[Bagian 1:Gerobak yang Tak Pernah Ramai]
Pasar Malam Gunung Anyar selalu ramai selepas Maghrib. Suara pedagang memanggil-manggil pembeli saling bersahut-sahutan. Lampu warna-warni menggantung di atas lapak-lapak, menciptakan suasana yang semarak. Bau gorengan, jagung bakar, dan sate ayam bercampur di udara. Tapi di pojok yang paling gelap, nyaris tak terlihat, berdiri sebuah gerobak tua. Catnya kusam, rodanya sudah goyah, dan papan menunya nyaris patah:
“BAKSO SAPI ASLI – Mang Ijal.”
Mang Ijal duduk di bangku plastik rendah yang warnanya sudah pudar. Tangannya menggenggam rokok kretek yang sudah tinggal separuh, ujungnya basah oleh hujan gerimis yang turun sejak sore. Wajahnya tirus, kulitnya coklat kusam, sorot matanya kosong. Tak ada pelanggan. Sudah lebih dari satu jam ia duduk, hanya sesekali berdiri untuk mengaduk kuah yang menguap pelan di dalam panci besar di atas kompor gas portabelnya.
Setiap hari seperti ini.
Pernah suatu malam, seorang anak kecil mendekat karena aroma kuahnya yang menguar. Tapi ibunya segera menarik lengannya.
“Jangan makan di situ, Nak. Nanti sakit perut,” bisik sang ibu.
Mang Ijal mendengarnya. Ia pura-pura tidak. Tapi hatinya mencatat, dan kepalanya mulai menyimpan nama demi nama.
Gerobaknya tak pernah ramai. Tak ada yang duduk lebih dari dua menit. Tak ada tawa, tak ada obrolan.
Lalu, sekitar dua puluh meter dari gerobaknya, berdiri gerobak baru yang sejak dua bulan terakhir selalu ramai: “Bakso Pak Heru – Lezat! Gurih! Halal!” dengan tulisan LED warna biru terang. Heru, bekas pegawai kelurahan, baru pensiun dini dan mencoba peruntungan berjualan bakso. Dan sialnya, ia langsung jadi primadona pasar.
Lampu-lampu hias kecil melingkari gerobaknya. Ia bahkan pakai speaker kecil untuk memutar musik dangdut pelan-pelan. Kadang anak-anak muda nongkrong di bangku plastiknya, tertawa sambil menyeruput kuah. Kadang ibu-ibu pengajian mampir habis arisan. Kadang ada food vlogger lokal datang, merekam suapan demi suapan dengan suara dibuat norak: “Wahhh… ini bakso-nya mantap banget, gaes!”
Mang Ijal menonton itu semua dari balik asap rokoknya. Setiap tawa dari gerobak sebelah terasa seperti paku-paku kecil yang ditancapkan pelan-pelan ke dadanya. Ia menunduk, menahan panas di tenggorokan. Tak ada yang tahu, kuah yang direbusnya tiap hari itu adalah resep warisan almarhum ibunya, yang dulu membuat antrian mengular di desa tempat ia dibesarkan.
Tapi di sini?
Di kota ini?
Bakso warisan itu dianggap ‘basi’. Tak ada yang peduli resep turun-temurun kalau tampilan gerobaknya saja sudah mirip kandang ayam. Orang sekarang lebih percaya pada lampu LED dan musik TikTok.
Malam itu, langit mendung, dan hanya ada satu pembeli yang mampir ke gerobaknya. Seorang pria tua—langganan sejak tahun lalu—yang hanya memesan setengah porsi dan minum air putih dari botol sendiri.
“Masih sepi, Jal?” tanya pria itu sambil menyeruput kuah.
Mang Ijal mengangguk. “Biasa…”
“Lah itu, sebelah rame banget, ya. Wih… Pak Heru tuh pinter promosi.”
Mang Ijal diam.
Tersenyum sedikit.
Tapi dadanya mengencang.
Setelah pria tua itu pergi, ia duduk lebih dalam ke kursinya. Angin malam menusuk ke tulang. Tangannya meraba pisau pengiris daging yang terselip di bawah gerobak. Ia menatap ujungnya. Tajam. Dingin. Senyap.
Dan saat itu ia sadar satu hal: dunia tak adil bukan karena Tuhan lupa, tapi karena manusia lain tak pernah memberi ruang.
Bibirnya menyeringai samar.
Kaldu masih mengepul.
Dan malam masih panjang.
[Bagian 2: Daging yang Salah]
Tiga hari setelah hujan turun deras dan hanya satu mangkuk bakso yang terjual, Mang Ijal tak lagi menatap sepi dengan pasrah. Ia mulai menghitung. Bukan uang. Tapi dendam.
Setiap malam, ia menuliskan sesuatu di buku kecil lusuh yang biasa dipakai untuk catatan belanja:
– Ibu-ibu pengajian yang bilang baksonya bau tengik.
– Remaja tiktokers yang diam-diam merekam gerobaknya lalu tertawa dan menulis caption “Ini sih bakso zaman Majapahit.”
– Tukang parkir yang bilang, “Yang laku cuma yang punya tampang, Jal.”
Dan tentu saja,
– Heru.
Nama itu ia lingkari tiga kali. Ditekan keras hingga pulpen hampir menembus kertas.
---
Malam Kamis, langit kembali gelap. Heru pulang lebih cepat malam itu. Ia sedang batuk sejak pagi. Lapaknya tutup lebih awal, dan seperti biasa, ia menyapa Mang Ijal.
“Jaga kesehatan, Jal. Hujan gini gampang masuk angin.”
Lalu pergi.
Senyum itu… entah kenapa membuat Mang Ijal marah.
Senyum yang tidak ia minta.
Senyum yang membuatnya merasa lebih hina.
Hujan turun deras. Pasar mulai sepi. Beberapa tukang lapak sudah berkemas.
Mang Ijal tidak.
Ia masih duduk di bangkunya. Posisinya sedikit berubah: tubuhnya tegak, pandangannya tajam. Pisau iris daging sudah ia selipkan ke balik jaketnya. Ia mengemasi panci, menutup gerobaknya, dan mendorongnya pelan ke ujung pasar.
Tapi malam itu, Mang Ijal tidak langsung pulang ke kontrakannya. Ia belok ke gang sempit belakang pasar, tempat Heru tinggal sendiri di rumah petak kecil. Ia tahu karena dulu mereka sempat berbagi tempat tinggal—dulu, sebelum Heru memutuskan keluar dan “cari jalan sendiri.”
Jalan sendiri itu ternyata membunuh usahanya pelan-pelan.
Rumah Heru gelap. Tapi jendela dapur terbuka. Heru memang orang ceroboh. Mang Ijal tahu itu. Ia mengenal Heru lebih dari siapa pun di pasar.
Ia mendekat. Menyusup. Hujan menyamarkan semua suara. Pisau di tangannya bergetar sedikit. Ia berhenti di balik tirai dapur. Menatap bayangan Heru yang sedang duduk menonton televisi kecil di ruang depan, berselimut.
Ada jeda lama. Hati Mang Ijal masih berdetak tak karuan. Tapi bayangan semua hinaan, semua ejekan, semua tawa pembeli yang mengabaikannya—semuanya bersatu. Seperti suara bising dalam kepala yang tak bisa dimatikan.
Dan saat itu, semuanya gelap. Bukan karena listrik padam, tapi karena Mang Ijal sudah menyeberangi garis yang tidak bisa ia munduri.
---
Tak ada suara jeritan.
Tak ada pergulatan.
Mang Ijal tahu apa yang ia lakukan.
Dan ia melakukannya dengan pelan.
Seperti meracik adonan bakso—tepat, perlahan, penuh kendali.
Tubuh Heru; dengan mata yang terbuka dalam kebingungan terakhir, ditarik ke dapur. Didinginkan. Dipotong. Dipilah.
Ia tidak mengambil semua bagian. Hanya bagian-bagian tertentu. Yang lembut. Yang kenyal. Yang… cocok.
Sisa-sisa tubuhnya dibungkus dan dimasukkan ke karung beras bekas, lalu dilempar ke sungai belakang gang. Tak ada yang melihat. Hujan deras masih turun, menyapu jejak kaki dan bau amis yang menyelinap dari bawah pintu dapur.
---
Keesokan malamnya, gerobak Mang Ijal kembali berdiri di tempat biasanya. Tapi kuahnya berbeda.
Aromanya menggoda.
Kental. Hangat. Menyengat.
Orang-orang mulai mampir.
Satu. Dua. Lima.
“Wah, ini kuahnya enak, Pak!”
“Baksonya beda sekarang. Kenyal banget!”
“Ada rasa… apa ya? Dagingnya bukan kayak biasa…”
Mang Ijal tersenyum. Pelan. Tak menjawab.
Hanya berkata,
“Resep baru.”
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah enam tahun, baksonya habis sebelum pasar tutup.
Ia duduk di bangkunya, menyalakan rokok, menatap langit.
Tak ada bulan.
Tapi hatinya terang.
[Bagian 3: Bau yang Membuka Luka]
Dua minggu setelah malam hujan itu, lapak Mang Ijal berubah drastis.
Gerobaknya kini bersih. Ia mengecat ulang papan nama dengan tulisan besar: BAKSO LEJENDA—huruf “J” dicoret, lalu diganti pakai cat merah jadi “LEGENDARIS”.
Pembeli antre.
Anak-anak muda yang dulu mengolok-oloknya kini menunggu giliran dengan sabar sambil nge-vlog.
Ibu-ibu pengajian kembali datang, membawa rantang.
Bahkan tukang parkir yang dulu menyindirnya sekarang bantu jaga antrian.
Dan Mang Ijal?
Ia tetap diam. Pelit bicara. Tapi senyumnya berbeda; tipis, menghanyutkan.
Namun, di dalam kontrakan kecilnya, suasana justru sebaliknya.
Ia kini tidur dengan lampu menyala. Pisau-pisau yang dulu ia pakai untuk motong daging kini dibersihkan setiap malam, disusun seperti benda pusaka. Di bawah kasur, ada dua karung bekas beras yang belum sempat ia buang. Bau anyir masih membekas, meskipun sudah disiram sabun tiga kali.
Kadang saat subuh, ia terbangun karena mimpi.
Heru duduk di ujung ranjang, tubuhnya utuh tapi matanya hancur—berdarah, mengucur pelan seperti kuah.
“Masih enak, Jal?” katanya dalam mimpi. “Masih kenyang?”
---
Minggu berikutnya, sesuatu mulai berubah.
Daging Heru habis. Sudah tak tersisa. Bakso buatan daging sapi biasa tak lagi punya rasa yang sama. Pelanggan mulai bertanya.
“Ini beda, ya, Pak?”
“Dagingnya bukan yang dulu?”
“Yang kemarin lebih… empuk.”
Mang Ijal menunduk. Berkeringat dingin. Lidah para pelanggan sudah teracuni rasa.
Dan rasa itu hanya ada pada satu jenis daging.
Daging manusia.
---
Suatu malam, ia kembali menyusuri gang-gang kota. Bukan lagi karena marah. Tapi karena lapar. Lapar akan pengakuan. Lapar akan rasa yang membuatnya jadi “legendaris.”
Ia butuh daging.
Ia butuh satu tubuh lagi.
Ia mulai mengamati. Seperti pemburu.
Anak kos yang pulang tengah malam.
Pemulung tua yang selalu tidur di emper toko.
Pengamen jalanan yang tak pernah ditanya namanya.
Tapi berbeda dengan Heru.
Yang ini… bukan dendam.
Yang ini murni kebutuhan.
Dan itu membuatnya takut pada dirinya sendiri.
---
Tiga malam kemudian, warga geger.
Seorang pemulung hilang.
Yang tertinggal hanya rombengannya dan topi usang.
Berita itu masuk koran lokal.
Salah satu pelanggan setia bakso Mang Ijal, seorang wartawan, datang dengan wajah cemas.
“Pak, deket sini ada yang hilang, loh. Aneh banget. Dulu-dulu nggak pernah kejadian…”
Mang Ijal hanya menyendok kuah.
Senyumnya kaku.
Tapi tangannya gemetar.
---
Hari keempat setelah itu, seorang anak kecil muntah setelah makan baksonya.
Ibunya berteriak.
“Ada bau amis! Ini daging apa sih, Pak!?”
Beberapa pelanggan ikut cium aroma.
Dan saat itu juga, seperti digerakkan sesuatu dari alam gaib—semua berhenti makan.
Sunyi.
Hening.
Mang Ijal berdiri terpaku di belakang gerobaknya.
Lalu dari balik kerumunan, suara itu terdengar.
Suara lembut tapi dingin.
“Kayak bau… bangkai manusia.”
Semua menoleh.
Seorang lelaki berdiri. Badannya kurus. Rambutnya acak-acakan. Tapi sorot matanya tajam. Di lehernya tergantung tanda pengenal wartawan—dan di tangannya…
…sebuah kamera kecil.
Klik.
Satu potret.
“Bisa wawancara sebentar, Pak? Tentang bahan bakso Anda…”
Mang Ijal tidak menjawab.
Tapi malam itu, ia tidak pulang. Gerobaknya ditinggalkan.
Dan esok paginya, hanya ada tulisan di kaca gerobak yang ditulis dengan kuah merah:
“KALIAN SUKA, KAN? LIDAH KALIAN YANG MINTA.”
[Bagian 4: Lidah yang Terlalu Jujur]
Minggu keempat setelah gerobaknya ditinggalkan, nama Mang Ijal tersebar ke mana-mana.
Berita viral di media lokal dan akun-akun Instagram gosip membuatnya jadi legenda baru—bukan karena kelezatan baksonya, tapi karena kemungkinan besar dia telah memberi makan manusia kepada manusia lain.
Warga ketakutan.
Polisi mulai menyelidiki.
Namun, Mang Ijal menghilang.
---
Di sebuah kampung kecil di kaki gunung, seorang lelaki dengan nama palsu tinggal di rumah kayu peninggalan orang tuanya yang sudah tiada. Ia menanam cabai dan tomat di belakang rumah. Membuat sumur sendiri. Tak punya tetangga dekat.
Setiap malam ia menyendiri. Tapi tidak bisa tidur.
Bayangan Heru datang. Kadang duduk di dapur. Kadang berdiri di pintu dengan tubuh menggembung seperti bangkai mengambang.
Kadang lebih buruk lagi—suara pelanggan terdengar dari luar jendela. “Tambahin pentol uratnya, Pak…”
“Dagingnya yang empuk, ya Pak…”
Ia mulai gila.
Menangis sendiri.
Berbicara dengan pisau.
Dan yang paling menyakitkan:
Ia rindu ketenaran itu.
Ia rindu daging itu.
Bukan daging sapi. Tapi daging… manusia.
---
Di kota, wartawan yang terakhir mewawancarainya, Fajar, masih terobsesi. Ia menyelidiki, menyambangi lokasi lama kontrakan Mang Ijal, mencari saksi, mencari jejak.
Lalu ia mendapatkannya.
Dari seseorang yang tak sengaja bertemu Mang Ijal di pasar tradisional kota kecil. Ia beli sabun, lalu menghilang ke arah hutan.
Fajar tak pikir panjang. Ia pergi sendiri. Membawa kamera.
Dan akhirnya, ia menemukan rumah kayu itu.
---
Mang Ijal tahu ia akan ditemukan. Tapi ia tidak lari. Ia hanya duduk di kursi bambu dengan pisau di pangkuannya.
“Apa yang kamu cari, Le?” katanya lirih, saat Fajar mendekat.
“Jawaban.”
“Jawaban apa? Bukankah kamu sudah tahu?”
Fajar tak menjawab.
“Mereka bilang aku gila. Tapi siapa yang datang ke lapakku tiap malam? Siapa yang memuji dan membanding-bandingkan daging itu dengan sapi? Dengan kambing? Dengan ayam?”
“Orang tak tahu, Pak. Mereka—”
“Mereka tahu!” bentaknya. “Lidah mereka tahu! Tapi mereka diam. Karena mereka ketagihan. Sama seperti aku.”
Sunyi.
Hutan diam.
Angin tak bergerak.
Pisau Mang Ijal perlahan diangkat.
“Kalau kau benar-benar ingin tahu rasa daging manusia…”
Fajar mundur setengah langkah.
“…maka cobalah rasaku.”
Tiba-tiba Mang Ijal menggoreskan pisau ke pahanya sendiri.
Satu iris.
Darah muncrat.
Fajar berteriak, tapi Mang Ijal tetap tenang. Ia ambil panci, masukkan potongan dagingnya, lalu air, garam, lada.
“Cicipi. Dan kamu akan tahu… kenapa aku tak bisa berhenti.”
Fajar terguncang.
Tapi ia diam.
Mang Ijal mengaduk pelan, lalu menyodorkan semangkuk kaldu merah itu padanya.
“Ayo. Buktikan bahwa kau lebih kuat dari mereka.”
Fajar menatap mangkuk itu. Tangannya gemetar. Hidungnya mencium aroma hangat.
Ada sesuatu yang… lezat. Aneh. Menghipnosis.
Lalu…
Ia banting mangkuk itu ke tanah.
Cipratannya mengenai kaki Mang Ijal yang terluka.
“Aku ke sini bukan untuk makan. Aku ke sini untuk mengakhiri.”
---
Beberapa jam kemudian, tim polisi tiba.
Fajar sudah mengikat Mang Ijal dengan kain sobek.
Di dapur, ada potongan kecil daging di panci.
Di rak kayu, tergantung pisau-pisau penuh bekas darah.
Mang Ijal tidak melawan.
Ia hanya tertawa kecil saat digiring.
“Jangan lupa bumbunya, ya…” katanya kepada polisi.
“…biar makin laku di berita.”
---
Ia divonis seumur hidup. Tapi penjara bukan siksaan terbesarnya.
Yang paling menyiksa adalah bau.
Bau daging manusia yang tak lagi bisa ia dapatkan.
Ia mencium aroma itu dalam mimpi, dalam nafasnya sendiri, dalam makanan penjara yang hambar.
Ia menjadi kurus, lalu botak, lalu tidak bicara sama sekali.
Sampai suatu malam, ia ditemukan mati.
Lidahnya tergigit putus.
Di dinding selnya, tertulis dengan darah:
"LIDAH MEREKA YANG MEMINTA. BUKAN AKU."
[TAMAT]
[𝐖𝐚𝐫𝐫𝐞𝐧⃝⃝⨷❌] 23-04-2025/0:009