Mentari pagi menyapa jendela kamar Kay dengan sinarnya yang enggan. Namun, Kay masih meringkuk di balik selimut, enggan menyambut hari yang menurutnya selalu sama—membosankan dan penuh tekanan. Pekerjaannya sebagai seorang ilustrator lepas terasa semakin berat, ide-ide seolah menguap, dan tagihan terus menumpuk.
“Kay, bangun sayang. Sarapan sudah siap,” suara lembut Venus menembus pintu kamar.
Kay menghela napas. Venus. Kekasihnya. Satu-satunya alasan ia masih bisa sedikit tersenyum di tengah lautan frustrasi. Venus adalah matahari dalam hidupnya yang mendung. Dengan senyumnya yang selalu cerah, mata cokelatnya yang hangat, dan kata-kata penyemangat yang tak pernah habis, Venus selalu berhasil menarik Kay kembali ke permukaan setiap kali ia merasa tenggelam.
Dengan berat hati, Kay bangkit dan berjalan menuju meja makan. Aroma kopi dan roti bakar menyambutnya. Venus sudah duduk di sana, menunggunya dengan senyum lebar.
“Selamat pagi, tukang gambarku yang hebat,” sapa Venus ceria.
Kay memaksakan senyum. “Pagi.”
“Ada apa? Kamu terlihat tidak bersemangat lagi,” tanya Venus, meraih tangan Kay.
Kay menghela napas lagi. “Kerjaan lagi menumpuk, ide buntu, dan aku merasa seperti tidak ada kemajuan sama sekali.”
Venus menggenggam tangannya erat. “Hei, lihat aku.” Kay mendongak, menatap mata Venus yang penuh kasih. “Kamu itu berbakat, Kay. Ingat semua karya indah yang sudah kamu buat? Ini hanya fase. Semua seniman hebat juga pernah merasakannya. Jangan menyerah, ya?”
Kata-kata Venus selalu seperti mantra bagi Kay. Ada kekuatan dan keyakinan dalam setiap ucapannya yang mampu mengusir kegelapan dalam hatinya.
“Aku tahu,” jawab Kay pelan. “Tapi kadang aku merasa lelah.”
“Aku tahu, sayang. Tapi kamu tidak sendiri. Ada aku di sini. Aku tidak akan meninggalkanmu, Kay. Ingat itu selalu.” Venus mengusap pipi Kay lembut.
Hari-hari berlalu. Kay terus berjuang dengan pekerjaannya, dan Venus tak pernah lelah memberikan dukungan. Ia selalu ada di sana untuk mendengarkan keluh kesah Kay, memberikan ide-ide segar, atau sekadar menemani Kay bekerja hingga larut malam. Mereka sering menghabiskan waktu bersama, menikmati hal-hal sederhana seperti berjalan-jalan di taman, menonton film di rumah, atau sekadar berbagi cerita tentang hari mereka. Setiap momen bersama Venus adalah oase bagi Kay, memberinya kekuatan untuk menghadapi kerasnya kenyataan.
Suatu sore, Venus berencana pergi mengunjungi ibunya di kota sebelah. Kay menawarkan diri untuk mengantar, tetapi Venus menolak dengan halus. “Tidak apa-apa, sayang. Aku bisa naik bus. Kamu fokus saja dengan pekerjaanmu. Aku tidak ingin mengganggumu.”
Kay merasa sedikit tidak enak, tetapi ia tahu Venus adalah orang yang mandiri. Ia mengecup kening Venus sebelum kekasihnya itu berangkat. “Hati-hati ya,” pesannya.
“Tentu. Aku akan menghubungimu nanti malam,” balas Venus dengan senyum manisnya.
Sore itu, Kay mencoba fokus pada pekerjaannya, tetapi pikirannya terus melayang pada Venus. Ia merasa ada sesuatu yang aneh, perasaan gelisah yang tak bisa ia jelaskan. Ia mencoba menepisnya, berpikir mungkin hanya karena ia terbiasa selalu bersama Venus.
Malam tiba, tetapi Kay tidak menerima kabar dari Venus. Ia mencoba menelepon, tetapi tidak ada jawaban. Perasaan gelisahnya semakin menjadi-jadi. Ia mencoba berpikir positif, mungkin Venus kelelahan dan langsung tidur.
Namun, jauh di lubuk hatinya, Kay merasa ada sesuatu yang tidak beres. Ia terus mencoba menghubungi Venus, tetapi tetap tidak ada jawaban. Hingga akhirnya, telepon rumahnya berdering.
Jantung Kay berdebar kencang saat mengangkat telepon. Suara seorang pria di ujung sana terdengar asing dan penuh duka.
“Selamat malam, apa benar ini tuan Kay?”
“Iya, benar. Ada apa ya?” tanya Kay dengan suara bergetar.
“Kami dari pihak kepolisian ingin memberitahukan bahwa telah terjadi kecelakaan lalu lintas yang melibatkan sebuah bus di jalan raya menuju kota X. Salah satu penumpangnya atas nama Venus…”
Dunia Kay terasa runtuh seketika. Kata-kata selanjutnya dari pihak kepolisian seolah tidak sampai ke otaknya. Ia hanya mendengar satu kalimat yang terus terngiang di telinganya: Venus meninggal dunia di tempat kejadian.
Kay merasa seperti ada lubang besar yang menganga di dalam dirinya. Semua warna dalam hidupnya seolah memudar menjadi abu-abu. Orang yang selalu menjadi penyemangatnya, orang yang selalu mengatakan “I don’t leave you,” kini benar-benar pergi.
Hari-hari setelah kepergian Venus terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Rumah mereka terasa sunyi dan kosong tanpa kehadiran Venus. Kay tidak lagi bersemangat untuk bekerja. Palet warnanya terasa kering, dan kanvasnya terasa hampa. Ia sering termenung, menatap foto-foto Venus, mengingat setiap senyum, setiap kata-kata penyemangat yang pernah diucapkan kekasihnya itu.
Di tengah kesedihannya yang mendalam, Kay menemukan sebuah catatan kecil di meja kerja Venus. Tulisan tangan Venus yang rapi dan indah tertulis di sana:
“Untuk Kay-ku yang hebat,
Jika suatu hari kamu merasa dunia terlalu berat untuk dipikul, ingatlah semua hal indah dalam dirimu. Ingatlah semua mimpi yang ingin kita raih bersama. Ingatlah bahwa kamu tidak pernah sendirian. Meskipun aku tidak selalu ada di sampingmu secara fisik, cintaku akan selalu bersamamu, membimbingmu, dan memberimu kekuatan.
Jangan pernah menyerah, Kay. Teruslah berkarya, teruslah bermimpi. Aku akan selalu bangga padamu, di mana pun aku berada.
Aku mencintaimu lebih dari kata-kata.
Selamanya milikmu,
Venus.”
Air mata Kay kembali menetes membaca surat itu. Kata-kata Venus seolah kembali memberinya kekuatan, bahkan dari alam yang berbeda. Ia menyadari bahwa meskipun Venus telah pergi, semangat dan cintanya akan selalu bersamanya.
Kay bangkit dari keterpurukan. Ia mulai kembali menyentuh kuasnya, menuangkan semua rasa kehilangan dan kerinduannya ke dalam lukisan-lukisannya. Setiap goresan warna adalah ungkapan cintanya untuk Venus, setiap detail adalah kenangan indah yang pernah mereka bagi.
Karya-karya Kay kali ini terasa berbeda. Ada emosi yang kuat dan mendalam di setiap sapuan kuasnya. Orang-orang yang melihat lukisannya bisa merasakan kesedihan, tetapi juga harapan dan kekuatan yang terpancar darinya.
Kay terus berkarya, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk mengenang Venus. Ia tahu bahwa Venus akan selalu ada bersamanya, dalam setiap warna yang ia ciptakan, dalam setiap cerita yang ia lukiskan. Meskipun Venus telah pergi, janjinya untuk tidak meninggalkan Kay tetap abadi dalam hatinya. Karena cinta sejati tidak pernah benar-benar pergi, ia hanya bertransformasi menjadi energi yang tak terlihat, namun selalu terasa. Dan Kay tahu, Venus akan selalu menjadi mataharinya, menuntunnya melalui gelapnya dunia, hingga tiba saatnya mereka bertemu kembali