(Sebuah Tragedi Kosmik tentang Cinta yang Tertinggal di Antara Bintang)
Setiap kali bumi menutup mata, ia melihatnya lagi—marsa tersenyum sambil darah mengucur dari pelipisnya. Kecelakaan mobil itu terjadi tepat setelah pertengkaran mereka. Kata-kata terakhirnya: "Obsesimu dengan antariksa. Kau lebih memilih Mars daripada aku, bukan?"
Debu merah masuk melalui celah ventilator. Bumi batuk sambil menatap foto Marsa di komputernya—wajahnya sudah mulai memudar akibat radiasi planet merah itu.
"Komandan, sistem penyaring udara gagal lagi," laporan Maya dengan suara serak.
Bumi mengangguk. Di sudut ruangan, bayangan Marsa berdiri membelakangi, rambutnya yang panjang berkibar-kibar seperti dulu. Halusinasi lagi, pikirnya.
**
Malam sebelum kecelakaan. Marsa menangis di depan koper Bumi yang sudah terpacking rapi.
"Kau benar-benar akan pergi? Padahal aku—"
"Kita sudah bahas ini! Mars adalah masa depan!" potong Bumi kasar.
Pintu terbanting. Ban mobil Marsa menggelinding di jalan basah—lalu suara benturan mengerikan. Bumi baru tahu kalau kekasihnya itu sedang hamil 3 bulan.
**
"Kita harus evakuasi Sektor 3!" teriak Dr. Chen.
Bumi diam. Di depan matanya, bayangan Marsa sedang duduk di kursi kosong, jarinya menunjuk ke peta Bumi di dinding.
"Tidak," akhirnya ia bersuara. "Kita perbaiki dari dalam."
Maya memandangnya tak percaya. "Tapi ada 15 orang di sana—"
"PERINTAH!" bentak Bumi.
Ketika kabar sampai—12 orang tewas keracunan CO2—Bumi muntah di toilet. Di cermin, Marsa berdiri di belakangnya, matanya berdarah. "Kau membunuh mereka seperti membunuhku," bisiknya.
Badai debu menghantam seperti amukan. Di shelter yang berguncang, Maya menjerit: "Kita harus ke kapsul penyelamat!"
Tapi Bumi tertawa histeris. "Untuk apa? Kembali ke situ lagi? Ke kuburan Marsa?"
Di tengah kepanikan, ia akhirnya mengaku:
"Aku sengaja memilih tanah tinggi untuk koloni ini. Tempat dengan badai terburuk. Karena... aku ingin kita semua mati."
Ketika kubah pecah, Bumi tidak lari. Ia berdiri menghadap badai, tangan terentang.
Marsa muncul di tengah debu merah, tersenyum. "Aku datang menjemputmu, Sayang."
Tubuhnya hancur oleh angin Mars yang ganas. Tapi di detik terakhir, Bumi melihat sesuatu yang membuatnya tersenyum—di antara debu, bentuk wajah Marsa yang sempurna, seperti dulu sebelum kecelakaan. Sebelum dunia yg mengerikan penuh huru hara itu merenggut cinta dan cita-cita bahagia selamanya.
Pesan terakhir yang terekam di komputer Bumi:
"Marsa benar, aku lari dari dunia ini untuk melupakan rasa bersalah. Tapi di Mars, di planet yang kejam ini... akhirnya aku bisa melihatnya lagi. Dan kali ini, aku takkan meninggalkannya."*
Di Bumi, Sarah (adik Marsa) menerima paket misterius—berisi ribuan surat cinta yang Bumi tulis untuk Clara tapi tak pernah dikirim. Di amplop terakhir, tulisan:
"Aku akhirnya menyusulmu, Marsa sayang. Di planet merah tempat cinta kita abadi bersama lagi."