Angin berhenti mengenai sehelai demi sehelai rambut dan daun-daun yang ada di sekitar. Kini aku menganggap hidup ini tak pernah memberikan peringatan sebelum runtuh. Dan bagi Sheren, semuanya terasa runtuh hampir bersamaan, seperti bangunan tua yang hanya membutuhkan satu sentuhan kecil untuk ambruk seluruhnya.
Ibuku meninggal pada suatu hari yang dingin dan sendu, hanya beberapa minggu sebelum aku akhirnya menginjakkan kakiku di kota yang selama ini kudengar dari ibuku semasa kecilku. Hari itu, dunia terasa terlalu sunyi. Bahkan detik waktu pun seakan akan enggan untuk bergerak. Udara Jakarta mendadak terasa terlalu berat sejak kepergian ibunya. Setiap sudut apartemen menyimpan gema suara yang tak akan pernah kembali lagi.
Pekerjaan sebagai penulis naskah, yang dulu begitu ia cintai, kini berubah menjadi ruang kosong tanpa makna. Ia berhenti menulis. Surat pemutusan kontrak dari rumah produksi hanya menjadi selembar kertas sunyi di meja kerjanya. Pada titik itu, Sheren sadar, ia telah lebih dulu kehilangan segalanya, sebelum sempat benar-benar kehilangan dirinya sendiri.
Ia sedang tidak mencari kebahagiaan. Hanya ingin segera pergi sejauh mungkin, ke tempat di mana tak ada seorang pun yang akan mengenalnya. Ke Yogyakarta. Kota yang hanya pernah ia kenal dari potongan-potongan cerita ibunya semasa hidup.
“Titik Nol Kilometer Yogyakarta itu ada di jantung kota Yogyakarta, Nak. Siangnya ramai sekali pedagang kaki lima, pelajar berseragam, turis dengan kamera, dan warga lokal yang hilir mudik seperti sungai yang tak pernah kering,” ujar ibunya suatu malam, suaranya nyaris tenggelam oleh desir angin dari jendela yang terbuka.
“Tapi malam hari berbeda. Langit terasa lebih dekat, seperti membungkus kota dalam kesini, lampu-lampu menyala lembut seperti bisikan. Suara becak mengalun lambat, nyaris sendu. Dulu Ibu sering duduk di trotoar dekat Benteng Vredeburg. Sendiri, tapi tidak kesepian. Di sana, Ibu jatuh cinta, bukan kepada seseorang, tapi kepada perasaan yang perlahan tumbuh dan menetap di dalam hati, sebuah perasaan yang tak pernah benar-benar hilang.”
Usai melewati malam-malam panjang yang dipenuhi oleh keheningan, Sheren akhirnya memilih untuk beranjak pergi. Ia menumpang bus malam untuk menuju Yogyakarta. Perjalanan itu memakan hampir delapan jam, melewati malam yang sunyi, hanya diiringi deru mesin dan sesekali kilatan lampu jalan yang menyapu kegelapan.
Sepanjang perjalanannya, ia hanya menatap ke luar jendela, menyaksikan bayangan kelam yang berlari di sisi jalan, seolah-olah waktu bergerak tanpa suara. Dalam diam, ia membawa sepotong hati yang patah dan tubuh yang lelah. Tak ada rencana. Tak ada harapan. Hanya ada langkah yang membawanya ke tempat yang entah mengapa harus ia tuju, seolah dipandu oleh kenangan yang tak bisa ia lepaskan.
Kini yang ia bawa hanyalah sebuah koper kecil, yang di dalamnya tersimpan naskah yang belum rampung, syal abu-abu rajutan tangan ibunya, dan sisa-sisa kecil dari hidup yang perlahan ia tinggalkan.
Pagi harinya, saat langit mulai biru pucat, Sheren tiba di Yogyakarta. Kota ini menyambutnya dengan kesan yang tak ia duga tidak gegap gempita, melainkan tenang, bahkan dalam keramaiannya. Titik Nol Kilometer terlihat seperti lukisan yang bergerak pelan, bangunan-bangunan kolonial berdiri anggun, lalu lalang orang-orang berpadu dengan gerobak pedagang kaki lima, dan suara lonceng becak terdengar jauh di antara gemuruh sepeda motor.
Sheren menyewa sebuah rumah kecil di pinggiran kota, milik pasangan lansia yang tinggal tak jauh dari kawasan Malioboro. Rumah itu sederhana, berdinding kayu dengan jendela besar yang menghadap ke taman kecil. Lantainya berderit saat diinjak, tapi justru dari sana kehangatan rumah itu memancar. Tak jauh dari sana, Benteng Vredeburg berdiri tegak, dikelilingi trotoar yang tenang dan pepohonan rindang yang menaungi bangku-bangku kayu tempat orang duduk melepas letih.
Pada pagi hari di kota itu, Sheren menyeduh teh hangat, mengenakan syal abu-abu buatan ibunya, lalu berjalan menyusuri trotoar menuju Alun-Alun Utara. Ia melewati Gedung Agung yang tampak megah dan sunyi, dikelilingi pepohonan besar yang menaungi halaman depan. Meski banyak orang berlalu-lalang, ada sesuatu yang tetap hening di tengah kota ini seolah waktu di sini tidak bergegas.
Di sanalah ia melihatnya. Seorang pria muda duduk di salah satu bangku taman, dekat pagar Gedung Agung. Ia tenggelam dalam buku yang dibacanya, dikelilingi guguran daun hijau dari pohon beringin yang tinggi menjulang. Sheren memperlambat langkah. Pria itu tidak menyadarinya, hanya membalik halaman dengan gerakan lambat, seolah menikmati setiap kata yang ia serap.
Dan meskipun belum sepatah kata pun terucap, Sheren tahu hari itu akan menjadi awal dari sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Sesuatu seperti kota ini yang perlahan, tenang, tapi tak pernah berhenti untuk menyentuh hati.