Langit sore itu mendung, seperti hatiku yang tak lagi bisa membedakan antara cinta dan luka. Aku duduk di bangku taman tempat kita biasa bertemu—tempat di mana dulu senyummu adalah rumah bagi hatiku.
Dia datang, seperti biasanya, membawa sejuta alasan dan satu kata yang selalu mudah ia ucapkan: *"Maaf."*
“Semudah itu, ya?” tanyaku lirih, menatap matanya yang tak lagi bisa kutebak. “Kau ucapkan kata maaf, seperti tak ada apa-apa yang pernah terjadi.”
“Aku benar-benar menyesal,” katanya. Tapi suaranya terdengar hampa. Seperti kalimat yang dihafal dari naskah lama yang terus ia ulang tanpa rasa.
Aku hanya diam. Dalam diam itu, kenangan kembali berputar—kesalahan yang sama, kebohongan yang sama. Janji yang pernah ia ucapkan, dan yang ia khianati tanpa beban.
“Di mana perasaanmu?” tanyaku lagi, kali ini dengan mata yang mulai memanas. “Saat kau memilih menyakitiku dengan cara yang sama?”
Dia menunduk. Tak ada jawaban. Dan mungkin itu lebih menyakitkan dari semua kebohongannya.
“Aku mencintaimu,” bisikku, lebih kepada diriku sendiri daripada padanya. “Dan itu nyata. Tapi inikah caramu membalas cinta yang tulus ini?”
Ia mengangkat wajahnya. Ada air mata di sana, tapi entah kenapa, aku tak lagi tersentuh.
“Menyakitkan,” lanjutku, “saat cintaku dibalas dengan dusta. Tapi mencintamu… tak akan pernah kusesali.”
Aku berdiri, langkahku berat, tapi hatiku tahu: ini saatnya.
Sebelum pergi, aku menoleh untuk terakhir kalinya. “Cinta bukan tentang siapa yang paling pandai meminta maaf. Tapi siapa yang mampu menjaga agar tak perlu meminta maaf yang sama berulang kali.”
Dia terpaku. Dan aku tahu, kali ini, dia benar-benar kehilanganku.
Aku berjalan pergi. Tak lagi membawa amarah, hanya kesadaran. Tentang cinta yang tak harus memiliki, tapi tetap layak dikenang.
Dan sore itu, di bawah langit kelabu, aku belajar melepaskan—dengan cinta, bukan dendam.
******
seseorang yang mencintai dengan tulus, namun harus menghadapi kenyataan pahit karena pasangannya terus mengulang kesalahan yang sama.
Meski kata maaf selalu diucapkan, rasa sakit tetap tinggal. Lebih baik memilih untuk melepaskan demi menjaga harga diri dan ketenangan hati.
cinta tidak selalu tentang memiliki, tetapi tentang keberanian untuk melepaskan saat hubungan tak lagi sehat.
Dalam keikhlasan itu, cinta tetap hidup—tapi bukan dalam kebersamaan, hanya dalam kenangan yang dimuliakan tanpa kebencian.