Dua insan yang bertemu, namun ada dinding tak kasat mata yang membentengi. Saat mereka disandingkan ditempat yang sama, ada suasana canggung tercipta. Itu semua terjadi karena hubungan mereka berdua kandas tanpa kejelasan.
Mereka berbicara dengan dua bahasa, penuh makna yang tersembunyi, seolah setiap kalimat yang keluar, adalah penjaga rahasia yang mereka simpan.
Mereka sering kali terdiam dalam pembicaraan, membiarkan keheningan berbicara untuk mereka.
Dunia penuh rasa sakit, kecemasan, penyesalan, dan keinginan yang terpendam.
Setiap moment yang diingat, bagaikan pedang bermata dua. Kebahagiaan yang direnggut oleh rasa takut dan dilema.
Mereka tersenyum dalam kesedihan dan tertawa menyembunyikan rasa rindu yang tak tertahankan.
Mereka ingin meraih tangan satu sama lain, namun hanya menggenggam udara. Masalah yang mereka hadapi seperti simpul yang terus-terusan mengikat, tak bisa dilepaskan tanpa menyakiti diri sendiri.
Cinta yang mengalir dalam kesunyian, seperti air sungai yang mencari jalan kelaut, terhalang oleh banyak bebatuan besar.
Mencintai dalam keheningan guna menemukan keberanian untuk tetap bertahan, meski tak ada jaminan akhir yang bahagia.
Belajar menerima tanpa harus memiliki. Menatap dari jauh, tanpa pernah benar-benar bisa mendekap.
Keberanian untuk tetap tinggal dalam rasa, meski tak pernah tahu akan berlabuh di mana.
Setiap detik adalah ujian kesabaran,
setiap tawa darimu adalah hadiah yang tak ternilai.
Dan meski dunia tak pernah menjanjikan akhir yang bahagia, cinta tetap di sini— dalam diam, melantunkan doa, menyulam harapan di antara kemungkinan yang nyaris tak ada.
Cinta sering kali kandas di ujung penantian, tapi aku percaya, cinta tak selalu harus memiliki untuk bisa tetap hidup.
Ia tetap tumbuh, meski tak disiram balasan. Tetap mekar, meski tanahnya retak oleh kenyataan.
Kandas bukanlah tanda kegagalan,
melainkan wujud paling jujur dari ketulusan, saat cinta rela melepaskan dengan lapang, menunggu tanpa harap dibalas,dan mencintai tanpa harus memiliki.