Alyana Frederick berdiri diam di halte tua di depan sekolahnya. Hujan turun pelan, seolah ragu untuk benar-benar jatuh. Ia mengenakan seragam SMA, rambut hitamnya sedikit basah karena tak sempat membuka payung tepat waktu. Jemarinya yang dingin mencengkeram gagang tas. Matanya kosong, menatap jalanan yang sudah ia lewati berkali-kali, tapi kini terasa begitu asing.
Hari ini adalah hari pertama ia kembali ke sekolah setelah dua minggu absen. Dua minggu sejak itu. Sejak Evan... pergi.
"Aly..." Lita, sahabatnya, menyusul dari belakang. Nafasnya memburu, payungnya miring. "Kamu yakin?"
Alyana tidak menjawab. Hanya satu anggukan pelan yang ia berikan, dan kemudian ia melangkah masuk melewati gerbang. Langkahnya berat. Setiap sudut sekolah seperti menyimpan sisa-sisa kehadiran Evan. Koridor tempat mereka biasa berjalan bersama, bangku taman tempat Evan sering menyodorkan susu cokelat kesukaannya, dan perpustakaan tempat mereka menghabiskan waktu diam-diam hanya untuk saling dekat.
Ruang kelas terasa lebih sunyi dari biasanya. Satu bangku di sebelah kanan jendelanya tetap kosong—dan tidak akan pernah terisi lagi.
Tidak ada yang berbicara tentang Evan. Tidak satu pun. Bahkan guru mereka hanya menyebutkan tugas hari ini tanpa menyinggung apa pun. Seolah dengan membungkam, luka itu bisa hilang.
Tapi bagi Alyana, luka itu hidup. Bernapas. Dan menghantam dadanya tiap detik.
Flashback menamparnya seperti ombak.
---
Dua bulan yang lalu, Evan mulai berubah. Ia sering absen, matanya makin sayu, dan sering kali tersenyum palsu saat ditanya. Tapi Alyana... ia tak pernah benar-benar bertanya. Ia pikir Evan hanya lelah. Hanya butuh waktu sendiri. Dan saat Evan mulai menjaga jarak, Alyana malah marah.
"Kalau kamu capek, bilang! Jangan malah ngilang kayak pengecut, Van!" katanya waktu itu, di depan tangga sekolah.
Evan hanya menatapnya. Mata cokelatnya menyimpan laut yang tak pernah bisa ditebak dalamnya.
"Aku cuma... nggak pengen kamu lihat sisi gelap aku."
Alyana menahan air mata yang mulai menumpuk di kelopak matanya. Ia tak tahu, saat itu, kata-kata Evan adalah permintaan tolong yang disamarkan. Ia tak tahu, senyum tipis Evan adalah pagar terakhir sebelum jurang.
Dan ia tak sempat menyelamatkannya.
Pesan terakhir Evan datang dua jam setelah Evan ditemukan tak sadarkan diri di kamarnya. Pesan yang tak sempat Alyana baca tepat waktu.
"Maaf, Aly. Aku nggak kuat lagi. Tapi kamu harus tetap hidup. Untuk kita berdua."
Evan dinyatakan meninggal di rumah sakit malam itu.
---
Sekarang, Alyana duduk di bangkunya. Tangan gemetar membuka catatan yang pernah dipinjam Evan. Di pojok kanan bawah halaman terakhir, ada coretan kecil dengan tulisan tangannya.
"Untuk Alyana. Jangan pernah menyerah, bahkan ketika dunia terasa terlalu gelap. Karena kamu cahaya buat orang lain—terutama buat aku."
Tangisnya pecah. Ia tutup wajahnya dengan tangan, terisak pelan, berusaha tidak menarik perhatian. Tapi semuanya sudah hancur. Tidak ada yang bisa ia selamatkan. Tidak ada yang bisa ia ubah.
Tapi mungkin... ia masih bisa menjalankan satu hal terakhir yang Evan minta.
Hidup.
Untuk mereka berdua.
---
Di luar jendela, hujan masih turun. Tenang. Konsisten. Seolah dunia tahu bahwa beberapa luka tidak bisa sembuh. Hanya bisa diajak berjalan perlahan, sampai suatu hari, tidak lagi menyakitkan.
Alyana menatap langit, dan untuk pertama kalinya, ia membiarkan air matanya jatuh bersama hujan.
Dan untuk pertama kalinya, ia berkata dalam hati:
"Aku akan mencoba, Van. Walau sendirian."
---