung harus ngapain. Begitu aku sampai di dekat mereka, Fay menarik napas panjang dan kembali menatap cowok itu dengan tajam. “Udah, pergi! Jangan pernah ganggu Sena lagi!” Fay bilang sambil melemparkan tatapan terakhirnya yang penuh kebencian.
Cowok itu, akhirnya cuma bisa diam dan mundur, sebelum pergi dari kantin dengan wajah memerah. Fay kembali ke meja dengan tatapan yang masih penuh amarah, dan matanya menatapku.
“Sena,” dia ngomong pelan, “Aku gak bakal biarin siapa pun nyakitin kamu. Kalau ada yang nyakitin kamu, mereka juga harus siap sama aku.”
Aku cuma bisa diam, kebingungan, dan terharu. “Fay... terima kasih,” ucapku dengan suara yang hampir pecah. Rasanya nggak pernah ada yang mau melindungiku seperti ini.
Fay cuma senyum, lalu menggenggam tanganku erat. “Kamu nggak usah khawatir. Aku nggak bakal pergi. Kita hadapi semua ini bareng.”
Sampai satu hari aku lihat lantai kamarnya ada darah. Fay batuk nggak sembuh-sembuh. Aku paksa dia periksa. Ternyata dia sakit. Opname. Aku rawat dia. Dia terharu.
Setelah pulih sedikit, dia pulang ke kontrakan. BBM aku malamnya, bilang batuknya udah reda. Aku seneng, siap mau jenguk.
Tapi malam itu, aku mimpi aneh. Fay pergi. Bangun tidur, jantungku nggak enak. Aku datang ke kontrakannya pagi-pagi. Dia ambruk. Aku panik. Kami bawa ke RS.
Diagnosa: pneumonia. Parah. Masuk ICU.
Dia sempat sadar, lihat pasien sebelahnya meninggal dan mendoakan. Masih sempat senyum ke aku.
Lalu, Isya malam itu... dia koma.
Sahur, dia tiada.
Dokter sampaikan kabar itu. Aku peluk tubuh dinginnya sambil terisak. Harusnya dia mudik. Tapi sekarang, pulang dalam peti.
Fay meninggal di usia 21 tahun. Aku, 23. Aku depresi. Jalanan Jogja terasa sepi, penuh kenangan. Gembira Loka? Tempat penuh tawa, sekarang jadi tempat penuh rindu.
Tapi aku bangkit. Aku selesaikan kuliahku. Aku terus hidup, walau langkahku tak pernah sama.
9 Tahun Kemudian
Kini, aku hampir 32 tahun. Masih sendiri. Tapi bahagia. Sesekali Fay datang dalam mimpi, duduk di taman bunga.
“Mau mudik, Sen,” katanya sambil tersenyum.
Aku ingin kejar, tapi dia bilang, “Kamu baik-baik ya.”
Cinta pertamaku. Belahan jiwaku. Yang pergi terlalu cepat, tapi tinggal terlalu dalam.
Dan meski dunia terus berubah, namanya akan tetap tinggal di hati. Fay, bocah yang nekat datang hujan-hujanan ke rumah, yang doyan KaliMilk, dan mencintaiku lebih dari sekadar kata.
Dia adalah cinta yang terlambat untuk aku jaga selamanya.
---
> "Karena orang baik nggak selalu datang dua kali. Dan cinta sejati... kadang hanya singgah untuk mengajarkan arti kehilangan."
TAMAT.