Senja merayap perlahan, menyelimuti rumahku dalam pelukan kegelapan. Ayah dan Ibu telah pergi, meninggalkan janji untuk pulang esok, sebuah janji yang terasa hampa tanpa penjelasan mengenai tujuan perjalanan mereka. Namun, kesendirian bukanlah hal baru bagiku. Aku sudah terbiasa, jadi aku hanya menyalakan televisi, mencari hiburan dari film-film lama yang sudah berkali-kali kutonton. Suara tawa dan musik dari layar datar itu seolah menjadi teman dalam keheningan malam yang masih muda, meskipun aku tahu, dalam setiap detiknya, kesepian menatapku dengan mata yang tajam.
Bum! Suara petir menggelegar, mengguncang rumah dan membutakan pandangan dalam sekejap. Listrik padam. Kegelapan pekat meliputi seluruh rumah, menggantikan cahaya layar televisi dengan kehampaan yang menakutkan. Jantungku berdegup kencang; kegelapan kali ini terasa jauh lebih menakutkan. Aku berharap Ayah dan Ibu segera pulang, berharap mereka bisa menjelaskan semua rasa takut yang mulai merayap perlahan di dalam diriku.
Tiba-tiba, ponselku berdering, memecah keheningan. Sebuah pesan dari Ibu: "Ayah dan Ibu pulang esok, makanan ada di dalam kulkas." Hanya itu. Pesan singkat penuh kepastian, namun entah mengapa, rasa gelisah tetap bergelayut di hatiku. Aku mengangguk perlahan, memahami, meskipun rasa kurang nyaman tetap mengendap. Namun, saat itu juga, perasaan tak enak mulai merayap masuk—seperti ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang mengintai.
Aku bangkit, mencari lilin di meja ruang tamu. Jari-jariku meraba-raba dalam gelap, hingga akhirnya menemukan lilin dan korek. Api kecil yang menyala menerangi sebagian ruangan, tapi hanya sedikit. Bayang-bayang aneh menari di dinding, membentuk bentuk yang tak jelas—seperti bayangan seseorang yang melintas dengan cepat, lalu menghilang dalam kegelapan. Rasa takutku semakin dalam, seolah sesuatu menonton dari balik kegelapan.
Sebuah kilat kembali menyambar, menyinari halaman depan rumah sejenak. Di sana, di balik rimbunnya tanaman, aku melihat sosok itu. Sebuah tubuh tinggi dan ramping, berdiri tegak, namun wajahnya tak jelas—seperti tertutup oleh bayangan tebal. Sosok itu hanya diam, menatap kosong ke arah rumahku, atau lebih tepatnya, ke arahku. Ketakutan menggigit hati, menahan napasku. Siapa itu? Haruskah aku mengintip lebih dekat? Atau diam dan berharap ia akan pergi?
Cling! Sebuah notifikasi pesan baru. Pesan dari nomor yang tidak dikenal: "Jangan buka pintu jika ada yang mengetuk..." Kata-kata itu singkat, namun seperti cambuk yang menyentuh langsung ke hatiku. Rasa takutku semakin mendalam, mencekik, seolah-olah kegelapan ini tak akan pernah pergi.
Jam di dinding berdentang, menunjukkan pukul dua belas tengah malam. Hujan turun dengan lebat, menggerus atap rumah dan menambah kesunyian. Angin berdesir, menggerakkan daun-daun di luar, menciptakan simfoni malam yang mencekam. Tiba-tiba aku mendengar suara-suara aneh, suara desiran yang berasal entah dari mana. Suara langkah kaki kecil yang menyeret di lantai. Aku merinding. Siapa itu?
Aku merasakan sesuatu yang dingin menyentuh tanganku. Ketika aku melihat ke cermin, aku melihatnya. Bekas tapak tangan, tercetak jelas di kaca. Bekasnya bukan hanya jejak tangan biasa. Bekas lumpur dan tanah menempel di sana, seolah seseorang baru saja menyentuh cermin itu dengan tangan yang kotor. Tak ada yang di luar. Tak ada yang masuk. Tapi kenapa cermin ini—?
Petir kembali menyambar, kali ini lebih dekat dan lebih terang. Sosok itu kini lebih jelas terlihat. Ia berdiri di depan jendela, menatapku. Ada sesuatu yang mengerikan dalam tatapannya, seperti mata yang bukan milik manusia. Mata merah menyala, mencekam, seperti api yang membakar. Aku terperangkap dalam tatapan itu. Aku hanya bisa terpaku, jantungku seperti terhenti.
Aku mengambil bantal dan menutup kepalaku, berharap semua ini hanyalah ilusi ketakutan. Aku bersembunyi di balik benteng kain itu, mencoba menenangkan diri. Namun, di balik ketakutanku, rasa ingin tahu mengalahkan segalanya. Aku menyingkap sedikit bantal dan mengintip ke luar.
Sosok itu sudah tidak ada. Dan... lampu menyala kembali. Cahaya terang memenuhi ruangan, menyingkirkan bayang-bayang yang sempat menghantuiku. Rasanya seperti mimpi buruk yang berakhir mendadak. Tapi di hati, aku tahu—ini belum berakhir.
Ponselku berdering lagi. Kali ini suara Ibu, terdengar lega: "Kami akan sampai sekitar pukul 12.30. Jangan buka pintu untuk siapa pun, ya."
Aku menghela napas lega. Ibu dan Ayah akan segera pulang. Namun, meskipun mereka akan segera tiba, rasa takutku masih menggantung, semakin pekat. Aku kembali duduk, mencoba menonton televisi, berusaha mengusir ketegangan yang semakin mencekam.
Tok... tok... tok...
Suara ketukan pintu memecah ketenangan. Jantungku berdebar keras. Aku berdiri dan berjalan mendekati pintu. Suara derit pintu kayu tua itu memecah keheningan, nyaring dan menggema di ruang yang sunyi.
Dan...
Tidak ada siapa-siapa. Hanya angin malam yang dingin, membawa aroma tanah basah dan bau amis yang tak bisa kupahami. Siapa yang mengetuk pintu malam-malam begini? Apakah ada yang sedang mempermainkanku? Atau…
Aku buru-buru menutup pintu dan menguncinya dengan hati-hati. Namun, rasa takutku tidak hilang begitu saja. Aku masih merasa ada yang salah.
Tok... tok... tok...
Ketukan itu terdengar lagi. Tapi kali ini... dari belakangku. Rambutku berdiri tegak. Aku menoleh perlahan, tubuhku gemetar, menahan napas. Perlahan, suara itu terdengar, begitu dekat, begitu berat, seperti berbisik langsung di telingaku: "Kan aku sudah memberi peringatan... jangan buka pintu jika ada yang mengetuk..."
Aku terjatuh. Aku melihatnya. Seorang anak laki-laki berdiri di belakangku, wajahnya pucat, dengan senyum panjang—terlalu panjang, sampai mulutnya robek di kedua sisi pipinya. Mulut yang terlalu lebar, senyuman yang tak manusiawi.
"Hahaha, sudahlah. Aku sudah lama tidak bermain... ayo main petak umpet!"
Dia tersenyum lebar, senyuman yang membuat bulu kudukku berdiri.
"Kalau kamu tidak menemukanku sampai fajar, kamu akan selamat... tapi kalau aku menemukanmu... kau harus ikut aku." Dia mendekat, matanya merah menyala, menatapku dengan penuh niat buruk. "Kau mengerti!?"
Aku hanya bisa mengangguk gemetar. "Aku... aku mengerti."
"Bagus. Tapi, siapa yang mencari siapa?"
Aku ragu, namun suaranya terdengar seperti datang dari setiap sudut ruangan. "Bagaimana kalau aku—"
"Tidak perlu... lebih baik kita main batu, gunting, kertas!"
Anak laki-laki itu mengulurkan tangannya—jarinya panjang, pucat, hampir seperti kulitnya hendak pecah. Matanya menyala-nyala dengan kegilaan.
Kami bersiap.
Aku mengangkat tangan. Dia juga.
"Batu... Gunting... Kertas..."
Kami menggerakkan tangan mengikuti irama aneh, seperti alunan kematian yang mengerikan.
Aku memilih gunting. Dia memilih batu.
Aku kalah.
Senyumannya semakin lebar, membelah wajahnya hampir ke telinga. Aku menelan ludah, tubuhku dingin dan gemetar.
"Bagus..." katanya berbisik, suaranya menggores telingaku. "Itu berarti... aku yang akan mencarimu."
Dia tertawa, suara tawanya serak, seperti pintu tua yang berderit perlahan, mengiringi langkah-langkahnya.
Seketika, semua lilin padam, seolah-olah disedot oleh kekuatan tak terlihat. Kegelapan total menyelimuti, dan hanya suara napasnya yang terdengar, berat dan semakin dekat.
"Mulai sekarang," katanya perlahan, "kau punya sepuluh detik untuk bersembunyi..."
Aku mundur ketakutan, mataku liar mencari tempat berlindung.
"Sepuluh..."
Suaranya bergema, membuat tubuhku kaku.
"Sembilan..."
Aku berlari, hampir tersandung.
"Delapan..."
Almari ruang tamu! Cukup besar untuk aku sembunyi!
"Tujuh..."
Aku membuka pintunya perlahan, menghindari suara deritan engsel.
"Enam..."
Aku masuk ke dalam, menutup pintu dengan hati-hati.
"Lima..."
Gelap. Hanya degup jantungku yang memecah kesunyian.
"Empat..."
Langkah-langkah kecil terdengar di luar, makin dekat.
"Tiga..."
Aku berdoa, berharap selamat.
"Dua..."
Langkah itu semakin mendekat.
"Satu..."
Hening.
Aku menutup mata rapat-rapat, berharap semua ini hanya mimpi buruk.
Lalu...
Tok. Tok. Tok.
Suara ketukan itu berbisik penuh keriangan, "Ketemu kau..."