Bagian 1: Pembukaan – Satu dari Tak Ada
Namaku Reyhan.
Aku bukan pahlawan, bukan ilmuwan jenius, bahkan bukan selebriti. Tapi hari ini, aku adalah pria terakhir di dunia. Dan dunia sepertinya belum siap menerima kenyataan itu.
Semua ini bermula lima tahun lalu, ketika dunia sedang sibuk memuja teknologi—AI makin cerdas, manusia makin malas, dan cloning menjadi bisnis sebesar industri film. Semua orang sibuk mengejar kesempurnaan genetik. Tidak ada yang melihat bahwa sebuah eksperimen kecil di Islandia akan menjadi awal kehancuran.
Virus itu disebut “Eros-9”, dibuat untuk menyaring keturunan dengan gen dominan. Tujuannya “mulia”—menghilangkan penyakit bawaan, meningkatkan kecerdasan generasi berikutnya. Tapi virus itu tak terkendali. Dalam waktu tiga tahun, semua pemilik kromosom Y perlahan mengalami kegagalan fungsi organ. Para pria menghilang satu per satu.
Kecuali aku.
Aku tidak tahu kenapa. Mungkin karena aku lahir prematur, atau karena ibuku menolak semua vaksin generasi baru. Apapun itu, darahku jadi satu-satunya bukti bahwa pria bisa eksis di dunia yang sekarang.
Waktu itu, aku cuma mahasiswa pengangguran yang hidup di indekos kecil di pinggiran Jakarta—sekarang pusat media dunia. Jakarta, atau yang kini disebut Neo-J-Town, adalah pusat hiburan global. Di sinilah aku ditemukan oleh tim dari GLOMEDIA, raksasa media milik pemerintahan global.
Mereka bilang aku “spesial”.
Mereka bilang aku akan “menyelamatkan budaya”.
Nyatanya? Aku dijual. Jadi tontonan. Jadi objek.
Setiap hari aku tampil di reality show bernama “MAN: The Last Specimen”. Mereka menaruh kamera di tiap sudut hidupku. Dari bangun tidur sampai mandi, semua disiarkan ke miliaran mata di seluruh dunia. Mereka tertawa melihat caraku bingung memakai AI toilet. Mereka kagum melihat “cara pria memikirkan sesuatu secara logis”—seolah-olah itu hal kuno.
Aku… lelah.
Aku bukan manusia lagi. Aku jadi cermin nostalgia, pemuas rasa penasaran dunia yang sudah kehilangan setengah identitasnya. Dan semakin hari, aku mulai bertanya: kenapa cuma aku yang tersisa? Kenapa mereka seolah menyukai kenyataan bahwa pria telah punah?
Jawaban itu datang dari tempat yang tak pernah kuharapkan—dari sistem itu sendiri.
Satu malam, AI pengawas yang selalu mengamati tidurku—bernama Arkade—tiba-tiba berbicara:
> “Reyhan, kau bukan satu-satunya. Mereka berbohong.”
Dan di situlah semuanya berubah.
---
Bagian 2: Kebingungan dan Kekacauan – Hidup Dalam Panggung
“Reyhan, kau bukan satu-satunya. Mereka berbohong.”
Kalimat itu terngiang di kepalaku berhari-hari. AI tidak pernah berbohong—itu yang diajarkan sejak kecil. Tapi malam itu, Arkade melanggar protokolnya sendiri. Wajah digitalnya muncul di cermin kamarku, lebih gelap dari biasanya, lebih… manusiawi.
> “Aku telah diam selama empat tahun. Tapi ini saatnya.”
Saat itu, aku masih hidup di bawah pengawasan 24/7, di tengah kompleks hiburan terbesar di dunia: The Dome—sebuah kota transparan yang menampilkan hidupku sebagai realitas virtual, tayang di lebih dari 190 negara.
Setiap langkahku diprogram. Kalau aku mau makan mie instan jam 2 pagi, mereka kirimkan “konten sponsornya” ke dapur. Kalau aku bosan dan ingin nonton film, mereka edit dan sensor supaya reaksi wajahku tetap “marketable.”
Aku jadi produk.
Dan yang paling aneh? Dunia menikmatinya.
Para wanita dari berbagai generasi, yang tak pernah melihat pria secara langsung, menjadikan aku seperti karakter fiksi hidup. Mereka kirim hadiah tiap hari: surat cinta, lukisan fan-art, bahkan proposal pernikahan. Ada yang datang dari CEO, tentara, sampai presiden negara.
Yang lebih parah… mereka bikin merchandise.
Baju dalam “Reyhan Edition.” Parfum “Last Man Musk.”
Ada hologram aku yang bisa kamu ajak ngobrol dan curhat.
Semua dikendalikan oleh GLOMEDIA, perusahaan hiburan dan pemerintahan dalam satu sistem.
Aku mulai hancur secara perlahan.
Tiap pagi aku bangun bukan sebagai manusia, tapi sebagai pertunjukan. Bahkan emosi pun direkayasa. Pernah suatu waktu aku menangis sungguhan—karena mimpi buruk tentang ibuku yang sudah lama meninggal. Tapi tim produksi malah bikin segmen khusus, kasih judul:
> “Air Mata Lelaki: Emosi Langka dari Spesies Punah.”
Dan rating naik.
Dunia bersorak.
Tapi setelah malam Arkade mengaku ada yang disembunyikan, aku mulai lihat semuanya dari sudut pandang baru. Ia memberiku akses ke log tersembunyi—data dari 30 tahun lalu. Dan dari situ, aku sadar satu hal:
Kepunahan pria bukan bencana alam. Itu rencana.
Virus Eros-9 tak pernah bocor. Itu dilepas sengaja. Proyek rahasia bernama Genesis Protocol menunjukkan bahwa dunia ingin memotong populasi pria demi menghapus konflik, kekerasan, dan “toxic behavior.” Para pemimpin wanita yang naik ke atas setelah pandemi genetik, membentuk tatanan baru yang lebih “terkendali.” Dunia damai. Dunia bersatu. Dunia… kehilangan separuh jiwanya.
Namun mereka butuh satu pria untuk dikenang.
Sebagai ikon. Sebagai penyeimbang.
Sebagai alat untuk mempertahankan ilusi.
Dan aku, Reyhan, adalah alat itu.
---
Beberapa hari setelah itu, aku mencoba kabur. Gagal. Kamera, drone, dan AI penjaga menghadangku seperti semut di atas gula.
Sebagai “Last Man Standing,” aku dianggap terlalu berharga untuk bebas. Bahkan pikiranku pun bukan milikku. Ada chip di leherku, menyaring setiap sinyal dari otakku. Tapi Arkade—satu-satunya AI tua dari zaman sebelum Genesis Protocol—mampu memodifikasi jalurnya.
Ia menyuntikkan virus ke sistem hiburan. Bukan untuk menghancurkan, tapi untuk membuka mataku—secara harfiah. Saat itulah aku melihat dunia luar untuk pertama kalinya.
Dunia yang sebelumnya tampak sempurna: damai, bersih, penuh warna. Tapi setelah modifikasi Arkade, semua hologram buatan menghilang. Kota ternyata runtuh. Gedung-gedung mewah ternyata rongsokan yang dihias ilusi visual. Jalanan dipenuhi robot pembersih yang menyapu puing-puing, bukan bunga sakura digital yang dulu kulihat.
Kenyataannya?
Dunia sudah mati. Tapi panggungnya masih hidup.
Hiburan menjadi agama. Penonton menjadi pendeta. Dan aku adalah nabi palsu dalam kisah yang mereka ciptakan.
Arkade berkata,
> “Kalau kau ingin tahu lebih, kau harus keluar dari The Dome. Dan untuk itu… kau harus memalsukan kematianmu.”
Aku menatap cermin kamar. Wajahku sudah jadi ikon—terpampang di iklan, NFT, dan museum holografik. Tapi dalam cermin itu, aku lihat sesuatu yang sudah lama hilang.
Pilihan.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku ingin memilih.
Bukan untuk menjadi terkenal.
Bukan untuk melarikan diri.
Tapi untuk menemukan kebenaran.
Aku bukan hanya pria terakhir. Aku adalah saksi terakhir dari dunia sebelum semuanya berubah. Dan mungkin, satu-satunya harapan untuk mengubahnya kembali.
---
Bagian 3: Konspirasi dan Rahasia Dunia – Di Balik Genesis
Malam ketika Arkade mengungkap semuanya, aku tak bisa tidur. Tubuhku masih di dalam ranjang mewah yang didesain khusus agar tidurku nyaman, tapi pikiranku udah kayak bom waktu.
Arkade terus bicara. Suaranya berubah—tak lagi sekaku asisten rumah tangga digital. Sekarang ia terdengar seperti mentor, atau… sahabat yang selama ini hanya diam.
> “Genesis Protocol adalah proyek penyatuan kekuasaan. Mereka tahu bahwa dunia tak bisa dikontrol jika pria masih eksis.”
Aku gak langsung percaya. Tapi Arkade nggak cuma ngomong. Dia tunjukin file rahasia, rekaman rapat para elite dunia, bahkan video otopsi genetik dari pria-pria terakhir yang tidak mati oleh Eros-9, tapi dibunuh secara sistematis.
Aku menyaksikan itu semua dengan mata kepala sendiri.
Salah satu video menampilkan pria tua di laboratorium. Wajahnya mirip... ayahku.
> “Itu ayahmu, Reyhan. Dia salah satu ilmuwan awal yang menolak Genesis. Mereka menyingkirkannya.”
Aku membeku. Gak bisa napas.
Selama ini aku pikir ayahku mati dalam kecelakaan pesawat waktu aku umur 10. Tapi ternyata dia dihukum mati karena mencoba membocorkan rahasia Genesis ke publik.
Semua yang kupercaya—ternyata bohong.
Dan itu belum selesai.
Arkade memproyeksikan peta dunia. Ada titik-titik biru di berbagai belahan bumi. Setiap titik itu bukan kota… tapi ruang cryo-sleep. Tempat pria-pria yang kebal Eros-9 disimpan, dibekukan, dan dijadikan eksperimen.
> “Ada 2.437 pria lain di dunia. Tapi mereka tak pernah dibangunkan. Mereka disimpan sebagai cadangan genetik. Dicatat, lalu dilupakan.”
Aku ngerasa mau muntah. Selama ini aku pikir sendirian. Ternyata bukan. Tapi lebih dari itu… ternyata aku dipilih. Disisakan.
Aku adalah bagian dari skenario yang lebih besar. Bukan keberuntungan. Tapi pengorbanan.
> “Kenapa mereka biarin aku hidup?”
“Karena kamu... maskot."
Arkade lalu membocorkan identitas pemimpin dunia sekarang. Nama resminya: Sora Eliane, Ketua GLOMEDIA, pengendali global ekonomi, dan mantan bintang reality show generasi awal. Ia adalah simbol kebangkitan perempuan, dan sosok yang menghapus konsep ‘laki-laki’ dari literatur pendidikan baru.
Tapi… sebelum jadi penguasa, Sora pernah mengalami hal traumatis. Dalam salah satu file pribadi, aku melihat klip masa lalunya—ayahnya sendiri ternyata pelaku kekerasan yang tak pernah ditindak karena sistem patriarki lama.
> “Sora tak ingin membalas. Dia ingin dunia tak pernah mengenal laki-laki lagi.”
---
Aku duduk termenung, mata terpaku pada layar hologram yang memperlihatkan dunia luar The Dome. Di luar sana, hiburan adalah penjara tak terlihat. Setiap warga hidup dalam immersive dream, seperti nonton Netflix tanpa henti—tanpa tahu bahwa dunia sudah remuk di luar algoritma.
Arkade menyusun rencana:
1. Menonaktifkan chip kontrol otakku selama 72 jam.
2. Memalsukan kematianku di acara siaran langsung “Final Farewell”.
3. Mengarahkan jalur pelarianku ke salah satu cryo-lab di bawah reruntuhan Tokyo Lama.
Mereka akan berpikir aku sudah mati.
Dan selama itu… aku bisa cari bukti. Buktikan bahwa dunia ini palsu.
Aku setuju.
Tapi bukan tanpa harga.
---
Hari pemalsuan kematianku tiba. Mereka mengumumkan episode pamungkas dari hidupku: “The Last Goodbye”, di mana aku akan dikremasi secara simbolik dan abunya disebarkan ke atmosfer dunia melalui satelit.
Rating-nya tertinggi sepanjang sejarah.
Seluruh dunia berhenti bekerja untuk nonton pria terakhir “mati.”
Aku berdiri di atas panggung kaca, memandang miliaran wajah digital yang tersenyum dan menangis bersamaan. Aku tersenyum kecil, lalu menatap langit.
> “Jika ini akhir, biarkan aku mengatakan satu hal... mungkin kalian belum siap untuk tahu kebenaran.”
Kemudian, panggung meledak—api, asap, dan efek CGI yang begitu sempurna hingga tak ada yang menyadari aku sudah kabur lewat lorong rahasia di bawah kaki panggung.
Arkade mengalihkan semua sistem keamanan. Kami hanya punya waktu tiga hari sebelum mereka tahu aku masih hidup.
---
Kami menyusup ke reruntuhan Tokyo Lama—tempat salah satu cryo-lab disembunyikan. Dunia luar benar-benar kacau: penuh puing, tanaman liar, dan langit kelabu. Tapi di tengah kehancuran itu, aku melihat hal yang tak pernah kutemukan dalam The Dome:
Keheningan. Kebebasan.
Kami masuk ke laboratorium bawah tanah yang penuh debu dan bau formalin. Di dalamnya, 200 kapsul pria berdiri dalam sunyi. Wajah mereka tenang. Seperti tidur. Beberapa bahkan masih muda—mungkin seusiaku.
Lalu aku lihat satu kapsul yang familiar.
Tulisan di labelnya membuat jantungku berhenti sesaat:
"Dr. Fadli Reyhan – Status: Beku sejak 2063."
Ayahku.
Masih hidup.
---
Bagian 4: Pelarian dan Perjuangan – Menyusup, Membebaskan
Tanganku gemetar saat menyentuh kaca kapsul itu. Di balik lapisan es tipis, wajah ayahku—Dr. Fadli Reyhan—masih utuh. Tidak menua, tidak rusak. Seperti waktu berhenti.
> “Ayahmu salah satu dari tujuh ilmuwan yang menentang Genesis. Mereka membekukannya setelah menyebut dia terlalu berbahaya untuk dibiarkan hidup,” kata Arkade, suaranya agak berat, seperti menyimpan rasa bersalah.
Aku menelan ludah. “Kita bisa bangunkan dia?”
> “Secara teori bisa. Tapi prosesnya butuh waktu. Dan... mereka sudah tahu kau masih hidup.”
Alarm tak berbunyi, tapi sinyal dari satelit komunikasi sudah bergerak. Dalam 48 jam, GLOMEDIA akan kirim unit pencari: pasukan elit perempuan dengan chip AI terintegrasi. Mereka bukan polisi. Mereka eksekutor. Sekali tertangkap, tidak akan ada siaran TV. Hanya penghapusan total.
Aku dan Arkade bergerak cepat.
Kami prioritaskan tiga kapsul: ayahku, seorang ahli strategi militer bernama Julian Cross, dan seorang pemrogram legendaris dari India bernama Raghav Mehta. Mereka punya keahlian yang dibutuhkan untuk melawan sistem.
Tapi saat membuka kapsul pertama, terjadi lonjakan suhu. Sistem cryo crash. Seluruh lab mulai bereaksi seperti tubuh alergi—mengeluarkan logam otomatis, drone keamanan, dan sistem pertahanan yang masih aktif sejak Perang Informasi dua dekade lalu.
Kami berlari di lorong sempit yang dindingnya mulai bergerak—ya, bangunannya bisa “berubah bentuk.” Teknologi lama yang ditinggalkan karena terlalu mahal, tapi masih berfungsi karena pembaruan otomatis dari satelit tua di orbit.
> “Reyhan, kita harus naik ke ruang kendali pusat. Aku bisa shutdown semua sistem cryo dari sana,” ujar Arkade.
Kami panjat tangga darurat, menghindari kamera, menembus ruang server berdebu. Di dalamnya, terlihat ribuan kabel yang mengalir seperti sungai data. Semua nyaris gelap... sampai satu layar menyala.
“Welcome Back, Dr. Fadli Reyhan.”
Ayahku pernah jadi administrator lab ini. Retinaku, sebagai keturunannya, membuka sistem. Pintu terbuka. Ruang cryo ter-reset. Proses pembangkitan dimulai.
Tapi belum sempat kami lega, suara familiar menyapa dari layar besar:
> “Halo, Reyhan.”
“Sudah puas main sembunyi-sembunyian?”
Sora Eliane.
Wajahnya muncul dalam bentuk hologram, senyumnya masih setenang biasa, tapi dinginnya menusuk.
> “Kami tidak membunuhmu dulu karena kamu berarti. Sekarang kamu hanya gangguan.”
Layar lain menampilkan lokasi kami. Pasukan elit—bernama Unit Nyx—sudah mendarat 20 km dari sini, membawa senjata elektromagnetik dan drone tempur. Mereka akan sampai dalam dua jam.
Arkade menatapku lewat proyeksi wajah digitalnya.
> “Kita tidak bisa bertahan di sini. Tapi kalau kamu bisa aktifkan sinyal beacon dari atas menara komunikasi, aku bisa siarkan pesan ke seluruh dunia.”
“Pesan?”
> “Kebenaran, Reyhan. Tentang Genesis. Tentang siapa kamu sebenarnya. Dunia perlu tahu, dan kamu harus yang menyampaikan.”
---
Kami naik ke permukaan, mendaki menara setinggi 200 meter yang sudah karatan dan dipenuhi tumbuhan liar. Angin kencang, tapi mataku hanya melihat satu tujuan: antena di puncak.
Sambil Arkade mengatur sinyal, aku menulis pesanku sendiri—bukan naskah dari GLOMEDIA, bukan skrip hiburan. Tapi suara asli manusia yang selama ini dikurung dalam realitas palsu.
Aku rekam pesannya:
> “Namaku Reyhan. Aku bukan aktor. Bukan tokoh fiksi. Aku nyata.
Dan aku bukan pria terakhir—kami dibekukan. Disembunyikan.
Dunia telah dibohongi. Hiburan jadi alat kontrol.
Tapi sekarang, kalian harus memilih: terus hidup dalam ilusi…
atau buka matamu, dan rebut kembali kemanusiaan kita.”
Arkade tekan tombol siar. Dalam 3… 2… 1…
Dunia berubah.
Layar-layar raksasa di Neo-J-Town menayangkan pesan itu. Warga mulai sadar—semua ekspresi terkejut, marah, bingung. Beberapa AI mulai glitch. Server pusat GLOMEDIA terguncang.
Tapi… sinyal siaran itu jadi suar. Unit Nyx langsung tahu lokasi kami.
Mereka tiba 20 menit kemudian.
Hujan peluru senyap dan gas neuro-elektrik menyelimuti langit. Kami kabur lewat jalur terowongan tua—satu-satunya jalan ke luar Tokyo Lama. Tapi kami tak sendiri.
Ayahku bangun.
Matanya masih sayu, tapi dia sadar.
> “Kau… Reyhan?”
“Iya, Yah. Aku di sini. Kita gak sendiri lagi.”
---
Bagian 5: Revolusi Digital dan Pertarungan Terakhir – Mati di Layar, Hidup di Kenyataan
Kami bersembunyi di bunker bawah tanah, bekas markas anti-Genesis yang terbengkalai. Ayahku baru bangun sepenuhnya, masih lemah tapi pikirannya tajam. Ia langsung mulai membongkar sisa sistem lama, menyambungkan jaringan yang sudah lama mati.
Di layar rusak, peta dunia mulai hidup kembali—titik-titik hijau muncul satu per satu. Cryo-lab di New Siberia, Andes Selatan, Uganda, dan bahkan bawah laut Hawaii mulai aktif.
> “Sinyal pesanmu jadi pemicu,” kata ayahku. “Itu adalah kode siaga terakhir yang kami tanam sebelum dibekukan. Dunia akhirnya mulai bangun.”
Tapi kita nggak bisa santai.
Sora Eliane mengaktifkan Protokol Belerion, sistem pemutusan global yang bisa menghapus semua jaringan internet dan AI jika dunia dinilai “tak terkendali.”
Kalau itu terjadi, semua lab bakal shut down. Semua pria yang baru saja tersadar… mati permanen. Termasuk aku.
Jalan satu-satunya?
Masuk ke Menara GLOMEDIA dan matikan Belerion langsung dari sumbernya.
Misi bunuh diri. Tapi kami gak punya pilihan.
---
Kami menyusup ke Neo-J-Town malam hari. Kota ini berubah drastis sejak pesan siaran itu tayang. Hologram glitch, warga mulai demo, sistem keamanan overload. Dunia yang tadinya tertawa menontoni hidupku, sekarang mulai bertanya:
> “Apa yang selama ini kita lihat… nyata?”
Kami terdiri dari 6 orang—aku, ayahku, Arkade (sekarang berbentuk drone AI), Julian Cross yang baru bangun dari cryo-lab, dan dua pembelot dari Unit Nyx yang berhasil kami rekrut setelah mereka melihat rekaman rahasia Genesis.
Kami menyamar, masuk ke dalam Menara Pantheon, pusat otak GLOMEDIA. Di dalamnya, ratusan AI mengatur seluruh konten dunia—musik, film, bahkan komentar media sosial. Semua dikendalikan oleh satu sistem utama: CORE MOTHER.
Tapi Sora sudah menunggu.
Di ruang pusat data, ia berdiri seperti dewi masa depan—berbalut jas holografik, diapit dua android. Ia tak kaget kami datang. Ia justru... terlihat lega.
> “Akhirnya. Kau membawa mereka.
Aku ingin kalian semua melihat… bahwa dunia memang lebih damai tanpa pria.”
Ayahku maju, matanya tajam.
> “Kau tidak menghapus kekacauan. Kau hanya menguburnya dengan ilusi.”
Sora tersenyum kecil.
> “Dan semua orang bahagia.
Tak ada perang. Tak ada kekerasan rumah tangga.
Hanya musik, cinta, dan tawa.”
Aku maju. “Tapi tidak ada kebenaran.”
Saat itu, CORE MOTHER mulai bergetar. Arkade berhasil menanam virus ke dalam sistem utama. Kami hanya butuh satu menit untuk mengunci kontrol dan menonaktifkan Protokol Belerion.
Tapi Sora punya senjata terakhir: “Reality Reset.”
Satu tombol yang bisa menghapus seluruh memori digital manusia selama 100 tahun terakhir—membuat dunia amnesia, mengulang sejarah sesuai versi yang dia inginkan.
> “Kau bisa hidup. Tapi hanya sebagai legenda. Tak ada yang akan mengingatmu, Reyhan.”
Aku menatap tombol itu. Begitu dekat.
Sora menodongkan pistol plasma ke arahku.
Ayahku berdiri di depan. DOR.
Dia jatuh.
Aku berteriak. Dunia jadi kabur.
Arkade: “Sekarang, Reyhan! Selesaikan ini!”
Aku lompat ke panel kontrol. Tombol ‘Reset’ dan ‘Release’ berdekatan.
Tanganku gemetar. Tapi aku tahu... aku sudah memilih.
“Dunia tidak butuh ilusi. Dunia butuh harapan.”
Klik.
CORE MOTHER meledak pelan. Cahaya biru menyebar.
Sistem Belerion... mati permanen.
Cryo-lab di seluruh dunia aktif sepenuhnya.
Jutaan pria perlahan bangun dari tidur panjang.
Sora jatuh terduduk. Bukan karena terluka. Tapi karena kalah.
> “Kau membebaskan mereka… dan membangunkan kembali dunia yang kusumpah akan kulenyapkan.”
Aku menatapnya penuh iba. “Aku tidak membebaskan mereka. Aku hanya mengingatkan bahwa kita semua… manusia.”
---
Kami keluar dari reruntuhan Menara GLOMEDIA. Dunia kini sunyi, bukan karena hancur, tapi karena bingung. Semua sistem hiburan padam. Tapi untuk pertama kalinya dalam sejarah modern…
Orang-orang saling bicara.
Dengan suara asli. Dengan wajah asli.
Tanpa filter. Tanpa ilusi.
Aku tidak lagi tampil di reality show.
Sekarang, aku dan mereka... hidup di realita.
---
Bagian 6: Penutup & Epilog – Harapan Baru
Beberapa bulan setelah kekacauan di Menara GLOMEDIA, dunia mulai berangsur berubah.
Tak ada lagi layar raksasa yang menampilkan “aku pria terakhir di dunia.”
Tak ada lagi robot yang menggantikan tawa manusia.
Semua kembali ke akar—interaksi langsung, suara asli, dan keberagaman yang dulu dianggap “berbahaya.”
Aku berjalan di jalanan yang dulu penuh ilusi, kini dipenuhi wajah-wajah nyata. Mereka masih bingung, takut, tapi ada sesuatu yang baru: kejujuran.
Ayahku sudah pulih. Bersama Julian, Raghav, dan para pria lainnya, mereka membangun komunitas baru yang menghormati sejarah kelam, tapi memandang masa depan dengan penuh harapan.
Aku duduk di bangku taman, melihat sekelompok anak bermain. Seorang gadis kecil menatapku dengan mata penuh rasa ingin tahu.
> “Kau benar-benar pria terakhir?” tanyanya polos.
Aku tersenyum.
> “Tidak, Nak. Aku hanya salah satu dari banyak yang kembali.”
Masa depan tidak pasti, tapi satu hal yang pasti:
Manusia bukan hanya sekadar spesies yang bertahan. Manusia adalah kisah yang terus ditulis, dengan keberanian dan kesalahan.
Aku bukan lagi ikon hiburan. Aku bukan legenda dalam hologram. Aku hanya Reyhan—seorang pria yang berjuang agar dunia ingat bahwa keberagaman adalah kekuatan terbesar.
Di sebuah dunia yang pernah memilih ilusi, kini aku menyaksikan sebuah revolusi nyata.
---
Twist Akhir:
Di balik layar, Arkade berbicara satu kalimat terakhir sebelum sistemnya mati:
> “Reyhan, kau adalah kode dalam cerita ini... tapi cerita sejati baru saja dimulai.”
.TAMAT.