Ketika lantai kayu di bawah tubuhnya terasa bergetar perlahan, detak halus roda-roda besi yang menggulung terdengar dalam keheningan. Angin pun menyelinap lembut menyentuh wajahnya. Membuatnya mengerjap, menyesuaikan diri dengan kerlip cahaya matahari yang menari di ujung renda gaunnya—putih pudar. Rupanya ia terduduk dalam sebuah gerbong kereta berjalan.
Semilir angin dari jendela terbuka menerbangkan Gaun putih berenda yang membungkus tubuhnya, terasa ringan. Insting pertamanya adalah mendekap erat kain itu. Lalu menoleh sedikit, di sudut gerbong, terdapat tumpukan jerami yang menguar aroma tanah basah dan pagi yang masih perawan.
Pandangannya kemudian tertarik pada pemandangan di luar jendela. Bentangan sawah hijau membentang luas bagai permadani, diselingi gundukan bukit yang menjulang anggun di kejauhan. Ia terpukau, namun lebih dari itu, langit biru keunguan yang memayungi cakrawala mencuri perhatiannya. Gradasi warna ungu yang berangsur menjadi biru cerah di batas horizon menciptakan lukisan alam yang memukau, seolah baru pertama kali ia melihat keindahan seperti itu.
Sejujurnya, ia tidak tahu di mana dirinya berada. Tidak tahu dari mana ia datang dan tidak tahu dirinya akan kemana. Tapi satu yang pasti, dadanya tak berdebar ketakutan.
Matanya pun lalu menangkap sosok itu.
Di seberangnya, seorang pria duduk dengan tenang, tatapannya terarah ke luar jendela. Penampilannya begitu kontras dengan suasana gerbong yang sederhana. Kemeja putih bersih tampak pas di tubuhnya yang tegap, dilapisi coat berwarna abu-abu dengan potongan klasik yang elegan menjuntai selutut. Celana panjang berwarna gelap dan sepatu kulit mengkilap. Serta topi bergaya fedora atau mungkin homburg berwarna senada dengan coat-nya, bertengger anggun di kepalanya. Busananya seperti potongan masa lalu yang melompat keluar dari buku sejarah.
Garis rahangnya juga tegas, dan meskipun sebagian wajahnya tertutup bayangan topi, perempuan itu bisa merasakan aura ketenangan terpancar darinya. nyaris damai. Jemarinya yang panjang pun terlihat menggenggam sebuah kamera, namun matanya tetap terpaku pada pemandangan diluar gerbong kereta, seolah dunia di luar menjadi sahabat lama yang sedang bercerita padanya.
Perempuan itu tapi tak bertanya. Tak tahu harus memulai dari mana. Ia hanya kembali memandang keluar jendela, membiarkan keheningan menjawab segala pertanyaannya. Di mana ia? Siapa pria asing ini? Dan mengapa ia terbangun di gerbong kereta yang penuh jerami ini? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar, seiring dengan roda kereta yang terus berderit di atas rel.
Sampai kemudian—
Sebuah tepukan pelan terdengar.
Pria itu menepuk sisi kosong di sebelahnya. Manik mereka spontan bertemu, kemudian senyum hangat dia suguhkan, menampilkan lesung Pipit yang manis sambil berkata "Kemari lah." Pada perempuan yang memandang bingung kearahnya.
Dunia yang semula asing pun menjadi lebih hangat dalam dada perempuan bergaun putih itu. Tidak ada keraguan untuknya melangkah mendekat. Ia tiba di samping sang pria, mencium aroma mint yang segar berpadu dengan wangi bunga lotus menyeruak keluar dari tubuh tegapnya. Tanpa kata. Tanpa jeda. Hanya ketenangan dan rasa hangat yang menyebar disekitar bahu mereka. Pria itu lalu menggenggam lembut tangannya, jari-jari mereka bertaut membentuk simpul nan indah.
“Kita hampir sampai," pria itu menatapnya, "Athelie, sayangku.”
Athelie...
Nama yang belum pernah ia kenal, kini terasa seperti miliknya.
Athelie...
Itulah namanya. Dan dengan satu ucapan lembut, semua yang buram perlahan punya bentuk. Athelie yang merasa asing, yang tak tahu dirinya siapa, yang tak tahu kereta ini akan membawa mereka kemana, di sisi pria ini, kegelisahannya menjadi sirna. Rasa takut yang sempat melayang seperti kabut telah larut, ditelan kehangatan yang hadir di genggaman dan tatapan pria itu.
“Athelie...?” pria itu berbisik pelan, memastikan bahwa Athelie baik baik saja.
Athelie menoleh mengamati. Garis wajah pria itu tampak teduh dan khawatir, dengan sepasang manik Sapphire tenang, bibir merah kecoklatan dan hidung mancungnya, membuatnya sedikit penasaran.
“Apa biasanya... aku memanggilmu apa?” suara Athelie keluar perlahan, nyaris malu. Ia ingin menyebut pria itu dengan nama yang benar. Ingin memanggil pria itu seperti seharusnya.
Pria itu tak menjawab segera. Hanya menatapnya dengan tatapan yang dalam, "Aerion,” ujarnya akhirnya, suaranya seperti bariton yang jatuh lembut ke hati Aethelie.
Aerion. Nama itu menyentuh sesuatu dalam diri Aethelie—seperti sebuah gema yang pernah bergema, jauh sebelum ia sadar siapa dirinya. Ia pun mengulangnya pelan, seakan ingin menyematkan nama itu ke dalam jiwanya.
“Aerion, kekasihku..."
Dan kali ini, giliran Aerion yang tersipu. Dia tersenyum.
Athelie tersenyum. Seolah mereka sudah pernah saling memiliki. Dan kereta terus melaju, membelah hari yang belum selesai tumbuh.
“Kita hampir sampai, sayang,” ujar Aerion.
Athelie mengangguk.
Tak lama,
Kereta berderit pelan sebelum benar-benar berhenti, bunyinya menggetarkan lantai kayu dan membuat tumpukan jerami bergoyang hingga Athelie nyaris kehilangan keseimbangan, namun, tubuhnya yang mungil segera dibalut hangatnya pelukan Aerion.
Saat suara logam terakhir terdiam dan hanya desau angin yang tersisa, Aerion pun sigap berdiri. Ia melirik keluar jendela, matanya tajam memperhatikan sekitar. Athelie diam mengamati. Pria itu tampak cemas, tapi kemudian tersenyum lega setelah memastikan segalanya, ia membalik tubuhnya dan mengulurkan tangan.
Genggaman mereka menyatu kembali, dan dengan langkah hati-hati, keduanya berjalan turun dari gerbong paling belakang.
Aerion lebih dulu menginjak rel kereta yang dipenuhi kerikil. Ia mendongak, menatap Athelie dengan senyum yang mengundang rasa percaya yang tak bisa dijelaskan.
“Lompatlah, aku akan menangkapmu.”
Tak ada ragu di dada Athelie. Ia mengangkat sedikit gaun putih berendanya, membiarkannya berkibar anggun sebelum tubuhnya melayang ringan, sepenuh hati diserahkan pada tangan Aerion.
Dalam satu gerakan pasti, ia mendarat di pelukan pria itu. Tawa mereka meledak serempak ketika pita berwarna putih di rambut Athelie terlepas, menari di udara sebelum menghilang di antara semak.
Aerion menurunkan Aethelie perlahan. Tangan mereka bertaut semakin erat saat melangkah menjauh dari rel kereta, menyusuri rerumputan hijau yang menghampar bagai permadani dari surga.
Athelie menarik napas dalam-dalam. Udara di sini rasanya lain—lebih murni, lebih damai, seolah tempat ini tidak berada dalam peta dunia.
Tiba-tiba, peluit kereta kembali berbunyi nyaring. Athelie menoleh ke belakang, melihat gerbong itu mulai bergerak kembali, perlahan masuk ke dalam lorong bebatuan yang diselimuti kabut kelabu. Athelie menahan nafas menyaksikannya, ada sesuatu yang berdesir takut di dadanya.Tapi bukan ketakutan yang nyata. Semacam sebuah firasat.
Seperti, jika mereka tidak turun dari kereta tadi, apa mereka akan lenyap—dibawa pergi memasuki lorong bebatuan gelap disana?
Aerion pun mendekat menyadari perubahan sikap Aethelie. Ia mengangkat dagu Athelie dengan dua jemarinya yang lembut, lalu mengecup kening perempuan itu dengan ketenangan yang menular.
“Kita akan baik-baik saja. Kita hampir sampai, sayang.”
Bisikannya menghapus kekhawatiran Athelie.
Athelie mengangguk pelan, dan kembali melangkah di samping Aerion. Rerumputan mulai berubah—dari hijau membentang menjadi hamparan bunga kuning yang merekah malu-malu di antara cahaya mentari. Langit membiru jernih di atas mereka, dan burung-burung kecil tampak terbang rendah, seolah ikut mengiringi langkah mereka menuju tempat yang indah.
Lalu, di depan sana—
Biru lautan tampak membentang, tak jauh, tak berbatas tampak bagai fatamorgana. Airnya jernih berkilau, menyentuh cakrawala dengan kelembutan yang membius mata. Ombaknya menyapa pasir putih dengan suara seperti nyanyian.
Athelie menatap Aerion tak percaya.
“Kita... Kita akan ke sana?”
Aerion tak menjawab langsung, hanya menatap lembut Athelie dengan kehangatan yang tak bisa dibeli oleh waktu. “Athelie ingin ke sana?” tanyanya lembut.
Athelie mengangguk cepat, matanya bersinar. Ia melepaskan genggaman tangan mereka dan berlari kecil mendahului Aerion. Gaunnya pun tampak mengepak ringan di tiup angin laut. “Aeriooon!” seru Aethelie sambil menoleh dan melompat riang.
Aerion tertawa, langkahnya menyusul, lalu dengan satu gerakan cepat mengangkat pinggang Athelie, memutarnya di udara seperti anak kecil yang baru menemukan dunia.
Tawa Athelie membuncah, dan dunia di sekitar mereka ikut tertawa bersama. Membuatnya pasir putih disana menjadi saksi. Angin menjadi lagu. Dan waktu, sejenak, mengalah—membiarkan cinta itu bernapas dalam tawa Athelie dan Aerion.
Aerion menurunkan Athelie perlahan. Jemarinya membelai pipi Athelie bagai menghafal lekuk wajah perempuan yang telah mencuri seluruh dunianya itu.
Athelie tak berkata apa-apa, hanya melingkarkan kedua lengannya ke leher Aerion dan memeluknya erat. Hangat. Dalam. Dan nyaman.
Pelukan itu bukan sekadar pelukan, itu adalah pernyataan bahwa ia percaya pada Aerion, meski belum tahu dari mana datangnya cinta ini.
“Kita sampai, sayang,” bisik Aerion dengan suara rendah yang nyaris tenggelam dalam suara ombak. Pelukan itu perlahan dilepas, tapi tangan mereka masih tergenggam erat enggan terpisahkan. Mereka melangkah bersama menuju sebuah dermaga kayu yang berdiri anggun di ujung pantai. Di sanalah Athelie melihatnya—sebuah kapal bangsawan yang begitu memukau.
Kapal itu seperti keluar dari dongeng, badan nya dihiasi ukiran emas yang melilit bagai angin, tiangnya menjulang gagah, dan jendela-jendela kaca patri memantulkan cahaya seperti permata. Tapi…
Bendera di pucuk tiang robek tertiup angin. Tampak
Layu dan sepi bagai menyimpan sebuah kisah lama. Pemandangan itu membisikkan sesuatu ke telinga Athelie, apakah tempat ini aman?
“Aerion, kita akan naik kapal ini?” Tanya Aethelie cemas
Tapi Aerion tak menjawab dengan kata. Ia hanya melingkarkan lengan di pinggang Athelie, mencoba menenangkannya. "Kita selalu ingin kesana sayang," ucap Aerion. Tatapan matanya bersinar penuh semangat, seperti anak kecil yang membawa seseorang ke tempat yang penuh kenangan.
Langkah mereka pun sampai di jembatan yang menghubungkan dermaga ke kapal. Papan-papan kayu tua sedikit licin oleh lumut dan semprotan air asin. Aerion menatap Athelie lembut. “Athelie, sayangku, kemarilah~” ucapnya, dan tanpa menunggu jawaban, ia merunduk sedikit, lalu mengangkat tubuh Athelie ke dalam pelukannya.
Athelie tertawa pelan, menggelayut manja di pangkuan pria itu. Mereka melintasi jembatan, memasuki badan kapal dengan langkah perlahan. Mereka sempat melewati ruang bawah kapal, yang di dalamnya berderet kamar-kamar kecil dengan pintu melengkung dan lampu gantung dari kristal berembun. Sunyi menyelimuti, tapi tidak mengintimidasi—lebih seperti rumah lama yang menunggu penghuninya pulang.
Saat mereka sampai di lantai atas kapal, pandangan mereka seakan terbuka luas. Hamparan laut dan langit menyatu dalam gradasi biru tak berujung, dan angin memainkan rambut Athelie tanpa malu. Aerion menurunkan Aethelie dari pangkuan.
"Wah, itu?!" Di tengah dek kapal, Athelie melihat ada satu meja kecil yang seolah telah disiapkan.
Dua kursi dari rotan antik.
Taplak putih bersulam benang emas.
Dan di atasnya—dua piring makan yang tersaji rapi, penuh hidangan yang tampak menggoda dan elegan, seperti, roti panggang, buah delima, sup krim dalam mangkuk porselen, dan segelas anggur berwarna delima tua, tersaji.
Mata Athelie membulat kecil. Sebelum ia sempat berkata apa-apa lagi, melodi lembut tiba-tiba terdengar.
Ia menoleh cepat—dan di sana, di pojok dek, Aerion berdiri di samping pemutar piringan hitam dari cangkang kerang laut. Musik klasik yang lembut mengalun, membawa suasana bagai dunia dongeng.
Athelie terkekeh pelan melihat Aerion mulai berdansa kecil menggerakkan tubuhnya dengan gaya tarian yang lucu. Pria itu bahkan pura-pura membuat reverensi, seperti bangsawan sejati yang mengajak putri kerajaannya menari di atas kapal menuju keajaiban.
“Nona Athelie, mau berdansa denganku?” tanya Aerion dengan nada bercanda namun penuh cinta.
Athelie terkekeh. Ia berjalan pelan ke arah Aerion, mengambil satu langkah, lalu dua, sebelum membiarkan dirinya dibawa oleh pelukan Aerion sekali lagi— namun kali ini, dalam tarian kecil di bawah langit luas dan aroma lautan lepas.
Laut menjadi saksi.
Angin menjadi musik.
Dan dua jiwa yang belum mengingat segalanya, justru saling menemukan dalam detik-detik sederhana.
Entah bagaimana, tubuh Aethelie seolah telah menghafal setiap gerakan dansa yang bahkan tak terbayang akan dipelajarinya seumur hidup. Tapi kini, di dek kapal yang sunyi dan damai, langkah-langkah itu muncul begitu saja—mengalir ringan, anggun, seperti ingatan yang terbangun tanpa perintah.
Athelie tersenyum senang—bukan senyum biasa, melainkan senyum yang muncul dari perasaan bebas yang tak bisa dia jelaskan. Semakin lincah ia berdansa bersama Aerion, semakin tubuhnya ingin terbang, melayang di antara hembusan angin dan irama musik laut.
Lalu, dalam putaran lembut yang penuh percaya, Aerion memutar tubuh Athelie dengan gemulai. Dan Athelie—alih-alih kembali ke pelukan pria itu—justru melepaskan tangannya, membiarkan kakinya mengayun sendiri di atas dek kayu. Tubuhnya melingkar, berputar seperti seorang ballerina yang dituntun oleh angin dan nada. Gaunnya berayun, rambutnya beterbangan, dan dunia pun menahan napas untuk menyaksikan tarian itu.
Aerion berdiri di tempatnya, matanya berbinar mengikuti tiap langkah Athelie. Ada ketenangan dalam sorotnya, seperti langit senja yang menatap bumi dengan cinta yang tak tergesa. Senyumnya pun muncul perlahan, beriringan tangannya naik menekan tombol dari kamera yang sejak tadi menggelayut di tubuhnya.
Cekrek.
Sebuah suara tiba-tiba terdengar, seperti kilatan cahaya dalam ruang waktu yang membeku.
Athelie menghentikan putarannya, menoleh cepat ke arah suara. Dan di sana—Aerion berdiri dengan tangan memegang sebuah kamera, kamera yang sedikit kusam, dengan kulitnya yang mengelupas di sudut, namun masih tampak kokoh. Mata lensa itu tampaknya masih hidup sempurna untuk menatap dunia.
“Aerion? Sejak kapan kamu…” Athelie tergelak, setengah malu, setengah terkejut. Ia menyilangkan tangan di depan wajahnya, berusaha menghindari jepretan berikutnya.
Aerion namun menghiraukan, ia meletakkan setiap hasil foto yang keluar ke atas meja dan tertawa pelan. “Kamu terlihat terlalu cantik. Rasanya sayang kalau tak ku abadikan.”
Pipi Athelie sontak memerah, rona langit yang mulai senja kini berpindah ke wajahnya. Ia berjalan cepat ke arah Aerion, merebut kamera dari tangan pria itu.
“Kalau begitu sekarang giliranku.” ujarnya bersemangat.
Aerion kemudian sukarela melangkah ke tengah kapal, berdiri tegak, menatap langsung pada lensa kamera yang Aethelie pegang. Wajahnya tersenyum tanpa dibuat-buat—senyum seorang lelaki yang sedang jatuh cinta, dan tahu betul bahwa ia sedang menjadi bagian dari sesuatu yang tidak biasa.
Cekrek.
Suara itu terdengar lagi. Tak ada yang berkata apa-apa. Hanya tatapan mereka yang saling beradu, saling mengerti bahwa jepretan barusan menangkap lebih dari sekadar gambar—ia menangkap momen dan memori. Momen yang mungkin akan jadi petunjuk bagi kisah yang belum mereka pahami.
Dan di dalam diam itu…Athelie menurunkan kameranya perlahan, menatap foto yang baru saja keluar dari perut kamera, mengibasnya ke udara, lalu membaliknya—hingga, kemudian dunia terasa benar benar berhenti.
Athelie terpaku.
Foto itu...
Wajah dalam gambar yang ditangkapnya, tampak jelas, bukan wajah Aerion.
Lelaki dalam foto memang tersenyum seperti Aerion. Rambutnya sewarna. Tegao ubuhnya sama. Tapi warna matanya—dingin, asing. Rahangnya lebih keras dan sorotnya menusuk.
Wajah itu bukanlah wajah pria yang menari bersamanya beberapa detik lalu. Bukan Aerion.
Athelie menatap gambar itu cukup lama, detaknya tertahan.
Aerion tiba melangkah mendekat, alisnya mengerut, tapi sebelum ia bisa menyentuh foto itu, Athelie menarik fotonya menjauh.
“Biar aku coba lagi.” Suaranya bergetar. Tangannya dengan cepat mengangkat kamera, membidik Aerion sekali lagi.
Cekrek.
Ia menunggu. Kamera itu mengeluarkan suara mekanik dan menyajikan selembar foto baru. Athelie mengambilnya, mengibas pelan, membalik... dan hatinya seketika diliputi kegelisahan yang membara.
Orang yang sama.
Laki-laki asing itu kembali muncul. Senyum yang tak ia kenali, dan tatapan yang seperti menembus lapisan waktu.
“Athelie, kenapa?” Aerion bertanya lembut, tak paham. Ia melangkah mendekat, mencoba melihat, tapi Athelie menahan dadanya seolah ingin menjaga jantungnya agar tak jatuh.
Ia mengangkat wajah.
“Ambil gambarku. Sekarang.” Ucapnya cepat.
Aerion menuruti tanpa banyak tanya. Ia mengambil kamera itu, membidik Athelie—yang kini berdiri tegak di tengah dek kapal, gaunnya berkibar diterpa angin, wajahnya tegang dalam sorot senja.
Cekrek.
Foto pun keluar. Aerion menyerahkan lembarnya pada Aethelie, masih dengan senyum kecil. Tapi senyum itu lenyap ketika melihat Athelie membalik foto dan berubah memucat.
"Sayang, ada apa?" Aerion bergegas ikut melihat foto Aethelie.
Itu sosok Aethelie.
Tapi bukan wajah Aethelie.
Wajah di dalam foto memiliki struktur yang berbeda—dalam cara yang tak bisa dijelaskan. Matanya sama, tapi tidak sehangat Aethelie yang bersamanya. Senyumnya mirip, tapi terlalu tajam. Seolah foto itu menangkap versi lain dari Aethelie yang... bukanlah Aethelie yang sekarang.
“Apa maksudnya ini…” gumam Athelie, suara nyaris tak terdengar. Tangannya gemetar menjatuhkan kamera. Ia menatap Aerion—pria di hadapannya—dan untuk sesaat, sebuah pikiran menyelinap hatinya.
Siapa kami sebenarnya?
Siapa aku?
Siapa kau?
Kamera tua itu tak bersuara, tapi kini mulai rerasa hidup. Lensa yang mengarah ke mereka dibawah seperti mata dari masa lalu yang mengamat. Atmosfer pun mulai terasa berat. Angin laut berubah, menyapu dengan aroma yang asing—seperti dupa dan debu perpustakaan tua.
Di kejauhan, denting suara peluit kereta terdengar nyaring.
Di ikuti warna langit senja runtuh, berubah menjadi segumpal kabut hitam yang turun pelan ke sekitar mereka. Awan pun menggulung tebal, menelan cahaya bulan. Disusul ombak di bawah kapal mendadak menderu, menghantam lambung kapal seperti amukan sesuatu yang tak kasat mata. Dingin angin meliar.
“Athelie!” Aerion dengan sigap meraih badan Athelie ke pelukannya erat, dan disadarinya tubuh Athelie gemetar, tapi bukan karena dingin—melainkan karena kebenaran yang menolak disembunyikan.
Peluit kereta kembali terdengar—nyaring…
Dan di bawah mereka, mendadak kamera tua itu memantulkan cahaya. Sebuah sorot redup, namun terasa seperti mata yang terjaga. Athelie mencoba meraihnya. Tapi tiba-tiba, kapal berguncang keras, membuat kamera itu menggelinding, terperosok jauh ke arah ujung dek.
Tubuh mereka berdua ikut terhuyung ombak, hingga berpegangan pada sebuah tiang yang dingin dan basah oleh kabut asin. Aerion berusaha melindungi Aethelie dibelakang nya, tapi Athelie menatap kamera itu dengan mata yang menyala oleh tekad.
Athelie tahu.
Entah bagaimana, ia tahu
Kamera itu menyimpan jawabannya.
Tentang dirinya. Tentang Aerion.
Athelie menangkis tangan Aerion yang menahannya,
“Apa yang akan kamu lakukan?!” Sayangnya kalah kuat, Aerion menahan cepat langkah Aethelie yang hendak meraih kamera, napasnya terseret oleh rasa cemas yang tak bisa ia sembunyikan.
"Aku harus mengambil kamera nya!"
"Tidak, Aethelie!"
"Tapi kau bahkan melihatnya kan?! Foto tadi--"
“CUKUP! Aku tidak ingin kehilanganmu lagi!”
Aethelie terdiam.
Lagi?
Kata itu menusuk lebih tajam dari badai yang mengamuk di sekeliling mereka. Athelie menatap Aerion bingung, menyipit tajam, dan penuh tanya.
"Kapan kau pernah kehilanganku, Aerion? Kita selalu bersama sejak tadi... bukan?"
Dan di sanalah sesuatu tak masuk akal, Athelie melihatnya.
Wajah Aerion. Yang tadinya begitu hangat. Begitu manis.
Kini mulai berubah.
Perlahan, namun membuat buku kuduk nya berdiri, seperti kabut yang menyingkap kebenaran, garis wajah Aerion bergerak.
Matanya menajam.
Senyumnya menjadi terlalu simetris.
Hidung mancungnya menurun.
Dan warna sapphire matanya menjadi hijau pekat…
Itu bukan Aerion. Itu adalah sosok dalam foto yang Aethelie lihat.
“Sayangku… tetaplah bersamaku…” lugas Aerion—atau siapapun dia—genggamannya kini mencengkeram lengan Aethelie, bukan lagi melindungi.
Hati Athelie pun dipenuhi oleh gelombang rasa takut yang belum pernah ia rasakan. "LEPAS!!!" Dan dengan seluruh kekuatan, ia menghempas tangan pria itu—bukan karena perasaan benci, tapi karena kebenaran yang mendesaknya untuk melepaskan diri.
Ini semua sudah tak benar.
Tubuh Athelie spontan terjungkal ke ujung dek, membentur papan kayu dengan keras. Bahunya terasa terlikir, nyeri, namun ia tak menghiraukan rasa sakit itu.
Di dekatnya, karena kamera tua itu…
Hampir bisa digapai.
Sementara di belakangnya, Aerion—berjalan tertatih di antara deru angin yang semakin kencang yang mencoba menerbangkan mereka, tangannya terulur, matanya bersinar kehampaan menggapai gapai Aethelie.
“Athelie!!”
Teriakan itu menggema bersama raungan petir. Tapi Athelie mengabaikannya. Ia merangkak, menggenggam sisi kapal agar tak terhempas angin laut. Rasa sakit di bahunya tak mengalahkan hasrat untuk menjawab pertanyaan yang menggema.
Siapa dirinya?
Siapa Aerion?
Dan siapa mereka sebelum badai ini?
Tangan Athelie akhirnya menggapai kamera itu, ia gemetar ketika mengangkat kamera ke matanya, tapi bukan untuk mengabadikan gambar, melainkan untuk membidik Aerion, melihat dunia tempat mereka berada di balik lensa itu, membuktikan realitas yang dikenalnya.
Kini, retak.
Dalam lensa yang Aethelie lihat. Badai mengaum lebih liar, seperti raksasa purba yang bangkit dari tidur panjangnya di dasar laut. Angin menerjang seperti cambuk tak kasat mata, menghantam dek kapal yang kini tak lagi terasa kokoh, melainkan seperti panggung rapuh yang siap runtuh kapan saja.
Aerion—atau sosok yang menyebut dirinya demikian—tampak terhempas kerasnya angin ke sisi kapal. Bahu dan kepalanya membentur kayu dengan bunyi tumpul yang membuat udara membeku. Darahnya merembes, merayap di kulit pucatnya, tapi matanya tetap terbuka, menatap bukan lagi pada Athelie—melainkan ke suatu titik di kejauhan, pada satu entitas, dengan mulut yang terus memanggil satu nama.
“Elaire…”
Bukan Athelie.
Jantung Athelie mencengkeram dadanya sendiri. Tapi ia tidak ingin langsung mengambil asumsi—ia mengarahkan kameranya lagi, menatap melalui mata mekanis yang kini seperti jendela ke dunia lain.
Dan apa yang dilihatnya, membuat napasnya tercekat.
Di atas dek kapal yang miring itu, di antara retakan kayu dan angin yang menderu, berdiri… mereka.
Anak-anak kapal. Tiga, empat, bahkan lebih. Wajah-wajah yang tak pernah ia lihat, namun entah mengapa terasa akrab—seperti mimpi yang hampir diingat. Mereka bergelut melawan badai, berpegangan pada tiang-tiang layar, teriakan mereka tersapu angin, tubuh mereka disilaukan petir. Bagaimana mungkin? Mereka--Athelie dan Aerion seharusnya sendirian di kapal ini. Bukan?
"Athelie Elaire!"
Lalu Athelie melihatnya.
Satu sosok berkulit kuning Langsat.
Tersungkur di ujung dek yang mulai retak, gaun putihnya berkibar liar diterjang badai.
Dia seorang perempuan. Dengan rambut yang sama legam dan panjang, dan tubuh mungil serupa. Gaun yang persis sama berenda seperti miliknya.
Namun wajahnya—bukan wajah Athelie.
Itu wajah yang muncul di foto tadi.
Wajah yang membayang dalam sorot lensa. Wajah yang Athelie kira hanya distorsi. Hanya ilusi.
Wajah itu kini hidup. Dia terluka parah—gaun putihnya tercemar, seperti tertusuk benda tajam pada area pinggangnya hingga dipenuhi darah.Tubuhnya pun gemetar, rapuh, dan waktu seolah melambat membiarkan retakan pada lantai kayu menganga lebih lebar saat sosok itu semakin lemas kehabisan darah. Dalam satu hentakan ombak, tubuh sang perempuan pun meluncur ke laut yang hitam dan dalam.
Aerion—atau siapapun dia sebenarnya—nekat melepas pegangan dari tiang, berlari menerjang badai, melompat, meneriakkan nama yang membuat dada Athelie terasa sesak, dan membuat seluruh awak kapal gempar melihat Aerion terjun bebas, mencoba menyelamatkan kekasihnya yang jatuh ke lautan lepas.
Kaki Athelie pun melemas. Tubuhnya gemetar. Tangannya menutup mulut, menahan isak yang mendesak dari dasar jiwanya. Kamera itu kemudian terlepas dari genggamannya dan jatuh.
Menjadi hening.
Waktu pun seolah berputar kembali. Musik dari piringan hitam samar samar berdentang lagi, seperti tangis yang dijahit menjadi melodi.
Athelie menatap sekeliling—lampu-lampu gantung yang berayun pelan, meja makan yang tertata sempurna, angin yang tak lagi mengamuk. Lalu dia melihat Aerion… Aerion dengan wajah yang belum berubah, berdiri di sana dengan ekspresi bingung, seolah semua yang barusan terjadi tak pernah terjadi pada mereka. Ia memandang Athelie dengan senyum kecil dan mata penuh kasih.
“Sayang, ada apa?” tanyanya, lembut.
Athelie terdiam sejenak, mulai mengerti, dengan sisa tenaganya, berjalan pelan ke dekat Aerion. Dia tampak gemetar ketika meraih pipi Aerion dan menciumnya—satu di pipi kanan, satu di pipi kiri—sebelum memeluk tubuh pria itu erat-erat, seolah takut pria itu akan menghilang lagi.
“Aethelie?”
Athelie menggigit bibirnya, menahan gemuruh dalam dadanya. Lalu ia berkata dengan suara nyaris berbisik, “Kita tidak seharusnya di sini…”
Aerion bingung, menatapnya dengan keningnya berkerut. “Apa maksudmu?” Aethelie menggeleng, linangan itu tak terbendung.
“Kita hanya mengantar mereka ke akhir bahagia... ke makan malam yang tak pernah terjadi, ke dansa yang tak sempat dilakukan, ke cerita yang tak pernah selesai...” ucap Athelie memandang meja makan di belakang mereka, yang tersusun indah di bawah langit biru cerah.
Aerion terdiam.
“Kita harus pulang.”
Mata pria itu membelalak. “Apa... yang kau katakan?”
Namun Athelie tak menjawab dengan penjelasan panjang. Ia hanya mengambil kamera itu, menatapnya dengan gemetar, dan meminta Aerion tersenyum untuk satu foto terakhir.
Cekrek
Ketika hasilnya keluar, Aerion—terperangah. Wajah-wajah dalam potret itu tak sama dengan wajah mereka. Tapi ada kedamaian yang memancar dari sepasang kekasih dalam foto itu. Seolah jiwa mereka akhirnya menemukan rumah.
“Siapa mereka?” desaknya.
“Mereka pemilik tubuh ini. Mereka bukan kita… tapi mungkin dulu… mereka pernah menjadi seperti kita. Pernah bahagia, saling mencinta dan berharap bersama selama nya. ” bisik Athelie.
Tangisnya semakin pecah saat ia berkata lagi, “Kita… mungkin sudah mati di dunia asal kita. Ingatkah kamu? Di kereta, saat peluit itu meraung… lalu benturan keras, semua penumpang berteriak dan pandangan menjadi gelap.”
Aerion—yang masih setengah percaya—hanya bisa menatap kekasihnya yang menggenggam kamera sekuat mungkin, seolah itu satu-satunya saksi yang menghubungkan dunia ini dengan kenyataan yang Aethelie ceritakan. Satu persatu ingatan dalam kepalanya, kemudian muncul berdesakan. Bahwa benar, mereka adalah sepasang kekasih dari dunia lain, yang mengalami kecelakaan dalam peristiwa tabrakan kereta.
"Nalla," Aerion akhirnya ingat, nama asli dari jiwa yang berada dalam tubuh Athelie Elaire. "Nalla, kamu adalah Nalla. Dan aku..."
"Chris," Athelie--Nalla, melanjutkan kalimat Aerion--Chris, dengan gemetar. Mereka bersitatap, mengingat seutuhnya kenangan buruk kecelakaan kereta yang dialami hingga jiwanya berada di tempat ini, di tubuh Athelie dan Aerion yang memimpikan akhir bahagia.
“Aku tidak peduli... Chris," Air mata berjatuhan deras dari mata Athelie "Aku tidak peduli apakah ini mimpi atau kehidupan setelah mati, yang kita jalani, tapi bersamu... Chris...” Ujarnya. Aerion mendekap Aethelie erat erat.
“Aku hanya tahu satu hal… yaitu bahkan sebelum kamu menyebutkan namamu adalah Aerion… aku tahu, kamu tetaplah kekasihku di dunia manapun kita!" Sargah Athelie. Pandangannya membulat menatap Aerion penuh tekad. "Kau adalah Chris… dan aku adalah Nalla. Dan aku mencintaimu!”
Aerion menatap Athelie mengiyakan. Dalam mata Athelie-- Nalla, ada luka. Ada kehilangan. Tapi lebih dari itu, ada cinta yang tak mengenal batas, waktu, maupun logika.
"Ayo kita kembali, Chris... Ke dunia kita, bagaimana kondisi kita disana," ucap Athelie.
Aerion mengangguk, mengecup lama dahi Athelie, "Aku mencintaimu."
Dan senja itu, di dek kapal yang tenang, di bawah langit biru yang perlahan berubah keunguan, dua jiwa yang terdampar kembali saling menggenggam. Meski tak tahu apakah mereka akan tetap di sana, atau terbangun di dunia lain… tapi selagi mereka bersama.
Semua akan baik baik saja.
***
Angin dini hari menyapu lembut rerumputan di sekitar rel yang sunyi. Kabut menggantung rendah, membungkus dunia dalam bisikan samar alam. Dari arah jauh, suara peluit kereta menembus keheningan—nyaring, namun mengandung kegetiran yang tak terucap.
Di sana, di tepian dunia yang tak tercatat di peta manapun, Nalla dan Chris berdiri. Tak lagi sebagai Athelie dan Aerion, tapi sebagai dua jiwa yang kini telah mengerti siapa mereka. Mereka menggenggam tangan satu sama lain, melangkah menjauh dari kapal yang perlahan menghilang di kejauhan, menuju jalur rel tua yang pernah mereka pijak siang lalu.
Dan ketika kereta itu datang—kereta yang sama, dengan suara dan rupa yang tak berubah—keduanya tak ragu melangkah masuk ke gerbong terakhir. Tak ada penumpang lain. Tak ada suara. Hanya derak halus roda besi di atas rel yang mengiringi langkah mereka.
Mereka pun duduk berdampingan.
Tak ada kata-kata untuk menjelaskan tempat itu, waktu itu, atau apa yang akan terjadi selanjutnya. Hanya satu hal yang mereka yakini, yakni mereka bersama. Dan itu cukup.
Lalu kabut semakin menebal. Dunia luar memudar, berubah menjadi lorong panjang yang berkelok lembut, dikelilingi batu-batu kelam dan cahaya samar yang berpendar dari dinding-dinding berkabut. Kereta tak memperlambat lajunya. Ia melaju, membawa mereka ke tempat yang tak memiliki nama, tapi mungkin telah lama menanti keduanya.
Nalla mendekat ke sisi Chris, bahunya terasa hangat.
“Chris…" panggil nya menyandarkan kepala, "Terimakasih, sudah tetap bersamaku.” bisiknya.
Chris menatap dengan senyum yang lelah tapi tulus penuh cinta. Ia mendekap Nalla erat, seolah ingin melindunginya dari semua ketidakpastian. Suara lantai gerbong yang bergetar mengikuti irama rel pun menjadi semacam nyanyian pengantar.
“Kemanapun kita pergi,” Chris berbisik, “kita akan tetap bersama.”
Nalla mengangguk pelan. Dan saat kereta memasuki gelap yang tak berkedip, Nalla memejamkan mata— tapi bukan karena takut, melainkan karena ia percaya.
Bahwa cinta yang mereka bawa tak butuh dunia untuk hidup. Ia hanya butuh dua hati… yang memilih untuk tidak pernah saling melepaskan.
***
Epilog
Biip biip..
Lampu putih menyala. Suara mesin berdetak.
Dengan napas pelan, perempuan itu membuka matanya. Terdapat sebuah gelang yang melingkari tangannya, tertulis
Ny. Nalla
Langit-langit tampak berwarna putih. Aroma antiseptik samar tercium. Inilah, dunia yang seharusnya.
Meski tubuhnya terasa berat, seperti baru terangkat dari mimpi panjang yang nyaris tak kembali. Ia menoleh perlahan ke samping—dan melihat sosok itu.
Chris. Terbaring di ranjang sebelah, dengan sebagian tubuh masih tertutup perban. Beberapa luka menghiasi wajah dan dada pria itu, tapi matanya terbuka, menatap Nalla penuh rasa lega dan rasa sakit yang tak bisa ditutupi. Chris tersenyum tipis, menjadi sapaan hangat yang masih mampu ia berikan.
“Terima kasih… telah kembali bersamaku…” dan mungkin, itu yang ingin Nalla katakan, tapi bibirnya kelu. Kondisinya membuat tak satu pun kata bisa lolos dari tenggorokannya.
Ia hanya mengangkat tangan dengan sisa tenaga. Perlahan menyentuh jemari Chris yang juga mencoba menggapainya..
Mereka akhirnya telah kembali.
Bersama.
(End)