Bab 1: Bayang-Bayang di Bawah Bambu
Angin berembus lirih di atas desa Baihe, membawa aroma tanah basah dan suara gemerisik daun bambu yang saling berbisik dalam bahasa tua. Di kaki bukit yang menatap matahari pagi, terhampar hamparan ladang dan hutan bambu yang membentang seperti lukisan tinta di atas kertas sutra.
Di antara rimbunnya rumpun bambu itu, terduduk seorang pemuda dengan wajah tenang dan mata seperti telaga yang menyimpan badai. Li Wen, putra pandai besi desa Baihe, bukan siapa-siapa dalam catatan penguasa, namun bagi para ibu tua dan anak-anak kecil, namanya adalah mata air cerita dan lagu.
Di pangkuannya terbuka gulungan kertas usang, dan di tangannya kuas tipis menari-nari, menyulam kata di atas permukaan halus itu:
“Angin membawa namamu, namun tak pernah tahu ke mana perginya bayanganmu.
Aku menunggu di antara dedaunan gugur—seperti pagi menanti senja, meski tahu ia takkan datang.”
“Lagi-lagi kau menulis puisi untuk seseorang yang tak tahu siapa engkau,” suara dalam menegur dari balik batang bambu. Muncullah seorang lelaki tua dengan jubah lusuh, membawa keranjang penuh batu arang. Ia adalah Tuan Mo, teman ayahnya yang pernah mengembara ke kota-kota besar.
Li Wen hanya tersenyum tipis. “Jika ia membacanya, bukankah itu cukup? Aku tak perlu ia tahu siapa penulisnya. Biarlah puisi ini seperti kabut pagi—menyentuh tanpa terlihat.”
Tuan Mo menghela napas, duduk di sampingnya. “Puisi itu indah, Wen. Tapi kata-kata tak akan menyeberang tembok istana. Apakah kau lupa siapa dia?”
Li Wen tak menjawab. Matanya masih menatap hamparan bambu yang bergerak pelan, seperti tubuh penari istana yang menari dalam irama yang hanya bisa didengar oleh langit.
Di sisi lain dunia—jauh melewati pegunungan dan sungai yang tak disebutkan dalam peta rakyat—berdirilah Kediaman Agung Gubernur Jiangnan, tempat tinggal para bangsawan, pejabat, dan darah biru yang terikat oleh aturan yang lebih keras dari baja.
Di sebuah taman dalam yang dijaga empat pelayan dan tiga dinding, duduk seorang perempuan muda dengan jubah hijau muda yang bersulam awan dan burung bangau. Wajahnya putih bagai salju yang tak pernah disentuh kaki, dan matanya… seakan menyimpan rahasia ribuan musim.
Putri Han Yue, anak bungsu Gubernur Han Zhen, tengah membuka lembaran-lembaran daun bambu yang dikeringkan dan diikat menjadi seperti buku. Di salah satu helai daun itu tertulis puisi yang mengguncang hatinya sejak pertama kali ia temukan tergantung di pohon plum istana:
“Jika aku adalah bayangan, biarlah kau jadi cahaya.
Jika aku hanyalah dedaunan, biarlah kau jadi angin yang membuatku menari.”
“Puisi ini… tidak berasal dari istana, bukan?” bisik Han Yue pada pelayan setianya, Mei Lin, yang berdiri setengah membungkuk di sampingnya.
Mei Lin menunduk. “Benar, Putri. Kami menemukannya tersangkut di keranjang bunga dari desa Baihe. Mungkin tertiup angin, atau… sengaja diselipkan.”
Han Yue mengangguk pelan, jarinya menyentuh huruf-huruf itu seperti menyentuh wajah seseorang yang belum pernah ia lihat.
“Aku ingin bertemu penulisnya, Mei Lin.”
“Mustahil, Putri.”
Han Yue tersenyum kecil. “Tak ada yang mustahil, hanya belum dicoba.”
Hari berganti. Musim semi datang perlahan, membawakan Festival Qingming—waktu di mana rakyat jelata diperkenankan masuk ke taman istana untuk menghormati leluhur. Di antara kerumunan itu, tersembunyi seorang pemuda berwajah sederhana, membawa kipas bambu yang dilukis sendiri.
Kipas itu tak dijual, tak juga ditawarkan. Ia hanya ingin meletakkannya di taman tempat pohon plum tumbuh—tempat ia tahu puisi-puisinya kadang ditemukan.
Tapi hari itu berbeda. Seseorang memperhatikannya.
Seseorang dengan mata yang pernah membaca tulisannya, dan hati yang perlahan-lahan, meski ia tak tahu kenapa—mulai bergetar tiap kali melihat bentuk huruf-hurufnya yang seperti menari.
Malamnya, di desa Baihe, Li Wen duduk di depan bara api bengkel. Ayahnya sudah tidur, dan dunia terasa hening seperti sebelum bumi diciptakan. Tapi malam itu, suara lembut memanggil dari luar pintu.
“Li Wen?”
Ia menoleh.
Bayangan berjubah hijau berdiri di ambang pintu, dengan wajah yang hanya pernah ia lihat dalam mimpi dan bait-bait puisinya.
“Siapa… kau?” suaranya nyaris tak keluar.
Han Yue melangkah masuk, hanya ditemani Mei Lin yang berjaga di kejauhan.
“Aku adalah dia yang membaca semua puisi yang kau tinggalkan untuk langit. Dan malam ini… aku ingin mendengar satu bait langsung dari mulutmu.”
“Bayangan bersembunyi di balik cahaya,
Namun malam tak bisa membohongi bintang.
Jika malam ini aku bermimpi,
Biarlah tak pernah aku terbangun.”
Han Yue menatapnya dalam diam. Lalu perlahan-lahan, senyumnya tumbuh seperti bunga yang baru disentuh embun.
“Aku takkan pernah lari dari puisi seperti itu, Li Wen.”
Dan di bawah bambu yang berayun pelan, cinta mereka mulai tumbuh. Diam-diam. Terlarang. Tapi sungguh.
Namun bahkan malam yang indah pun tak luput dari fajar yang menggugat.
Dan tak semua cinta dapat disembunyikan selamanya.
Bab 2: Anak Sungai yang Bernyanyi
Air sungai kecil di utara Baihe mengalir tenang, seperti syair yang diucapkan tanpa suara. Sungai itu belum pernah punya nama, namun Li Wen menyebutnya “Anak Sungai yang Bernyanyi”, sebab di situlah ia menemukan suara yang tak pernah ia tahu ia miliki—suara hatinya sendiri.
Dan sejak pertemuan di malam berbintang itu, tempat itu menjadi saksi bagi perbincangan yang tak pernah dicatat sejarah, namun mengguncang takdir dua dunia.
“Kenapa kau tak pernah menuliskan namamu di puisimu?” tanya Han Yue pada pertemuan kedua mereka. Ia mengenakan jubah kelabu pucat, wajahnya disembunyikan kerudung halus, namun tatapan matanya seterang bulan purnama di langit utara.
Li Wen menatap batu sungai tempat kakinya bersandar.
“Karena nama bisa dicuri. Tapi kata-kata… hanya akan dimiliki oleh mereka yang benar-benar memahaminya.”
Han Yue menoleh, menatapnya lekat-lekat. “Kalau begitu, aku ingin mencurimu.”
Li Wen terkekeh pelan. “Lalu jika aku milikmu, dan puisi-puisi itu milikmu, apa yang tersisa dari diriku?”
Han Yue tak menjawab. Tapi tangannya pelan-pelan membuka gulungan daun yang ia bawa sendiri malam itu. Di dalamnya—tulisan tangan miliknya sendiri.
“Ini balasanku,” katanya pelan.
“Jika malam milik langit, dan langit milik waktu,
Maka aku milikmu—walau tak bisa kumiliki kau seutuhnya.
Bila esok datang membawa perpisahan,
Biarlah malam ini cukup jadi sebuah hidup yang lain.”
Li Wen terdiam. Kata-kata itu sederhana, namun terasa seperti sebuah janji dalam bahasa yang tak dikenali manusia. Ia menatap wajah perempuan di hadapannya—bukan sebagai seorang putri, bukan sebagai darah bangsawan—tapi sebagai satu jiwa yang seperti mengalir dalam dirinya sejak ia mulai belajar membaca bintang dan daun gugur.
Hari-hari berikutnya mereka bertemu dalam diam dan bayang. Kadang hanya berbincang lewat tulisan yang diselipkan di dalam lubang bambu. Kadang dalam pertemuan sunyi di balik perayaan, di pasar malam, atau saat kereta istana melintas dan Han Yue berpura-pura sebagai pelayan.
Suatu malam, mereka duduk di tepi sungai, ditemani suara serangga dan nyala lentera kecil yang nyaris padam.
“Apakah kau tahu,” ucap Han Yue pelan, “bahwa aku pernah hampir dikawinkan kepada saudara dari selir Kaisar? Seorang jenderal tua yang katanya menyukai keheningan seperti aku.”
Li Wen menatap langit. “Apakah ia tahu bahwa keheninganmu penuh dengan suara?”
Han Yue menggeleng. “Ia hanya tahu diam, bukan makna.”
Li Wen menjawab dengan lirih, “Itu sebabnya aku takut. Karena dunia kita dibangun atas nama, bukan makna. Dan namamu… terlalu besar untuk bersamaku.”
Han Yue menunduk.
“Kau tahu, Li Wen, aku telah membaca kitab-kitab filsuf istana. Mereka bicara soal kehormatan, tentang garis darah, tentang utang negara dan darah leluhur. Tapi tidak satu pun bicara tentang bagaimana menenangkan hati yang merindu.”
Lalu ia menatapnya.
“Jadi ajari aku caranya.”
Hari demi hari, malam demi malam, kedekatan mereka menjadi jalinan tak kasat mata yang semakin sulit disembunyikan. Bahkan Mei Lin, yang awalnya hanya diam, mulai gelisah.
“Putri,” ucapnya suatu pagi di taman, “aku mohon, berhentilah bertemu dengannya. Gubernur Han mulai mencurigai. Ada penjaga yang mengaku melihat sosok berjubah hijau keluar malam.”
Han Yue menggenggam lengan pelayannya. “Mei Lin, pernahkah kau mencintai seseorang… bukan karena siapa dia, tapi karena saat bersamanya, kau merasa hidup?”
Mei Lin menggigit bibirnya. “Aku hanya ingin kau hidup, Putri. Dan di istana ini, cinta seperti itu tak membuat orang hidup… tapi dibunuh pelan-pelan.”
Malam itu, di sungai yang sama, Li Wen sudah menunggu. Tapi Han Yue tak datang.
Ia menunggu hingga embun turun, hingga bintang terakhir menghilang di langit timur. Dan saat matahari mulai naik, ia temukan sehelai daun yang terapung di atas air.
Di atasnya tertulis:
“Untukmu yang selalu kudengar bahkan saat tak bicara—
Jika esok kau tak melihatku, jangan kira aku pergi.
Aku hanya sedang menyembunyikan diriku di dalam puisi-puisimu.”
Li Wen mengepalkan tangan. Lalu, dari dalam dadanya, mengalir bait-bait yang tak bisa dibendung:
“Aku takkan menulis lagi—bukan karena berhenti mencintai,
Tapi karena setiap huruf mengingatkanku bahwa kau tak di sini.
Dan bila aku mati esok hari,
Maka biarlah sungai ini jadi makamku,
Dan puisimu jadi nyanyian terakhirku.”
Namun jauh di kediaman istana, Han Yue berdiri di hadapan ayahnya, Gubernur Han Zhen, pria berkumis tipis dengan tatapan yang dingin seperti ukiran giok.
“Kau pikir aku tak tahu, Yue’er?” suaranya seperti pedang yang baru diasah. “Anak perempuan Gubernur Jiangnan berhubungan dengan anak tukang besi dari desa?!”
Han Yue menggenggam tangannya erat, tapi wajahnya tenang.
“Dia bukan sembarang anak tukang besi, Ayah.”
“Dia bukan siapa-siapa! Tidak punya nama, tidak punya darah, tidak punya tempat di dunia ini!” bentaknya. “Dan kau adalah titipan Kaisar. Bagaimana bisa kau mengotori garis darah keluarga ini?!”
Han Yue menatap lurus pada ayahnya.
“Karena darah tak menentukan siapa yang layak dicintai, Ayah. Hanya hati.”
Suara tamparan membelah udara.
Han Yue jatuh tersungkur di lantai giok, namun tak menangis. Bahkan tak berkedip.
Gubernur Han menarik napas dalam-dalam.
“Mulai malam ini, kau akan dikurung di dalam Paviliun Timur. Dan pemuda itu… akan dikirim ke perbatasan utara. Tak akan ada puisi. Tak akan ada sungai. Hanya salju, dan dingin, dan kematian lambat bagi orang yang berani menyentuh langit terlalu tinggi.”
Dan di sungai tempat mereka biasa duduk, suara air malam itu seperti tangisan.
Tangisan dari cinta yang perlahan-lahan dihilangkan paksa dari dunia—tapi tidak dari hati.
Bab 3: Putri yang Mengumpulkan Daun
Di taman istana, angin musim gugur meniupkan daun-daun plum yang gugur sebelum waktunya. Han Yue duduk di bawah pohon tua, menggenggam satu demi satu daun yang jatuh dan memasukkannya ke dalam kotak perak.
Ia tidak menangis. Tapi setiap daun yang ia simpan adalah satu hari tanpa kabar dari Li Wen.
Di perbatasan utara, salju turun lebih awal dari biasanya. Li Wen berdiri di atas bukit batu, mengenakan jubah kasar prajurit pengasingan. Di depannya, benteng kayu yang retak dan lapuk, tempat ia dan dua belas tahanan lainnya tinggal dan menjaga pos yang nyaris dilupakan kekaisaran.
“Siapa kau sebenarnya?” tanya seorang perwira berjubah hitam, berdiri di antara kabut. Ia datang seminggu lalu, tanpa nama, tanpa lambang, hanya membawa stempel merah Kaisar.
Li Wen menunduk. “Hamba hanyalah rakyat biasa, dihukum karena mencintai yang tak boleh dicinta.”
Perwira itu menyipitkan mata. “Kau menulis puisi… dan itu membuatmu dibuang ke tempat seperti ini? Banyak penyair istana yang menulis puisi untuk putri Kaisar sekalipun, dan mereka tak pernah dikirim ke mati seperti ini.”
Li Wen hanya menjawab dengan diam.
Perwira itu mengangguk perlahan. “Kalau begitu, kita dua orang yang sama… sama-sama disingkirkan karena terlalu tahu sesuatu yang tak boleh diketahui.”
Sementara itu, di dalam Paviliun Timur, Han Yue menyusun rencana.
Ia berpura-pura menjadi putri yang patuh—membaca kitab, merajut sutra, bermain guzheng setiap malam agar pengintai ayahnya tak curiga. Tapi tiap pagi, ia menyelinap ke perpustakaan lama di sayap barat istana. Di sana, tersimpan peta kerajaan, daftar benteng, jalur perdagangan, dan… catatan rahasia kuno tentang pemberontakan.
Mei Lin, yang kini lebih takut daripada sebelumnya, berbisik saat Han Yue membuka gulungan tua berdebu.
“Putri… untuk apa semua ini? Apa yang kau cari?”
Han Yue menatap selembar peta usang. “Aku mencari benteng yang tidak dijaga… yang bisa membuat seseorang menghilang tanpa jejak. Dan aku tahu, ayahku tidak sekadar ingin membuang Li Wen. Ia ingin dia tidak kembali.”
Di perbatasan, perwira berjubah hitam itu mulai menunjukkan wajah aslinya.
Namanya adalah Jin Qiao, dulunya penasihat istana bidang urusan utara. Ia diasingkan karena menolak menyetujui perjanjian dagang yang akan menjual tanah suku gunung kepada pejabat istana.
“Kau pikir kau satu-satunya korban cinta?” katanya suatu malam pada Li Wen. “Cintaku adalah pada keadilan, dan keadilan di istana sudah mati.”
Li Wen menatap langit. “Lalu apa yang tersisa untuk kita?”
Jin Qiao tersenyum. “Rencana.”
Dan malam itu, ia mengungkapkan sesuatu yang membuat Li Wen terdiam:
“Aku tahu siapa Gubernur Han Zhen sebenarnya. Ia bukan hanya ayah dari perempuan yang kaucintai. Ia adalah salah satu dari empat pejabat bayangan yang mengatur segalanya di balik layar Kaisar.”
Li Wen mengerutkan alis. “Apa maksudmu?”
Jin Qiao membuka gulungan tua yang disembunyikan di balik jubahnya. “Ia bukan hanya ingin memisahkanmu dari Han Yue. Ia takut padamu. Karena puisimu menyentuh sesuatu yang tak boleh dibuka—pemikiran bebas, perasaan tulus, dan suara rakyat.”
Sementara itu, Han Yue diam-diam menulis surat dengan tinta merah darah yang dibuat dari bunga merah istana.
Ia menyamarkan tulisannya dengan gaya pujangga istana, menyisipkan makna tersembunyi di setiap kalimat.
Surat itu diselundupkan lewat karung teh kering yang dikirim ke perbatasan setiap awal bulan. Ia tahu itu berisiko. Tapi ia juga tahu: jika Li Wen membaca surat itu, dan memahami maknanya, mereka akan tahu bahwa mereka belum kalah.
Isi surat itu:
“Teh dari taman selatan tidak akan mekar bila tak disentuh salju utara.
Jika salju jatuh tiga kali dan bunga tak mekar,
Maka sungai akan berhenti bernyanyi.
Tapi jika satu bintang terlihat di pagi buta,
Maka kumpulkan daun-daun yang gugur—
Karena musim akan berubah.”
Li Wen menerima kantong teh itu tiga minggu kemudian. Saat membukanya, ia langsung mencium wangi yang familiar—dan menemukan selembar daun kering berwarna ungu, warna yang hanya tumbuh di taman istana Jiangnan.
Ia tahu. Han Yue belum menyerah.
Dan ia tidak sendiri.
Malam itu, Li Wen menulis kembali untuk pertama kalinya sejak diasingkan. Tapi bukan puisi.
Ia menulis rencana.
Rencana untuk kembali.
Tapi bukan sebagai pecinta yang memohon.
Melainkan sebagai seseorang yang membawa kebenaran.
Dan jauh di Paviliun Timur, Han Yue berdiri di bawah pohon plum yang kini tak lagi berbunga.
Mei Lin mendekat. “Kenapa kau mengumpulkan daun-daun itu, Putri?”
Han Yue menjawab, sambil menatap langit gelap:
“Karena saat musim berganti, hanya mereka yang mengumpulkan kenangan yang tahu kapan harus melangkah.”
Dan di balik kabut, di balik benteng dan istana, takdir sedang berjalan perlahan.
Menyusun kejutan. Menyusun perlawanan.
Dan cinta—yang tampak kalah—sedang bersiap untuk menjadi legenda.
Bab 4: Pertemuan di Balik Tirai Sutra
Langit Jiangnan tertutup awan kelabu. Hujan tak turun, namun udara terasa seperti hendak mengucapkan sesuatu, seolah dunia tahu bahwa sebuah pertemuan yang seharusnya tak pernah terjadi… sedang diatur oleh takdir yang gemetar.
Di aula keempat Istana Dalam, di balik dinding giok yang memantulkan cahaya lentera, berdiri sebuah tirai panjang dari sutra tipis berwarna keperakan. Biasanya, tirai itu hanya dibuka saat Gubernur Han menerima tamu dari pusat kekuasaan.
Namun malam itu, hanya ada satu tamu. Seorang wanita berjubah hitam, wajahnya tertutup selendang kain berlapis bordir lambang bunga teratai biru—simbol dari Permaisuri Selatan, penasihat kekaisaran yang bekerja dalam senyap.
Han Yue berlutut di hadapan tirai itu, tubuhnya tegak, suara hatinya gemetar.
“Tuanku memanggilku?” tanyanya pelan.
Dari balik tirai, suara perempuan yang dalam namun lembut menjawab, “Bukan aku. Kau yang memanggilku—lewat surat-suratmu yang tak pernah benar-benar tersembunyi.”
Han Yue menunduk. “Aku hanya ingin tahu… apakah masih ada tempat bagi suara yang jujur di istana ini?”
Perempuan di balik tirai tertawa kecil.
“Kau adalah bunga yang tumbuh di taman penuh batu. Putri Han Yue, kau menantang istana dengan puisi. Apakah kau tahu apa akibatnya bila semua orang sepertimu?”
Han Yue mengangkat wajahnya. “Mungkin istana akan belajar mendengar.”
Diam sesaat. Lalu tirai bergoyang, dan sebuah tangan muncul dari baliknya—tangan yang halus namun kokoh, dengan gelang batu giok berukir aksara kuno.
“Aku akan membantumu. Bukan karena kau anak Gubernur Han, tapi karena kau melihat sesuatu yang bahkan bangsawan buta sekalipun tak mampu: bahwa puisi adalah cara rakyat bicara.”
Han Yue menarik napas dalam-dalam.
“Aku ingin tahu satu hal, Tuanku. Di mana sebenarnya Li Wen?”
Sementara itu, di benteng salju utara, Li Wen bersama Jin Qiao diam-diam membentuk lingkaran kepercayaan. Tahanan politik, eks-prajurit, dan pelajar buangan menjadi pengikut senyap mereka—bukan untuk memberontak, tapi untuk membangun suara dari pinggiran.
“Kita tak bisa melawan dengan senjata,” kata Jin Qiao, “tapi kita bisa melawan dengan kebenaran. Dan siapa pun yang mengendalikan kata, mengendalikan masa depan.”
Li Wen mengangguk. Ia menulis sepucuk surat untuk Kaisar—bukan sebagai permintaan ampun, tapi sebagai pengingat bahwa rakyat tak diam.
Namun saat hendak mengirimkannya, seorang pemuda pengantar teh datang tergopoh-gopoh.
“Tuan Li! Ada surat untuk Anda… dari Jiangnan!”
Li Wen membuka gulungan itu.
Tulisan tangan halus. Wewangian melati. Dan bait yang membuatnya terdiam lama:
“Aku bertemu tirai yang bisa bicara.
Dan dari balik sutra itu, kudengar suaramu—meski kau jauh.
Jangan kembali sebagai penyair.
Kembalilah sebagai jiwa yang mengubah arah angin.”
Tangannya bergetar.
Jin Qiao membaca ekspresi wajahnya. “Apa itu?”
Li Wen menggenggam surat itu erat-erat.
“Pertemuan telah terjadi. Dan angin mulai berpihak.”
Di istana, Gubernur Han merasa gelisah. Ia berjalan mondar-mandir di aula pribadinya. Tangannya menggenggam segel emas, tapi wajahnya tak setegas biasanya.
Ia baru saja menerima laporan bahwa Permaisuri Selatan diam-diam menemui anaknya.
“Yue’er… apa yang kau rencanakan?” gumamnya. “Kau pikir aku tidak tahu? Bahkan bunga pun punya duri.”
Ia memanggil seorang pelayan khusus, Zhao Ning, mata-matanya sejak dulu.
“Awasi setiap langkah putriku. Termasuk siapa yang ia temui… dan apa yang ia baca.”
Zhao Ning menunduk dalam-dalam. “Saya akan ikuti perintah, Tuan.”
Namun begitu keluar dari ruangan, wajah Zhao Ning berubah.
Ia membuka jubahnya, dan di baliknya… tersimpan kipas bambu dengan ukiran puisi di sisi dalamnya.
Puisi milik Li Wen.
Malam itu, Han Yue kembali ke perpustakaan. Di sana, di balik rak keempat dari ujung utara, ada secarik kertas diselipkan.
Bunyinya:
“Tirai boleh menyembunyikan wajah,
Tapi tak bisa menyembunyikan cahaya.
Aku masih di utara,
Tapi kini langkahku mengarah pulang.”
Han Yue menutup mata, dan menggenggam gulungan itu di dada.
Dan untuk pertama kalinya sejak ia dikurung, ia tersenyum.
Bukan karena harapan.
Tapi karena keyakinan.
Di luar tembok istana, di pasar malam yang gelap dan sepi, dua bayangan bertemu di bawah lentera merah yang bergoyang perlahan.
“Apa kau yakin ini jalan terbaik?” tanya suara perempuan—lembut tapi tajam.
“Jika tidak, ia akan mati di ujung dunia. Dan anak kita akan jadi alat kekuasaan,” jawab suara pria, lebih tua, penuh luka.
Mereka saling menatap—Zhao Ning dan Jin Qiao.
Dua orang yang menyamar dalam sistem yang sama.
Dan malam itu mereka sepakat:
Puisi bukan sekadar kata. Ia adalah api yang menyala di bawah bayang-bayang sutra. Dan api itu… mulai membakar.
Bab 5: Angin Membawa Nama
Di atas dataran salju perbatasan, angin melolong seperti serigala lapar. Tapi ada satu suara yang lebih tajam dari angin: suara pena yang menggores gulungan kertas di ruang bawah tanah benteng tua itu.
Li Wen menulis. Tapi bukan puisi.
Ia menulis sebagai orang lain.
“Jika mereka tak akan pernah mendengarkan Li Wen,” kata Jin Qiao sambil berdiri di balik bahunya, “maka kau akan pulang… sebagai suara dari dalam kekaisaran.”
Tiga hari kemudian, di ibu kota, para pejabat istana dikejutkan oleh sebuah gulungan dokumen yang tak terdaftar dalam surat resmi kekaisaran. Dikirim melalui jalur perdagangan teh, disegel dengan stempel lama milik penasihat kekaisaran yang telah lama dinyatakan wafat.
Gulungan itu berisi laporan penuh, mendetail, dan ditulis dengan bahasa yang hanya dikuasai oleh para sarjana tingkat tinggi. Isinya? Kebusukan di wilayah Jiangnan, khususnya tindakan gelap Gubernur Han Zhen yang selama ini tersembunyi rapat.
Nama pengirim?
Wei Zhi — nama penasihat istana yang lenyap lima tahun lalu dalam “kecelakaan perahu”.
Di aula kekaisaran, Kaisar muda yang baru naik takhta—Zhao Ming, pemuda cerdas yang belum sepenuhnya punya kuasa—membaca surat itu dengan alis menegang.
“Siapa yang berani memakai nama Wei Zhi?” gumamnya. Tapi wajahnya tidak marah. Justru ada sebersit senyum.
“Dan mengapa laporannya begitu rinci… seperti mata yang pernah tinggal di Jiangnan sendiri.”
Di tempat lain dalam istana, Han Yue duduk di depan cermin perunggu, wajahnya ditaburi bedak ringan, tapi tatapannya lebih tajam dari sebelumnya.
Seorang dayang masuk diam-diam. “Putri, surat dari Permaisuri Selatan.”
Han Yue membuka gulungan kecil yang dibungkus daun pinus.
Isinya hanya satu kalimat:
“Angin dari utara membawa nama yang lama terkubur.
Bersiaplah, bunga selatan. Musim telah berganti.”
Han Yue menatap keluar jendela.
“Li Wen… kau menyusup dalam bayangan, ya?” bisiknya.
Lalu ia berdiri.
“Kalau begitu aku pun akan menabur kabut dari dalam istana ini.”
Hari itu, Han Yue meminta untuk mengunjungi kantor administrasi pengaduan rakyat—tempat yang selama ini dianggap formalitas belaka. Di sana, ia bertemu puluhan rakyat yang berharap, menunggu, dan kecewa.
“Kenapa tidak ada yang mencatat suara mereka?” tanya Han Yue tajam pada pejabat tua pengurus tempat itu.
Orang itu tersentak. “Mereka tidak punya hak bersuara, Putri.”
Han Yue menatapnya dalam.
“Maka mulai hari ini, aku akan jadi suaranya.”
Di utara, Jin Qiao menatap langit malam.
“Berita itu akan sampai ke telinga Kaisar dalam tujuh hari,” katanya. “Setelah itu, segalanya akan berubah. Entah kau akan dipanggil pulang, atau diburu karena menjadi musuh negara.”
Li Wen menatap gulungan yang sedang ia sembunyikan dalam kotak teh.
“Aku tak takut mati, Qiao. Aku hanya takut… jika ia mati menungguku.”
Jin Qiao tertawa lirih. “Dan kau pikir ia akan diam di istana, menunggu seperti bunga yang layu? Kau tak kenal dia sepenuhnya.”
Li Wen tersenyum.
“Benar. Karena tiap kali kupikir aku mengenalnya, puisiku berubah bentuk.”
Di malam yang sama, Han Yue kembali ke kamarnya, dan menemukan sesuatu tergantung di jendela: sehelai daun plum dengan tulisan kecil, dibungkus benang merah.
Ia memeriksanya cepat.
“Aku pulang, bukan sebagai bayangan,
Tapi sebagai angin yang menyamar.
Jika aku tak masuk dari pintu istana,
Maka aku akan masuk lewat mimpi-mimpimu.”
Dan dari kejauhan, di pelabuhan utara ibu kota, rombongan pengawal dagang dari perbatasan turun dari kapal. Salah satu dari mereka berpenutup kepala, membawa kotak teh besar di punggung.
Tak ada yang curiga.
Tapi dalam kotak itu… tersimpan nama baru, rencana besar, dan seorang pria yang hatinya dibakar oleh cinta dan keadilan.
Li Wen telah tiba.
Tapi dunia belum tahu.
Belum.
Bab 6: Gugurnya Bintang di Timur
Langit pagi di ibu kota tampak merah pudar—bukan karena fajar, melainkan karena abu dari kuil tua yang terbakar diam-diam di sisi timur kota. Tak banyak yang tahu bahwa tempat itu dulunya adalah markas kecil bagi para pelajar buangan yang ingin menyuarakan keadilan.
Termasuk, Li Wen.
Ia tiba di ibu kota dengan nama palsu: Wei Zhi, berpakaian seperti penjaga dagang, tapi membawa aura seorang lelaki yang tahu ke mana ia akan pergi, meski seluruh dunia ingin menghentikannya.
Bersama Jin Qiao, yang menyamar sebagai pelayan teh tua, mereka tinggal di kedai kecil di dekat gerbang istana luar. Tak jauh dari sana, aula laporan rakyat mulai dipenuhi suara-suara yang dulu dibungkam.
“Putri Han Yue telah membuka ruang dengar rakyat setiap hari kelima,” kata seorang pedagang tua pada kawannya. “Pertanda dunia akan berubah, barangkali.”
Li Wen mendengar kabar itu dari jendela kamarnya. Ia hanya tersenyum tipis.
“Tunggu aku,” gumamnya. “Kita akan buka pintu ini… bersama-sama.”
Namun mereka tidak tahu, ada satu orang yang sudah mencium keanehan sejak surat dengan nama Wei Zhi sampai ke tangan Kaisar.
Zhao Ning, pelayan terpercaya Gubernur Han sekaligus mata-mata istana.
Malam itu, di ruang rahasia di bawah lantai kayu aula gubernur, ia bertemu Gubernur Han Zhen sendiri.
“Aku tahu siapa yang menulis surat itu, Tuan,” bisiknya. “Bukan Wei Zhi. Tapi pemuda yang kau buang ke perbatasan—Li Wen.”
Gubernur Han membeku sejenak, lalu tertawa kecil, getir.
“Jadi ia kembali. Anak tukang besi itu… tak tahu tempatnya.”
Zhao Ning melanjutkan, “Dan dia tidak sendiri. Jin Qiao juga bersamanya. Mereka sedang membangun sesuatu—perlahan, tapi berakar.”
Han Zhen berdiri, lalu menghantam meja dengan tongkat peraknya.
“Kalau begitu, bintang itu harus dipadamkan. Sebelum sinarnya menyentuh singgasana.”
Hari kelima di aula pengaduan rakyat.
Han Yue duduk di depan warga desa, mencatat satu per satu keluhan dengan tangan sendiri. Di sudut aula, seseorang menyamar sebagai pengamat biasa—seorang lelaki tua dengan mata tajam.
Mei Lin, yang setia mendampingi Han Yue, berbisik.
“Putri, orang itu… aku pernah melihatnya di rumah ayahmu. Ia bukan rakyat biasa.”
Han Yue tak menjawab. Ia hanya menuliskan pesan kecil di balik papan catatannya:
“Jika mata mereka mengawasi kita,
Maka biarlah kata-kata kita menusuk mereka.”
Dan tepat saat itu, pengawal istana masuk dengan tergesa.
“Putri Han Yue,” katanya. “Ada surat dari Kaisar. Anda diminta hadir malam ini di Balairung Giok.”
Mei Lin gemetar.
Han Yue hanya tersenyum samar.
“Sudah waktunya.”
Malam itu, Balairung Giok sunyi. Hanya lentera biru yang menyala, menandakan bahwa ruangan sedang digunakan untuk pertemuan rahasia.
Kaisar Zhao Ming duduk di singgasananya, diapit dua pejabat tinggi. Di depannya berdiri Han Yue, anggun dan tak gentar.
Kaisar mengangkat surat dari meja batu giok.
“Apakah kau mengenal nama Li Wen?”
Han Yue menatap langsung ke arah mata Kaisar. “Aku mengenalnya, Paduka. Aku mencintainya.”
Para pejabat terkejut. Kaisar hanya terdiam.
“Dan kau tahu,” lanjutnya, “bahwa ia kini berada di ibu kota… dengan nama palsu?”
Han Yue menarik napas panjang.
“Kalau begitu, biarkan aku mengatakan yang sebenarnya, bukan dari rumor, bukan dari pengintai.”
Lalu ia mulai berbicara. Tentang cinta yang tumbuh di antara perbedaan, tentang pengasingan, tentang kekuasaan yang menindas, dan tentang bagaimana suara bisa dibungkam… tapi tidak hati.
Balairung sunyi.
Hingga Kaisar berkata:
“Besok, semua pejabat tingkat satu dan dua akan dikumpulkan. Aku ingin mendengar kebenaran… dari dua sisi. Bukan dari bayangan.”
Namun malam itu juga, satu pengkhianatan terjadi.
Zhao Ning—yang ternyata bermain dua sisi selama ini—mengirim pesan rahasia ke markas Gubernur Han.
“Bintang akan bicara esok. Tapi langit bisa ditutup sebelum itu terjadi.”
Dan sebelum fajar menyingsing, kedai teh tempat Li Wen tinggal dibakar.
Jin Qiao terluka parah. Satu pengikut mereka terbunuh. Dan Li Wen…
Hilang.
Keesokan harinya, di Balairung Terbuka, para pejabat berkumpul.
Han Yue menunggu. Kaisar menunggu.
Tapi Li Wen tak muncul.
Beberapa pejabat bersorak kecil, mengira bintang telah gugur.
Han Yue menggenggam papan catatannya erat-erat. Matanya tak berkedip.
Dan tepat ketika matahari melewati ubun-ubun…
Seorang pemuda muncul dari arah utara, pakaian compang-camping, membawa tongkat, luka di wajah… tapi mata yang menyala.
Li Wen.
Ia berjalan di antara dua barisan pejabat, dan saat berdiri di depan Kaisar, ia tidak bersujud. Ia menatap.
“Paduka, aku bukan bangsawan. Aku bukan siapa-siapa. Tapi aku adalah suara yang kalian buang ke salju, dan sekarang kembali membawa musim.”
Dan semua orang diam.
Kaisar tersenyum.
“Kalau begitu, biarkan suara musim itu bicara.”
Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah istana, dua orang dari dunia yang tak seharusnya bersatu… berbicara dalam satu suara.
Namun apa yang mereka tak tahu: pengkhianat sejati belum mengungkap wajahnya.
Dan sebelum matahari tenggelam di hari itu—satu nama besar akan tumbang.
Bukan Li Wen.
Bukan Han Yue.
Tapi seseorang yang selama ini berdiri di balik tirai… dan memegang tali nasib semua orang.
Bab 7: Gerbang yang Tertutup
Gerbang luar istana tertutup rapat hari itu, bahkan angin pun seolah tertahan. Tak ada musik, tak ada burung, hanya langkah-langkah berat dari para pengawal yang menyebar ke seluruh penjuru.
Li Wen dikawal menuju kamar pengasingan dalam—bukan sebagai tahanan, tapi juga bukan sebagai tamu. Statusnya tergantung pada satu kata dari mulut Kaisar: layak atau lenyap.
Di sisi lain istana, Han Yue duduk sendiri di paviliun pribadinya, memandangi kolam yang membeku meski belum musim dingin.
“Li Wen sudah bicara. Tapi kenapa hatiku merasa gemetar?” bisiknya.
Mei Lin berdiri di belakangnya, wajahnya pucat.
“Ada kabar buruk, Putri.”
Han Yue menoleh.
“Permaisuri Selatan… dibungkam pagi tadi. Diganti mendadak. Katanya, dia sakit. Tapi aku dengar bisikan dari pelayan istana: ia dituduh menyembunyikan dokumen rahasia.”
Han Yue berdiri perlahan.
“Dokumen… atau kebenaran?”
Sementara itu, Gubernur Han Zhen duduk di ruang dalam kediamannya, menatap cermin perunggu tua.
Zhao Ning berdiri di belakangnya, tenang namun membawa aura bahaya.
“Putrimu telah melampaui batas,” kata Gubernur Han.
“Dan Li Wen telah melampaui langit,” jawab Zhao Ning. “Mereka harus dipisahkan dengan akhir yang tak bisa ditulis ulang.”
Han Zhen berdiri.
“Siapkan racun. Dan satu kereta tahanan.”
Zhao Ning mengangguk.
“Tapi siapa yang harus dijatuhkan lebih dulu?”
Han Zhen menatap giok lambang keluarganya. “Yang paling lemah di mata rakyat: cinta.”
Malam itu, Li Wen duduk di dalam kamar berpenerangan remang. Satu pengawal tua diam-diam menyelipkan kertas ke bawah pintu—gulungan kecil dari Han Yue.
“Bila mereka menutup gerbang padamu,
Maka aku akan buka jendela dari dalam.
Tapi jika aku tak sempat,
Ingatlah: kita tidak dilahirkan untuk memohon.”
Li Wen menggenggam surat itu erat.
Di luar kamar, suara sepatu logam berdentang—rombongan pengawal datang.
Tapi yang mengetuk pintu… bukan pengawal.
Melainkan seorang lelaki tua berjubah emas—Kaisar Zhao Ming sendiri.
“Bolehkah aku duduk bersamamu, penyair dari salju?” tanyanya.
Li Wen bangkit dan membungkuk. “Paduka…”
Kaisar mengangkat tangannya.
“Aku bukan Paduka malam ini. Aku hanya seseorang yang dibesarkan di dalam dinding, dan ingin tahu bagaimana rasanya hidup di luar.”
Percakapan itu berlangsung lama. Mereka bicara tentang puisi, tentang ayah, tentang rasa takut.
Dan pada akhirnya, Kaisar bertanya:
“Jika kau bisa mengubah satu hal di dunia ini, apa yang akan kau ubah?”
Li Wen menjawab lirih, tapi jelas.
“Aku ingin dunia berhenti menghukum orang karena mencintai yang seharusnya tidak mereka miliki.”
Kaisar terdiam.
“Dan kau tahu,” katanya akhirnya, “aku ingin dunia berhenti menakutiku hanya karena aku memiliki takhta.”
Lalu ia berdiri.
“Kau akan diberi kesempatan bicara di depan semua pejabat. Tapi sekali kau menyebut nama Gubernur Han sebagai pengkhianat, maka tak akan ada jalan kembali.”
Li Wen menunduk.
“Aku tidak ingin kembali. Aku ingin maju.”
Namun malam itu juga, sebelum pagi menjelang, Mei Lin ditemukan tak sadarkan diri di koridor istana.
Tangannya menggenggam bunga plum berdarah.
Han Yue berlari dari paviliunnya. “Mei Lin!”
Dayang-dayang panik. Tabib dipanggil. Tapi Mei Lin hanya sempat membuka mata dan berbisik:
“Mereka tahu… tempatmu menyimpan dokumen… berhati-hatilah…”
Lalu ia jatuh koma.
Han Yue gemetar. Ia tahu.
Ayahnya sedang bergerak.
Sementara itu, Gubernur Han Zhen berdiri di ruang rahasianya. Di depannya: Permaisuri Selatan, yang kini duduk di lantai, tangannya terikat, wajahnya tak kehilangan wibawa.
“Kau pikir aku tak tahu?” ucap Gubernur Han. “Kau mendukung Han Yue. Kau menyembunyikan pesan-pesan Li Wen. Kau pikir kau bisa menumbangkanku dari balik tirai?”
Permaisuri tersenyum kecil.
“Aku tidak ingin menumbangkanmu, Han Zhen. Aku hanya ingin istana ini berhenti menjadi makam bagi hati yang hidup.”
Gubernur Han mengangkat tangannya.
“Terlambat.”
Dan saat itu juga, dua penjaga menarik keluar pedangnya.
Satu bintang jatuh dari langit.
Diam-diam.
Dan tak seorang pun di istana diberi tahu bahwa Permaisuri Selatan telah dibunuh secara rahasia.
Keesokan paginya, aula istana dipenuhi pejabat. Gerbang utama tetap tertutup—menandakan bahwa hari itu, kebenaran akan dipaksa lewat celah, bukan pintu.
Han Yue masuk dengan jubah putih. Li Wen menyusul dengan pakaian rakyat.
Kaisar naik ke singgasananya.
“Dua orang dari dua dunia,” ucapnya, “hari ini akan bicara. Dan hari ini, aku akan mendengar—sebagai manusia, bukan penguasa.”
Gubernur Han berdiri, wajahnya tenang.
Zhao Ning di belakangnya, diam-diam menyelipkan sesuatu ke dalam lengan bajunya: pisau kecil dari perak hitam.
Tepat saat Li Wen hendak maju bicara, suara seruan dari gerbang luar terdengar:
“Mereka membunuh Permaisuri Selatan! Darahnya belum kering!”
Suara itu mengguncang aula. Pejabat mulai panik.
Han Yue berdiri. “Ayahku tahu. Ia yang mengatur semuanya!”
Gubernur Han menatap putrinya, dan untuk pertama kalinya, matanya tak tenang.
“Aku ayahmu,” katanya.
“Tapi bukan pelindungku,” balas Han Yue. “Kau memilih kekuasaan atas kebenaran. Maka hari ini… aku memilih untuk tidak lagi diam.”
Zhao Ning bergerak cepat. Pisau peraknya meluncur ke arah Li Wen.
Namun…
Mei Lin—yang muncul entah dari mana—mendorong Li Wen dan menahan bilah itu dengan tubuhnya.
Tubuhnya jatuh. Darah mengalir.
Han Yue menjerit. “MEI LIN!”
Li Wen menahan tubuh sahabat setia itu. “Kenapa…?”
Mei Lin tersenyum lemah.
“Karena aku tidak pernah ingin… kisahmu berakhir seperti kisahku dulu…”
Lalu ia diam.
Dan gerbang… tetap tertutup.
Tapi hari itu, satu jiwa membuka jalan bagi kebenaran.
Dengan darah.
Bab 8: Musim Beku di Utara
Sebelum Li Wen kembali ke ibu kota…
Sebelum namanya menjadi bisikan di aula istana…
Sebelum darah menodai lantai Balairung…
Ada salju.
Dan seorang lelaki bernama Jin Qiao, yang berjalan sendirian di tengah badai, membawa sesuatu yang lebih dingin dari angin: pengkhianatan.
Lima tahun sebelum semua ini terjadi, Jin Qiao adalah Pengawal Rahasia Kekaisaran, tangan kanan Permaisuri Selatan. Ia ditugaskan ke utara untuk menyelidiki penyelundupan opium dan senjata yang melibatkan para pejabat tinggi.
Tapi yang ia temukan di sana jauh lebih gelap.
Ia menemukan dokumen rahasia yang menyebutkan aliran emas dari kekaisaran ke pasukan bayangan yang dipimpin langsung oleh Gubernur Han Zhen.
“Perang sedang disiapkan,” kata Permaisuri padanya sebelum keberangkatan itu. “Tapi bukan untuk negeri asing. Mereka menyiapkan perang untuk menggulingkan takhta.”
Jin Qiao menerima perintah terakhir: “Jika aku tak selamat, lindungi suara rakyat. Temukan penggantiku. Dan pastikan ia bukan bagian dari istana.”
Tapi saat ia kembali membawa bukti ke ibu kota… segalanya telah berubah.
Permaisuri dikabarkan “sakit”. Jin Qiao dicoret dari catatan kekaisaran. Dan ia… dijebak sebagai pengkhianat.
Ia lari. Ke utara. Ke perbatasan. Dan di situlah ia bertemu Li Wen, yang baru tiba sebagai buangan cinta.
“Kau tahu,” ucap Jin Qiao di sebuah malam yang membeku, duduk di depan api bersama Li Wen, “aku dulu percaya pada kekuasaan. Lalu aku percaya pada keadilan. Tapi setelah semua itu hancur… aku hanya percaya pada suara yang tak bisa dibungkam.”
Li Wen menatapnya.
“Itu sebabnya kau memilihku, bukan?”
Jin Qiao mengangguk. “Bukan karena puisimu indah. Tapi karena puisimu membuat orang diam mendengarkan. Dan orang yang bisa membuat dunia diam, bisa mengubah arah sejarah.”
Li Wen terdiam lama. Lalu bertanya, “Apa yang akan kau lakukan… setelah semua ini berakhir?”
Jin Qiao menjawab lirih, “Aku tidak punya ‘setelah’, Wen. Aku hanya punya satu musim. Musim beku ini. Dan aku akan membekukan kebohongan mereka di dalamnya.”
Kembali ke masa kini.
Li Wen duduk di sisi tubuh Mei Lin yang telah dibaringkan di paviliun utara. Han Yue masih menggenggam tangan sahabatnya, matanya kosong.
“Dia menyelamatkanku,” ucap Li Wen perlahan.
Han Yue mengangguk.
“Karena dia tahu… takdir kita terlalu mahal untuk dibeli dengan kelambanan.”
Di luar istana, Jin Qiao berjalan sendirian menuju gua tersembunyi di bukit merah, tempat ia menyimpan dokumen asli dari lima tahun lalu. Ia membuka peti tua yang terkubur dalam es.
Di dalamnya: bukti konspirasi Gubernur Han, daftar nama pejabat bayangan, dan satu surat tak tertutup—tertulis dengan tangan Permaisuri Selatan:
“Jika aku hilang sebelum waktuku,
Maka pilihlah dia yang tidak lahir dari istana,
Tapi disucikan oleh cinta yang tak tunduk.”
“Namanya… Li Wen.”
Jin Qiao memandang surat itu lama.
Kemudian… terdengar langkah di belakangnya.
Zhao Ning.
Wajah dingin. Tangan bersarung. Mata tajam.
“Aku tahu kau akan kembali ke tempat ini,” katanya.
“Dan aku tahu kau tak akan berani membaca surat itu,” balas Jin Qiao.
Mereka berdiri saling menatap—dua bayangan dari istana, dua arah dari masa lalu yang berlawanan.
Zhao Ning menarik belatinya.
“Beri padaku surat itu, Qiao. Dan aku akan biarkan kau mati sebagai pahlawan sunyi.”
Jin Qiao tersenyum kecil. “Aku sudah mati lima tahun lalu.”
Lalu… suara desing logam.
Pertarungan di antara es dan sejarah dimulai.
Tiga hari kemudian, seorang pelayan membawa paket tanpa nama ke kediaman Kaisar.
Di dalamnya: gulungan tua. Surat Permaisuri Selatan. Dan dokumen konspirasi lengkap.
Disertai satu pesan pendek:
“Musim beku telah berakhir.
Salju pun harus tahu kapan mencair.”
Tertanda:
“Jin Qiao – Penjaga Suara yang Tersisa.”
Di ruang istana, Kaisar Zhao Ming membaca gulungan itu lama.
Lalu berkata pada pengawalnya, “Perintahkan penangkapan Gubernur Han Zhen. Dan kirim pengawal untuk melindungi Putri Han Yue.”
Dan dari balkon istana, Kaisar melihat ke utara.
Di sana, salju mulai mencair. Tapi bukan hanya alam yang berubah.
Darah telah ditumpahkan.
Nama telah disucikan.
Dan kini, gerbang tak lagi sekadar pintu.
Gerbang adalah pilihan.
Dan pilihan telah dibuat.
Bab 9: Surat-Surat yang Tak Pernah Terkirim
Pagi itu, langit ibu kota muram meski matahari menyala di atas langit. Han Yue duduk di perpustakaan pribadinya, membuka lemari tua peninggalan ibunya yang selama ini tak pernah disentuh.
Di balik rak keempat dari bawah, di dalam laci tersembunyi yang nyaris rapuh dimakan waktu, ia menemukan sebuah kotak kayu cendana.
Berselimut debu. Berukirkan satu karakter: “Wen”.
Bukan nama ayahnya. Bukan namanya. Tapi nama yang berarti “kata”, “tulisan”, dan “jiwa”.
Tangannya gemetar saat membukanya.
Di dalamnya: tujuh surat—semuanya ditulis dengan tinta halus, namun kertasnya mulai menguning. Diikat dengan pita sutra merah pucat, yang warnanya nyaris lenyap.
Di surat pertama, tertulis:
“Untuk putriku, Han Yue, yang suatu hari akan membaca ini setelah aku pergi…”
Han Yue menelan napas.
Ini… tulisan ibunya.
Ibunda yang wafat ketika ia masih kecil. Ibunda yang katanya “sakit dan lemah sejak muda”.
Tapi semakin dibaca, semakin ia tahu… ibunya tidak sakit. Ia dibungkam.
“Yue’er…
Kau tidak dilahirkan untuk hanya berjalan dalam jejak ayahmu.
Kau dilahirkan dari dua dunia—dunia tinta dan dunia darah.
Aku… bukan hanya istri Han Zhen.
Aku dulu adalah murid dari seorang pujangga pengasingan,
Lelaki yang menulis dengan nyawa dan mencintai dengan sunyi.”
Han Yue menutup matanya. Air mata jatuh, perlahan.
“Namamu bukan sembarang nama.
Kau dinamai dari bait terakhir dalam puisi yang tak pernah selesai:
Han (dari ayahmu) dan Yue (bulan dalam puisinya).
Jika kau pernah merasa tak sepenuhnya milik istana…
Itu karena jiwamu lahir dari suara yang dilarang.”
Tangannya mulai gemetar hebat.
Ia membuka surat kedua, lalu ketiga…
Surat keempat adalah surat terakhir—dan ditulis dengan tinta paling gelap, seolah ditulis di bawah cahaya lilin yang hampir padam.
“Jika kau membaca ini dan dunia masih belum berubah,
Maka carilah dia yang menulis tanpa nama.
Suatu hari, dia akan datang.
Tidak hanya untuk mencintaimu…
Tapi untuk melanjutkan puisi yang belum sempat kutulis hingga akhir.”
Han Yue menggenggam kertas itu seperti menggenggam detak jantungnya sendiri.
“Li Wen…”
Di sisi lain istana, Li Wen sedang membuka kotak yang diberikan oleh Jin Qiao sebelum ia pergi untuk terakhir kalinya. Di dalamnya: salinan surat Permaisuri Selatan dan satu catatan kecil:
“Jika kau merasa sendiri,
Baca surat yang tak pernah sempat sampai.
Karena kadang, yang paling kuat bukanlah yang bicara keras…
Tapi yang menulis dalam diam.”
Li Wen menemukan tiga surat dalam gulungan itu. Salah satunya… tak ditujukan pada Kaisar, atau Permaisuri.
Melainkan padanya.
Ditulis lima tahun lalu.
“Li Wen,
Jika aku tidak berhasil menyampaikan surat ini melalui pelayan istana,
Dan jika kau pernah merasa dunia terlalu gelap untuk berjalan,
Maka ingatlah: bahkan kata-kata pun memiliki musim.
Dan musimmu belum selesai.”
“Aku percaya padamu,
Bukan karena puisimu indah…
Tapi karena kau berani menulis untuk dunia yang tuli.”
Air mata Li Wen jatuh untuk pertama kalinya sejak ia kembali ke ibu kota.
Ia menggenggam surat itu dan memeluknya di dada.
“Kita semua adalah surat yang tertunda.
Dan waktumu telah tiba.”
Sore itu, Han Yue menatap langit dari balkon.
Mei Lin yang sudah bisa berdiri kembali, meski lemah, mendekatinya pelan.
“Putri… kau terlihat seperti seseorang yang baru saja menemukan kunci dunia.”
Han Yue menjawab lirih.
“Tidak, Mei Lin… aku baru tahu bahwa aku adalah bagian dari pintu yang dikunci.”
Malam itu, Li Wen dan Han Yue bertemu di taman bambu, tempat yang dijaga diam-diam oleh para pengikut Jin Qiao.
Mereka duduk bersisian di bawah langit yang mulai memudar dari jingga ke nila.
Li Wen berkata pelan, “Aku menemukan surat… dari orang yang pernah percaya padaku bahkan sebelum aku percaya pada diriku sendiri.”
Han Yue mengangguk. “Dan aku menemukan nama… yang bukan hanya milik ayahku.”
Mereka saling berpandangan.
Tak perlu pelukan. Tak perlu ciuman. Hanya tatapan dua jiwa yang akhirnya tahu:
Mereka telah ditulis oleh pena yang sama, di halaman yang berbeda, dan akhirnya… menyatu.
“Jika surat tak pernah terkirim,
Maka biarlah kita yang jadi jawabannya.”
Dan angin malam pun berbisik, membawa serpihan-serpihan surat yang tertunda…
Kini tak tertunda lagi.
Bab 10: Perpustakaan Kaisar dan Perempuan yang Menunggu
Perpustakaan Kaisar terletak di sisi terdalam istana, dikelilingi tembok setinggi empat meter dan dijaga oleh pasukan khusus berpakaian putih. Tidak semua bangsawan boleh masuk. Bahkan pejabat tinggi harus membawa izin khusus bertanda cap naga emas.
Namun malam itu, di bawah cahaya bulan pucat dan gerimis yang nyaris tak terdengar, Han Yue berjalan sendiri melewati pintu kayu ukir bergambar awan dan burung fenghuang.
Ia tidak membawa izin.
Yang ia bawa hanyalah nama ibunya, dan sepucuk surat pendek dari Kaisar sendiri:
“Perempuan yang menunggu di antara lembaran buku,
Tidak akan membuka mulutnya… kecuali pada dia yang lahir dari dua dunia.”
Di dalam perpustakaan, aroma kayu tua dan tinta mengambang lembut seperti dupa. Rak-rak menjulang sampai ke langit-langit berhiaskan ukiran naga melingkar. Suasana begitu sunyi, seolah waktu sendiri menahan napas.
Han Yue menapaki lorong demi lorong, hingga ia tiba di ruangan paling dalam: Ruang Hitam.
Di sana, hanya ada satu penjaga: seorang perempuan tua berjubah abu-abu, duduk bersila di depan tumpukan kitab yang tersusun rapi seperti batu nisan.
Rambutnya panjang memutih, namun matanya tajam seperti belati giok.
Ia menoleh perlahan, seolah sudah tahu siapa yang datang.
“Han Yue.”
Suara itu lembut, namun tak bisa dibantah.
Han Yue membungkuk dalam-dalam.
“Anda… mengenal ibuku?”
Perempuan itu mengangguk. “Kami membaca buku yang sama. Tapi nasib kami ditulis di lembar berbeda.”
Han Yue mendekat, menahan debar di dadanya.
“Aku mencari bukti… bahwa ayahku tidak hanya berkhianat pada kekaisaran, tapi pada darahnya sendiri.”
Perempuan itu mengangkat alis.
“Dan jika kau menemukannya, apa yang akan kau lakukan?”
Han Yue menatap lurus ke mata wanita itu.
“Menulis ulang takdirku. Dan membakar sisa-sisa bayangan yang telah lama menutupi cahaya.”
Perempuan itu mengangguk pelan, lalu menunjuk ke satu rak kecil di sudut, tertutup tirai merah.
“Di balik tirai itu, ada gulungan lama. Namanya: Catatan Bayangan Selatan. Hanya satu yang boleh membukanya—orang yang tidak buta oleh nama, dan tidak tuli oleh cinta.”
Han Yue berjalan perlahan, menarik tirai itu dengan tangan gemetar.
Di baliknya: satu gulungan bersampul hitam.
Ia membukanya.
Dan dunia, seperti yang ia tahu, hancur dalam satu tarikan napas.
Isi catatan itu bukan sekadar laporan.
Melainkan pengakuan langsung dari seorang saksi mata—penasehat pribadi Gubernur Han Zhen yang dulu menghilang secara misterius.
“Aku menyaksikan sendiri, pada tahun ke-23 Dinasti Langit Kedua, Gubernur Han memerintahkan penghancuran desa di lembah Baihe karena rakyatnya terlalu banyak membaca puisi terlarang.”
“Seorang guru puisi ditangkap, disiksa, dan akhirnya dibunuh diam-diam karena puisinya dianggap membangkitkan kesadaran rakyat. Namanya… tidak dicatat secara resmi. Tapi aku sempat melihatnya di catatan pribadi: Wen Xuan.”
Han Yue menutup mulutnya.
Wen Xuan.
Guru.
Pujangga.
Ayah biologisnya.
Cinta ibunya.
“Han Zhen mengambil istri lelaki itu sebagai selirnya, dan merancang surat-surat palsu untuk menyatakan ia mati karena sakit. Anaknya—yang dikandung saat itu—didaftarkan sebagai anak resmi Gubernur. Anak itu… bernama Han Yue.”
Tangannya lunglai. Tubuhnya hampir roboh.
Ia bukan hanya bukan darah Han Zhen, tapi anak dari lelaki yang dihancurkan oleh ayah tirinya sendiri.
Dan ia… telah duduk, hidup, dan tumbuh di dalam bayangan itu selama ini.
Perempuan penjaga itu mendekat, lalu berlutut di samping Han Yue yang terduduk di lantai.
“Sekarang kau tahu… mengapa puisi mengalir di darahmu. Mengapa kau tak pernah merasa rumahmu ada di istana ini.”
Han Yue menatap ke lantai giok yang dingin.
“Jika darahku bukan dari Han Zhen… apakah aku masih layak disebut putri?”
Perempuan itu menyentuh pundaknya.
“Kau bukan sekadar putri, Yue. Kau adalah jawab dari puisi yang pernah dibungkam. Kau bukan mewarisi kekuasaan… tapi perlawanan yang tak bisa dipadamkan.”
Sementara itu, Li Wen menerima pesan dari pengawal Kaisar:
“Putri Han Yue ada di Perpustakaan Kaisar.
Dan ia telah membuka pintu yang tak pernah dibuka selama dua dekade.”
Ia segera bergegas, ditemani oleh dua pengawal kepercayaan. Ketika ia tiba, Han Yue sudah berdiri di halaman luar, tubuhnya tenang, tapi mata menyala seperti bara.
“Aku tahu siapa diriku sekarang,” katanya pelan. “Dan aku tahu apa yang harus kulakukan.”
Li Wen menatapnya lama.
“Kau bukan lagi bunga istana.”
Han Yue mengangguk. “Aku… adalah warisan dari puisi yang belum selesai.”
Li Wen menggenggam tangannya.
“Kalau begitu, mari kita selesaikan bersama-sama.”
Dan malam itu, angin di atas istana membawa harum tinta lama yang terbuka kembali.
Dan di tengah perpustakaan yang dipenuhi rahasia, satu perempuan yang telah menunggu selama puluhan tahun menutup matanya perlahan.
Senyumnya tenang.
Karena akhirnya… kebenaran menemukan pembacanya.
Bab 11: Sayembara yang Membelah Langit
Langit kota kekaisaran hari itu berwarna kelabu pucat, seperti lembaran kertas sebelum tinta ditorehkan. Tapi halaman utama istana dipenuhi ribuan orang—bangsawan, pejabat tinggi, pelajar, prajurit, dan rakyat yang diundang khusus.
Kaisar Zhao Ming memerintahkan sayembara terbuka—bukan untuk memilih pujangga terbaik, tapi untuk memilih siapa yang layak membawa suara rakyat ke dalam dinding istana.
“Satu suara,” ujar Kaisar dari singgasananya, “akan mewakili rakyat. Dan satu suara akan mewakili istana. Siapa yang menang… akan menulis arah masa depan.”
Gubernur Han Zhen berdiri dengan pakaian hitam berhias lambang naga emas. Di sampingnya, Zhao Ning—matanya tajam seperti elang lapar.
Di sisi seberang, berdiri Li Wen dengan jubah sederhana dan gulungan di tangannya. Di sampingnya, Han Yue—berjubah putih bersulam tinta, wajahnya teduh namun penuh kekuatan.
Dan pertempuran pun dimulai.
Perwakilan istana berbicara lebih dulu. Mereka berbicara tentang stabilitas, tentang silsilah, tentang menjaga tatanan. Bahasa mereka rapi, lantang, tapi… kosong.
Ketika giliran Li Wen tiba, ia melangkah ke tengah panggung batu giok dan membuka gulungan yang ditulisnya semalam bersama Han Yue.
Ia tak bicara seperti pejabat. Ia tidak mengangkat suara.
Namun setiap kata yang ia ucapkan, jatuh seperti hujan ke tanah kering.
“Kami tidak datang untuk merobohkan istana,
Kami datang untuk mengingatkan bahwa istana berdiri karena rakyat.
Jika kata-kata kami membuatmu takut,
Mungkin yang kau lindungi bukan keadilan… tapi dirimu sendiri.”
Bising mereda. Para pejabat gelisah. Rakyat di luar dinding mulai bersorak kecil, perlahan.
Kaisar menunduk, menahan senyum.
Kemudian… Han Yue maju.
Suasana berubah tegang.
Karena tidak ada putri bangsawan yang pernah berbicara di tengah sayembara publik seperti ini.
Ia menatap ayahnya—Han Zhen—yang berdiri mematung, dan berkata:
“Aku dibesarkan di dalam istana,
Tapi hatiku tumbuh di luar dinding.
Aku bukan anak dari garis darah yang ingin membungkam dunia.
Aku anak dari lelaki yang puisinya dibakar… tapi maknanya tetap menyala dalam keturunannya.”
Tangannya mengangkat Catatan Bayangan Selatan, dokumen rahasia yang ditemukan di perpustakaan Kaisar.
“Ini adalah bukti bahwa Gubernur Han Zhen telah mengkhianati istana, membungkam rakyat, dan menyalahgunakan kekuasaan selama dua dekade.”
Ia meletakkannya di hadapan Kaisar.
Ruangan hening seperti nisan.
Han Zhen melangkah maju, bergetar, dan berteriak:
“KAU ANAKKU! KAU TIDAK PUNYA HAK MELAWANKU!”
Han Yue menatapnya dengan ketenangan yang tak bisa diganggu.
“Aku memang anak dari puisimu yang kau bakar. Tapi aku bukan milikmu.”
Zhao Ning menghunus belati, menerjang ke arah Han Yue—tapi sebelum sempat menyentuhnya, Li Wen berdiri di antara mereka, dan pengawal istana menyerbu.
Zhao Ning ditangkap. Han Zhen meruntuh ke lututnya.
Dan dari singgasana, Kaisar Zhao Ming bangkit dan mengangkat tangan.
“Suaraku… adalah suara mereka.”
Sore itu, keputusan kekaisaran diumumkan.
Gubernur Han Zhen dicopot dan akan diadili. Zhao Ning diasingkan.
Dan… Li Wen ditunjuk sebagai Penjaga Suara Kekaisaran, gelar yang belum pernah ada sebelumnya—penulis utama untuk mewakili rakyat kepada istana.
Han Yue diangkat menjadi Penjaga Perpustakaan Langit, pelindung dokumen rahasia dan sejarah yang tak boleh dikubur kembali.
Dan gerbang istana…
Dibuka untuk pertama kalinya bagi rakyat jelata yang ingin mendengar sendiri suara masa depan mereka.
Bab 12: Gerbang Terbuka, Hati Terangkat
Beberapa bulan kemudian, musim semi datang dengan angin lembut dan bunga plum yang mekar seperti lampu-lampu kecil di ranting. Di taman istana, di bawah pohon bambu yang lama tak tersentuh, duduk dua orang.
Li Wen, mengenakan jubah tinta, memegang gulungan puisi yang belum selesai. Han Yue bersandar di bahunya, mengenakan pakaian putih lembut, matanya menerawang ke langit biru pucat.
“Apakah dunia sudah berubah?” tanya Li Wen pelan.
Han Yue tersenyum.
“Dunia belum selesai ditulis. Tapi kali ini… kita pegang penanya.”
Pernikahan mereka tidak digelar megah.
Hanya di taman istana, di hadapan Kaisar dan beberapa saksi, mereka saling membacakan bait puisi sebagai ikrar.
“Bila musim datang dan pergi,
Aku akan menunggumu di antara huruf-huruf yang tak pernah pudar.
Dan bila dunia mencoba membisukanmu,
Maka aku akan jadi gema.”
Kaisar hanya tersenyum dan berkata, “Hari ini, istana bukan lagi benteng. Tapi halaman. Dan kalian… puisinya.”
Beberapa tahun kemudian, anak-anak kecil di desa Baihe tumbuh dengan mendengar kisah tentang penyair yang dibuang ke salju, dan putri yang lahir dari rahasia, yang bersama-sama menulis ulang sejarah.
Mereka tumbuh tidak hanya membaca kitab, tapi juga mendengarkan suara yang pernah dibungkam.
Dan di Perpustakaan Langit, dua gulungan puisi disimpan berdampingan:
“Gerbang Seribu Musim” — oleh Li Wen
“Anak dari Dua Dunia” — oleh Han Yue
Tak ada penjaga yang melarang membacanya.
Tak ada larangan menyalinnya.
Karena kata-kata itu milik semua.
Dan cinta… akhirnya menemukan tempatnya.
Bukan di takhta.
Bukan di gelar.
Tapi di hati yang tahu bahwa menulis kebenaran… adalah bentuk cinta yang paling berani.
TAMAT