Angin sore menerpa pelan rambut Aluna saat ia duduk di bangku taman belakang sekolah. Tangannya menggenggam sebuah novel, tapi matanya kosong memandang langit. Suaranya pelan, “Kayak gini terus, gue bisa gila sendiri, Rin.”
Darin duduk di sampingnya, menghela napas. “Lu terlalu mikirin dia, Lun.”
Aluna mendengus. “Gue udah biasa cerita ke dia. Sekarang dia malah milih pindah sekolah tanpa bilang langsung. Temen macam apa coba?”
Darin menoleh, menatap sahabat kecilnya itu. Mereka tumbuh di jalan yang sama, rumah bersebelahan, bermain layangan bareng, bahkan nangis bareng waktu sepeda mereka dirampas anak-anak komplek sebelah. Tapi sejak masuk SMA, perasaan Darin ke Aluna perlahan berubah. Bukan lagi cuma sahabat—dia mulai peduli lebih dari itu. Tapi Aluna tak pernah menyadarinya.
“Kalau gue yang pindah sekolah, lo bakal sedih juga, gak?” tanya Darin tiba-tiba.
Aluna menoleh. “Ya jelas. Lo satu-satunya orang yang ngerti semua tentang gue.”
“Kalau suatu saat... gue suka sama lo, gimana?”
Aluna membeku. Pandangannya terpaku pada wajah Darin. “Itu... bercanda kan?”
Darin menunduk, mengacak rambutnya sendiri. “Gak. Gue cuma gak tahu harus ngomong dari kapan. Gue cuma takut semua berubah.”
Suasana jadi hening. Angin masih berembus, membawa aroma bunga kamboja dari pinggir taman. Aluna membuka mulut, lalu menutupnya lagi. Lalu berkata pelan, “Gue gak tahu harus jawab apa sekarang... Tapi gue juga takut, Rin. Takut kehilangan lo kalau ini gak berhasil.”
Darin tersenyum kecil. “Gue gak minta sekarang. Gue cuma pengen lo tahu. Gue akan tetap di sini, nunggu lo siap.”
Aluna menatapnya, matanya mulai berkaca-kaca. “Lo bodoh, Rin.”
“Tapi lo sayang.”
Ia mengangguk pelan, dan untuk pertama kalinya, mereka tidak perlu kata-kata lebih banyak. Kadang, cinta memang hadir dari sesuatu yang paling dekat—persahabatan yang tumbuh bersama waktu, menyatu perlahan seperti senja yang tak pernah tergesa menyambut malam.
---