Namaku Leon.
Tak ada yang istimewa dariku. Aku bukan bangsawan, bukan keturunan pahlawan. Tak ada darah legenda mengalir di nadiku. Aku tak memiliki sihir, tak punya bakat luar biasa, tak menggenggam artefak agung. Hanya sehelai pakaian lusuh, sebilah pedang panjang di tangan kanan, dan perisai kecil di tangan kiri — bukan benteng perkasa, hanya lambang harapan… yang kadang bahkan aku sendiri ragukan.
Orang memandangku dan menyangka aku seorang pahlawan. Tapi aku tahu — jauh di dalam hati — aku bukan. Tubuhku kurus, tanpa otot menjulang. Di tengah barisan petualang, aku lebih mirip pria biasa yang tersesat dalam dongeng; bukan pejuang yang layak berdiri di barisan terdepan.
Aku hanyalah seorang penjaga.
Tugasku sederhana — melindungi kafilah, menjaga desa dari ancaman, menjadi perisai antara bahaya dan mereka yang tak bisa membela diri. Bukan karena bayaran, tapi karena seseorang harus berdiri. Jika bukan aku, siapa lagi?
Namun suatu hari, segalanya berubah.
Aku diundang bergabung dengan kelompok petualang paling tersohor di benua ini — The Glorious. Nama mereka bergema di setiap penjuru negeri — lambang kemenangan, harapan, dan kekuatan. Nama yang terasa terlalu agung untuk seseorang sepertiku.
Awalnya kupikir itu kekeliruan. Tapi tidak. Pemimpin mereka, seorang wanita bernama Katarina, datang mencariku sendiri. Ia berdiri tegap di hadapanku — matanya setajam malam tanpa bulan — dan dengan suara tenang namun penuh makna, ia berkata:
“Kami butuh kau.”
Dan aku, entah karena keberanian yang samar atau kebodohan yang mengakar… menjawab:
“Baiklah.”
Hari-hari setelahnya adalah neraka dan anugerah. Latihan, misi, pertempuran — satu demi satu. Aku tak pernah sehebat mereka. Aku tak bisa terbang, tak mengendalikan api ataupun petir. Tapi aku tetap berdiri di depan mereka, setiap saat. Tubuhku menjadi perisai. Karena itu satu-satunya cara yang kutahu untuk melindungi.
Dan di tengah semua itu… aku jatuh cinta.
Katarina.
Ia seperti bayang malam — dingin, tenang, namun tak beku. Rambutnya hitam mengalir seperti tinta di langit senja. Matanya tajam dan penuh rahasia. Tapi di balik ketajaman itu tersembunyi sesuatu… sesuatu yang membuatku ingin tetap di sisinya.
Aku tak pernah mengungkapkan perasaan itu. Karena aku tahu siapa diriku.
Namun sebelum aku sempat mengatakan apa pun… dunia runtuh.
Bangsa naga bangkit.
Makhluk purba yang lama tertidur kini terjaga — membakar kota, memusnahkan desa, menjadikan manusia buruan. Dan di puncaknya… Elena, Ratu Naga. Tubuhnya putih seperti tulang, matanya seperti perak cair — indah sekaligus mengerikan. Sekali helaan napasnya, seluruh pasukan bisa lenyap dari muka bumi.
Kami, The Glorious, memutuskan untuk melawan. Kami tahu risikonya. Tapi berpaling… bukan pilihan.
Kami kalah.
Pertempuran itu bukan perang — itu pembantaian.
Satu per satu sahabatku gugur. Jeritan mereka terus menggema dalam jiwaku — dan akan tinggal selamanya. Dan akhirnya… Katarina. Ia bertarung hingga darah terakhir. Tapi bahkan dia tak mampu melawan takdir.
Aku yang terakhir.
Tubuhku remuk, napasku tinggal serpih. Tapi Elena tak membunuhku. Tidak. Ia memenjarakanku — seolah aku hanyalah makhluk kecil yang pantas dipermalukan, bukan dilenyapkan.
"Menjijikkan — bertahan hidup di akhir dengan tubuh lemah dan harapan busuk. Kau makhluk menyedihkan."
Ia mendekat, menepuk dadaku. Simbol aneh terukir dengan paksa. Rasa sakitnya menjalar ke seluruh nadiku, membakar dari dalam.
"Ini tanda budak naga. Hadiah bagi mereka yang hina dan tak pantas hidup."
Ia menunduk, membisik, "Setelah menyaksikan semua temanmu mati… masihkah kau merasa layak hidup?"
Hari demi hari, tubuhku disiksa. Jiwaku dihancurkan perlahan-lahan. Waktu menjadi kabur. Yang tersisa hanyalah rasa sakit… dan kesunyian.
Sampai akhirnya aku mati.
Namun dalam gelap itu, aku tidak lenyap.
Aku melihat.
Bukan hanya hidupku, tapi seluruh sejarah umat manusia — perjuangan, pengkhianatan, keberanian, air mata — semua mengalir deras di hadapanku. Dan di ujung cahaya itu, berdiri seorang wanita yang tak kukenal. Tapi hatiku tahu…
Dialah Sang Pencipta.
Dewi.
Ia menatapku. Dan suaranya menggema, mengguncang seluruh keberadaanku:
“Bangkitlah, Leon. Dunia belum selesai denganmu.”
Cahaya itu menyerap ke dalam tubuhku. Simbol budak di dadaku — lambang kehinaan — retak dan hancur, serpihannya melayang ke langit. Dari awan gelap, pedang-pedang turun, berputar dan menyatu. Menjadi satu bilah — retak, namun hidup. Berdenyut dengan cahaya ungu yang membakar udara.
Aku menggenggamnya.
Dan aku melangkah keluar dari penjara.
Di hadapanku, Elena menoleh.
Dan untuk pertama kalinya… ia takut.
Aku tak mengucap sepatah pun.
Tak ada dendam untuk dijelaskan.
Tak ada amarah untuk diteriakkan.
Hanya satu tebasan.
Dan kekuasaan naga… berakhir.
Kini aku berdiri — bukan lagi sebagai manusia biasa.
Bukan dewa. Bukan legenda.
Aku adalah bayangan semua yang telah berkorban.
Napas terakhir mereka yang menolak menyerah.
Aku adalah saksi atas kejatuhan… dan kebangkitan harapan.
Aku menatap langit — dunia kembali cerah setelah gelapnya malam.
Pada pagi itu, di antara sisa embun dan cahaya pertama fajar, aku kembali berdiri di hadapan Sang Dewi Penciptaan.
"Mengapa aku? Mengapa aku yang dipilih menjadi manifestasi keadilan?"
Dia menatapku, lalu ia berkata,
"Karena ini adalah tanggung jawab yang telah kau pikul jauh sebelum dunia mengenal wujud.
Sebelum cahaya mengenal malam,
sebelum bumi butuh matahari untuk hidup,
bahkan sebelum waktu mula berdetik — takdirmu telah ditempa.
Mereka yang menjadi manifestasi keadilan…
mewarisi kekuatan yang kuno,
kecepatan yang tak tertandingi,
dan kebijaksanaan yang berasal dari suara-suara yang dilupakan sejarah.
Kau bukan dipilih oleh kebetulan, Leon.
Kau adalah gema dari janji yang lama dibuat… dan kini ditepati."