Jakarta sore itu basah. Hujan turun sejak siang dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan reda. Di antara gedung-gedung tinggi dan jalanan yang padat, Livia berdiri sendirian di halte kecil di persimpangan Senayan. Jas hujan tipis yang dikenakannya tidak cukup melindungi dari dingin. Rambutnya sudah basah sebagian, dan jaket abu-abunya menyerap air hujan seperti kenangan yang tak kunjung kering.
Sudah tiga bulan sejak Raka pergi. Tiga bulan sejak ia belajar menyusun kembali hidup yang runtuh diam-diam. Mereka tidak bertengkar, tidak berteriak. Perpisahan mereka terjadi dalam senyap. Raka berhenti hadir dalam keseharian, berhenti menjawab pesan, berhenti menjadi bagian dari rencana masa depan. Livia menunggu. Lalu menyerah. Lalu bertahan.
Sore itu, ia tidak sedang menunggu siapa pun. Ia hanya ingin merasa hujan. Merasakan dingin di kulit, agar hatinya yang beku tahu bahwa ia masih hidup.
"Sendirian?"
Suaranya datang dari samping. Seorang pria berdiri di sana, memegang payung hitam besar. Jaket denimnya sudah basah di bagian bahu. Ia tidak tersenyum, tidak memasang ekspresi aneh. Hanya bertanya.
Livia mengangguk.
"Mau nebeng payung?" tanyanya lagi.
Ada jeda. Livia ragu, lalu mengangguk lagi.
Mereka berjalan menyusuri trotoar. Hujan masih turun deras. Langkah mereka seirama, tapi tak satu kata pun keluar dari mulut. Jakarta di sekitar mereka sibuk dengan lalu lalang kendaraan dan pejalan kaki yang terburu-buru mencari tempat berteduh. Tapi mereka berjalan perlahan, seakan waktu melambat.
"Aku Alaric," katanya tiba-tiba.
"Livia."
"Nama kamu kayak hujan hari ini."
Livia menoleh. "Kenapa?"
"Diam-diam, tapi tenang."
Mereka berhenti di depan sebuah kedai kopi kecil di sudut jalan. Lampunya hangat, dan kaca jendelanya berembun.
"Mau masuk?" tanya Alaric.
Livia menatap kedai itu. Hatinya berdebat. Tapi tubuhnya sudah lelah kedinginan.
"Boleh."
Mereka masuk. Aroma kopi dan kayu mengisi udara. Barista menyambut dengan senyum sopan. Mereka memesan dua cangkir kopi hitam dan duduk di sudut ruangan dekat jendela.
Alaric bercerita. Tentang pekerjaannya sebagai ilustrator lepas. Tentang kegemarannya berjalan kaki saat hujan. Tentang kenapa ia tidak suka berbicara terlalu banyak, tapi juga tidak suka sepi.
Livia mendengarkan. Sesekali tersenyum. Sesekali menjawab. Ia belum tahu apakah ini awal dari sesuatu, atau hanya persinggahan sesaat. Tapi ia tahu satu hal—untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak merasa sendiri.
Ketika hujan reda dan mereka harus berpisah, Alaric hanya berkata, "Kalau kamu hujan berikutnya, aku akan ada di halte yang sama. Kalau kamu mau datang."
Livia tidak menjawab. Ia hanya tersenyum.
Hari-hari berlalu. Hujan tidak datang selama dua minggu. Tapi Livia datang ke halte itu setiap sore, duduk di bangku besi sambil membaca atau hanya memandangi jalan. Dan suatu sore, saat langit baru mulai mendung, Alaric datang.
Tanpa payung. Tanpa alasan.
"Capek nunggu hujan," katanya.
"Kenapa tetap datang?"
"Karena yang kutunggu bukan hujannya. Tapi kamu."
Dan kali ini, Livia yang lebih dulu tersenyum.
Waktu berjalan seperti aliran sungai kecil di taman kota—tenang, lambat, tapi pasti. Musim berganti. Mereka tidak terburu-buru menamai apa yang tumbuh di antara mereka. Tidak ada pernyataan cinta yang dramatis. Tidak ada pertengkaran besar. Hanya percakapan-percakapan sederhana di bawah payung, di bangku halte, atau di kedai kopi yang sama.
Di tengah kesibukan dan kebisingan kota, mereka menciptakan ruang kecil untuk saling hadir. Alaric menggambar Livia dalam diam, menyimpan setiap sketsa dalam buku kecil yang ia bawa ke mana-mana. Livia menulis puisi-puisi pendek yang terinspirasi dari cara Alaric menatap dunia.
Tapi tidak semua cerita berjalan mulus.
Alaric pernah hilang. Tiga minggu. Tanpa kabar. Tanpa pesan. Livia kembali duduk di halte sendirian. Hujan turun setiap sore, seakan mengejek kesetiaan yang ia pertahankan.
Ketika akhirnya Alaric kembali, wajahnya tirus, matanya sayu. Ia baru pulang dari rumah sakit. Ibunya meninggal karena kanker.
"Aku nggak tahu cara bilangnya, Liv. Aku nggak tahu harus ngapain."
Livia tidak marah. Ia hanya menggenggam tangan Alaric dan berkata, "Kamu pulang. Itu cukup."
Sejak saat itu, mereka tahu. Hubungan mereka bukan lagi tentang kebetulan atau ketertarikan. Tapi tentang dua jiwa yang memilih untuk tetap saling menunggu, meski hujan tak selalu datang.
Tahun-tahun berlalu. Kedai kopi di sudut jalan itu tutup. Digantikan toko donat waralaba. Halte tempat mereka pertama kali bertemu digantikan halte Transjakarta baru yang lebih besar dan sibuk. Tapi setiap musim hujan, mereka tetap datang. Duduk bersama di bangku panjang taman kota. Membiarkan hujan menyapa mereka seperti sahabat lama.
Suatu hari, di bawah hujan terakhir di akhir Februari, Alaric berlutut di depan Livia. Basah kuyup. Dengan cincin sederhana dari perak di tangannya.
"Kamu mau terus nemenin aku duduk di halte sampai rambut kita putih?"
Livia tertawa. Hujan menari di ujung matanya.
"Asal kamu masih mau nebengin payungnya."
Dan di bawah hujan terakhir itu, mereka tidak lagi menunggu. Karena akhirnya, mereka telah menemukan tempat pulang.
< TAMAT >