Panji baru saja mencuci tangannya di wastafel kamar mandi stasiun ketika menyadari sesuatu yang penting hilang dari jarinya. Cincinnya. Cincin perak dengan ukiran kecil di bagian dalam, peninggalan dari almarhum kakeknya.
Jantungnya berdegup kencang. Ia merogoh kantong, memeriksa sekitar wastafel, bahkan jongkok untuk melihat ke bawah pintu bilik toilet. Tidak ada. Mungkin jatuh di luar?
Dengan langkah cepat, Panji keluar dari kamar mandi dan matanya langsung menangkap sesuatu yang membuatnya tertegun. Di antara orang-orang yang berlalu-lalang, seorang gadis sedang berdiri di depan kios minuman. Di jari manis kanannya, melingkar sebuah cincin yang sangat mirip dengan miliknya.
Tanpa pikir panjang, Panji mendekatinya. "Maaf, boleh aku lihat cincinnya sebentar?"
Gadis itu-Sekar, begitu nama di lencana kerjanya-terlihat terkejut. "Kenapa?"
"Itu... cincinku. Aku baru saja kehilangan cincin di kamar mandi stasiun," ujar Panji, suaranya tegas namun tidak ingin terdengar menuduh.
Sekar terdiam sejenak, matanya menatap cincin di jarinya sebelum kembali menatap Panji. "Cincin ini milikku," katanya pelan.
"Tapi-" Panji ragu. Ia tidak punya bukti selain perasaan bahwa cincin itu miliknya. "Cincinnya sangat mirip. Bahkan ada ukiran kecil di bagian dalamnya."
Sekar tersenyum samar, lalu melepas cincin itu. Ia menyerahkannya pada Panji. "Silakan lihat."
Dengan hati-hati, Panji membalik cincin itu dan mencari ukiran yang seharusnya ada. Ia menahan napas-tapi yang ia temukan justru sesuatu yang lain. Ukiran kecil di dalam cincin itu bertuliskan "S & P".
Panji terdiam. Ini bukan cincinnya.
Sekar tertawa kecil, seolah bisa membaca pikirannya. "Ini memang bukan cincinnya, kan?"
Panji mengangguk malu. "Maaf... aku terlalu terburu-buru."
"Tidak apa-apa," kata Sekar, memasukkan kembali cincinnya ke jari. "Mungkin cincinnya masih ada di kamar mandi atau jatuh di tempat lain."
Panji menghela napas, merasa bodoh sekaligus lega. "Terima kasih. Dan... maaf sudah menuduh."
Sekar tersenyum tipis. "Cincinnya penting buatmu?"
"Banget," jawab Panji. "Peninggalan kakekku. Aku baru sadar hilang waktu cuci tangan di kamar mandi tadi."
Sekar menatapnya sejenak, lalu berkata, "Kalau begitu, ayo kita cari lagi."
Panji menatapnya, sedikit terkejut. "Kamu mau bantu?"
"Tentu," kata Sekar. "Lagipula, sepertinya aku tahu apa yang akan kamu lakukan setelah ini."
Panji mengernyit. "Maksudmu?"
Sekar tersenyum kecil. "Kau pasti akan kembali ke kamar mandi untuk memeriksa lagi, lalu mungkin menyusuri jalan yang tadi kau lewati. Kalau nggak ketemu, kau akan bingung, diam sebentar, lalu berpikir untuk bertanya pada petugas stasiun."
Panji terdiam. "Kok kamu tahu?"
Sekar hanya tersenyum. "Aku tebak saja."
Mereka kembali ke kamar mandi, memeriksa lebih teliti. Sekar bahkan jongkok untuk melihat di bawah wastafel. "Nggak ada," gumamnya.
Mereka berjalan ke area tempat duduk dekat peron, mencari di bawah bangku, tetapi hasilnya nihil. Panji mulai tampak frustasi.
"Kau akan mencoba mencari ke mana lagi?" tanya Sekar, menatapnya penuh arti.
Panji berpikir. "Mungkin tanya ke petugas, seperti yang kamu bilang tadi."
Sekar tersenyum. "Ayo."
Mereka berjalan menuju loket informasi, dan Panji mulai merasa ada sesuatu yang aneh. Sekar membantunya dengan begitu tenang, seakan mengenalnya lebih dari yang seharusnya.
Panji dan Sekar berdiri di depan loket informasi. Panji tampak gelisah, tapi Sekar tetap tenang.
Sekar mendekat dan bertanya dengan suara lembut, "Pak, maaf, tadi ada yang kehilangan cincin perak dengan ukiran unik. Ada batu merah di tengahnya, dan di bagian dalam cincin ada ukiran bertuliskan 'S & P'. Apakah Bapak menemukannya atau ada yang menitipkan di sini?"
Hermawan, petugas di balik loket, mengangkat wajahnya dan menatap Sekar lama, seakan sudah tahu pertanyaan itu akan muncul. Tatapannya penuh pengertian, seolah mengenal Sekar lebih dari yang Panji kira.
Ia tersenyum ramah. "Sejauh ini belum ada yang menyerahkan cincin seperti itu. Tapi tunggu sebentar, saya akan tanyakan ke petugas kebersihan."
Panji menghela napas panjang. Sekar tetap diam, hanya menatap Hermawan yang kini berbicara dengan seseorang melalui handy talkie.
Tak lama, Hermawan kembali. "Maaf, belum ada laporan tentang cincin itu. Tapi kalau ada yang menemukannya, saya akan mencatatnya di laporan barang hilang. Maaf atas nama siapa?"
"Panji Aji Biyantoro, Pak. Itu cincin saya yang hilang."
Pak Hermawan tersenyum dan mencatat nama tersebut, namun anehnya saat Panji mengintip sedikit catatan itu banyak sekali nama Panji Aji Biyantoro disana. Aku sesering itu kehilangan benda disini? Ceroboh sekali.
"Baiklah, Panji dan Sekar ya?"
Sekar agak terkejut saat Pak Hermawan menyebut Namanya, "Oh, dari nametag saya ini kan ya..." kilah Sekar segera memberi tanggapan pada Pak Hermawan.
"Ah, benar ada nametag di Baju nya Sekar Ayu Rinjani, Indah sekali Namanya." Gumam Panji tanpa sadar memandang Sekar dan nametagnya. Lalu dia mengalihkan pandangan kepada Pak Hermawan secepat kilat lalu mengangguk, "Terima kasih, Pak."
Saat mereka berbalik hendak pergi, Hermawan tiba-tiba mencondongkan tubuhnya sedikit ke arah Sekar dan berbisik, "Apakah kau sudah membuat yang baru? Agar dia ingat kembali?"
Sekar terdiam sejenak. Wajahnya tetap tenang, tapi ada sesuatu di matanya yang sulit dibaca.
Panji menoleh, bingung. "Ada apa?"
Sekar tersenyum kecil, menggeleng pelan. "Tidak apa-apa. Ayo cari di tempat lain."
Namun, Panji mulai merasa ada sesuatu yang ia tidak ketahui-sesuatu yang hanya Sekar dan Hermawan pahami.
Panji dan Sekar melangkah menjauh dari loket informasi. Panji masih mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Pertanyaan Hermawan terngiang di kepalanya.
"Apakah kau sudah membuat yang baru? Agar dia ingat kembali?"
Apa maksudnya? Siapa yang tidak boleh kembali?
Panji menoleh ke arah Sekar, tapi gadis itu tetap berjalan dengan tenang. Namun, saat mereka sudah cukup jauh, Sekar tiba-tiba menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuhnya sedikit.
Dengan gerakan halus, ia memberikan isyarat kecil ke arah Hermawan-sebuah kode yang sulit dimengerti oleh Panji, seakan berkata biarkan dulu seperti ini.
Hermawan yang masih berdiri di loket hanya menatap balik, tidak memberikan respons apa pun.
Panji mengerutkan kening. Sekar tahu lebih banyak dari yang ia tunjukkan.
Dan untuk pertama kalinya sejak cincin itu hilang, Panji merasa bahwa mungkin bukan sekadar cincinnya yang harus ia cari-tetapi juga kebenaran yang belum ia ketahui.
Panji berjalan di samping Sekar, pikirannya penuh dengan pertanyaan yang belum terjawab. Gadis ini... terlalu baik. Terlalu sigap membantunya, seolah mengenalnya lebih dari yang ia sadari.
Ia akhirnya tak bisa menahan diri lagi. "Kenapa kau membantuku?" tanyanya, menatap Sekar dengan serius.
Sekar tetap berjalan, tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum kecil, seakan pertanyaan itu sudah ia duga sejak awal.
"Apa aku tidak boleh membantu?" balasnya pelan.
"Boleh, tentu saja," kata Panji cepat. "Tapi kita baru saja bertemu. Aku merasa seolah... seolah kau sudah tahu apa yang akan aku lakukan selanjutnya. Seperti tadi di loket informasi-kenapa Hermawan menatapmu seperti dia mengenalmu? Dan apa maksudnya tadi?"
Sekar menghela napas, lalu berhenti melangkah. Ia menatap Panji, matanya dalam, seperti menyimpan sesuatu yang belum ingin ia ungkapkan.
"Ada banyak hal di dunia ini yang tidak perlu langsung kau pahami, Panji," katanya. "Kadang, yang terpenting adalah menemukan apa yang benar-benar kau cari."
Panji semakin bingung. "Aku mencari cincinku."
Sekar tersenyum tipis. "Benarkah hanya itu yang kau cari?"
Pertanyaan itu menggantung di udara, membuat Panji terdiam. Untuk sesaat, ia merasa seperti kehilangan sesuatu yang lebih dari sekadar cincin. Sesuatu yang mungkin belum ia sadari-atau sesuatu yang Sekar sudah ketahui sejak awal.
Langit sudah gelap. Lampu-lampu di stasiun mulai berpendar, menciptakan bayangan panjang di lantai peron. Panji melirik jam di tangannya, lalu menoleh ke arah Sekar yang masih berdiri di sampingnya.
Ia merasa tidak enak. Sekar sudah menemaninya sejak sore, tanpa mengeluh sedikit pun.
"Sebaiknya kau pulang," kata Panji pelan. "Terima kasih sudah membantuku hari ini."
Sekar menatapnya, lalu tersenyum lembut. "Tak masalah. Aku senang membantumu."
Jawaban itu sederhana, tapi ada sesuatu dalam cara Sekar mengatakannya yang membuat dada Panji terasa aneh. Seperti ada kembang api yang tiba-tiba meletup di dalamnya, membuncah hangat tanpa bisa ia kendalikan.
Ia menatap Sekar lebih lama dari yang seharusnya. Senyum gadis itu begitu tulus, seakan ia memang ada di sini bukan sekadar untuk membantu, tapi untuk sesuatu yang lebih dari itu.
Dan saat angin malam berembus pelan, Panji mulai menyadari sesuatu.
Mungkin, hari ini bukan hanya tentang cincin yang hilang.
Mungkin, ia menemukan sesuatu yang lain-atau seseorang.
**********
Malam itu, Panji duduk di tepi tempat tidurnya, menatap kosong ke arah jendela kamar yang sedikit terbuka. Angin malam berembus pelan, membawa ketenangan yang aneh.
Ia seharusnya masih memikirkan cincinnya yang hilang. Namun, bukan itu yang memenuhi pikirannya sekarang.
Wajah ayu Sekar terbayang jelas di benaknya-tatapan matanya yang tenang, cara bicaranya yang lembut, dan terutama senyumnya yang manis.
Panji mengusap wajahnya, menghela napas panjang. "Cincinku memang hilang, tapi..." Ia terdiam sesaat, lalu tersenyum kecil.
"Ahhh... Sekar Ayu Rinjani..."
Ia sendiri tidak tahu apa arti perasaan yang mulai tumbuh di dadanya. Yang jelas, kehilangan cincin bukanlah satu-satunya hal penting yang terjadi hari ini.
Mungkin, di saat ia kehilangan sesuatu, ia justru menemukan sesuatu yang lain. Atau... seseorang.
Malam itu, Panji tertidur dengan bayangan Sekar yang terus menghantui pikirannya. Dan dalam tidurnya, ia bermimpi.
Sekar berdiri di hadapannya, mengenakan blus putih yang jatuh hingga lututnya. Rambut hitamnya tergerai sederhana, namun kecantikannya memancar dengan alami. Wajahnya lembut, matanya bersinar dalam cahaya redup yang mengelilingi mereka, seakan dunia hanya berpusat pada mereka berdua.
Dengan suara manja, Sekar tersenyum dan memanggilnya, "Mas Panji, terima kasih... Cincinnya indah sekali."
Suara itu begitu lembut, seperti bisikan angin yang menenangkan, menggema di antara keheningan. Panji hanya bisa terpaku, dadanya membuncah dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan. Ada sesuatu yang familiar dalam cara Sekar menatapnya-sesuatu yang menghangatkan hatinya, tapi juga menyesakkan, seakan ada beban yang tak kasatmata melingkupi mereka.
Sekar melangkah lebih dekat, jarak di antara mereka kian menipis. Lalu tiba-tiba, ia melingkarkan tangannya di leher Panji, mendekatkan wajah mereka. Napas Sekar hangat di kulitnya, lembut, tetapi membawa rasa dingin yang aneh. Jantung Panji berdetak lebih cepat, seakan tubuhnya mengingat sesuatu yang pikirannya belum bisa tangkap.
Ia ingin berbicara, ingin menanyakan sesuatu-tetapi sebelum kata-kata bisa keluar dari bibirnya, dunia di sekitarnya perlahan memudar... Warna-warna berubah pucat, angin berhenti berembus, dan suara Sekar terdengar semakin jauh.
Lalu, dentuman keras menggema.
Suara logam beradu, teriakan yang samar, dan gemuruh yang terasa begitu nyata. Cahaya terang menyilaukan mata Panji, disusul sensasi melayang, jatuh, lalu hening...
Panji tersentak bangun. Napasnya memburu, dadanya naik turun tak terkendali. Matanya melirik sekeliling-ia masih di kamarnya, gelap, hanya suara detik jam yang terdengar.
Ia mengusap wajahnya dengan telapak tangan, berusaha menenangkan diri.
"Apa-apaan mimpi itu...?" gumamnya, tetapi senyuman kecil tak bisa ia tahan.
Ada sesuatu dalam mimpi itu yang terasa nyata, seakan bukan sekadar bunga tidur biasa. Seakan, hatinya telah menemukan sesuatu yang selama ini tersembunyi di sudut ingatannya-sesuatu yang penting, sesuatu yang berarti...
Tapi apakah itu?
Cincin itu mungkin masih hilang, tetapi ada yang lebih besar dari sekadar cincin yang kini terasa seperti mendekat, merayapi pikirannya perlahan-lahan.
Sebuah kebenaran yang mungkin tak akan pernah ia ingat sepenuhnya.
**********
Sore itu, langit dipenuhi semburat jingga, cahaya matahari yang mulai tenggelam memantulkan warna keemasan di peron stasiun. Panji berdiri di tempat yang sama seperti kemarin, tapi bukan untuk mencari cincinnya.
Matanya justru sibuk menelusuri kerumunan, mencari sosok yang tak kunjung muncul-Sekar.
Ia menggenggam erat tali tasnya, merasa sedikit bodoh. Seharusnya ia fokus pada cincinnya, benda berharga pemberian kakeknya. Tapi entah kenapa, kini ada hal lain yang terasa lebih penting.
Kemarin, Sekar begitu sigap membantunya. Seolah tahu ke mana ia akan pergi, apa yang akan ia lakukan. Ada sesuatu tentang gadis itu yang sulit dijelaskan, sesuatu yang membuatnya ingin bertemu lagi hari ini.
Namun, hingga matahari hampir sepenuhnya tenggelam, Sekar tak juga muncul.
Panji menghela napas, sedikit kecewa. Mungkin dia memang hanya kebetulan lewat kemarin. Mungkin aku yang terlalu berharap...
Tapi sebelum ia benar-benar pergi, angin berembus pelan, membawa suara lembut dari belakangnya.
"Mencari seseorang?"
Panji menoleh cepat.
Dan di sana, berdiri Sekar dengan senyum tipis dan mata yang seakan menyimpan rahasia.
Panji terdiam sejenak, seolah memastikan bahwa Sekar benar-benar ada di hadapannya. Gadis itu berdiri dengan tenang, rambut hitamnya sedikit tertiup angin sore. Senyum tipisnya masih sama seperti kemarin-penuh misteri.
"Kau mencariku?" tanya Sekar lagi, matanya mengamati wajah Panji yang jelas-jelas menunjukkan kelegaan.
Panji menggaruk belakang kepalanya, sedikit canggung. "Aku hanya... yah, kupikir kau akan datang."
Sekar tersenyum lebih lebar, melangkah mendekat. "Dan kau menungguku di sini, bukannya mencari cincinnya?"
Panji terdiam. Ia memang tidak bisa menyangkal itu.
Sekar menatap langit yang mulai gelap. "Kau benar-benar menyayangi cincin itu, kan?"
"Tentu saja," jawab Panji cepat. "Itu pemberian kakekku. Benda yang sangat berharga."
Sekar mengangguk pelan, lalu menatap Panji dengan sorot yang sulit diartikan. "Kalau begitu... ayo kita cari."
Panji sedikit terkejut. "Kau masih mau membantuku?"
Sekar menghela napas kecil, lalu tersenyum. "Aku ingin memastikan sesuatu."
"Kau ingin memastikan apa?"
Sekar tidak langsung menjawab. Ia hanya melangkah lebih dulu, meninggalkan Panji yang semakin penasaran.
Dan tanpa banyak pilihan, Panji mengikuti Sekar, tanpa tahu bahwa pencariannya kali ini bukan hanya tentang cincin... tapi juga tentang rahasia yang mulai terungkap.
Panji dan Sekar kembali menemui Pak Hermawan di loket informasi. Pria paruh baya itu tampak mengenali mereka dari kejauhan, menyambut dengan senyum ramah seperti kemarin.
"Kembali lagi?" tanyanya santai.
"Iya, Pak," jawab Panji cepat. "Apakah ada kabar tentang cincinnya?"
Pak Hermawan tersenyum kecil lalu membuka laci di mejanya. Dari dalam, ia mengeluarkan sebuah cincin perak dengan batu merah di tengahnya.
"Ini cincinnya, kan?"
Mata Panji membesar. Ia mengenali cincin itu seketika. Ukiran di dalamnya, bentuknya, kilaunya-semuanya persis seperti miliknya.
"Benar, Pak! Ini cincinnya!" seru Panji dengan lega.
Pak Hermawan mengangguk. "Kemarin setelah kalian pergi, ada seseorang yang menemukannya di dekat kamar mandi. Tapi karena kalian sudah pulang, saya simpan dulu di sini."
Panji mengulurkan tangannya, hampir tidak sabar untuk menggenggam kembali cincin itu. Namun, sebelum ia menyentuhnya, Pak Hermawan tiba-tiba menatap Sekar dengan pandangan yang aneh.
"Kau sudah memastikan?" tanyanya pelan, suara itu hanya cukup untuk Sekar dengar.
Sekar terdiam, lalu tersenyum tipis. "Belum sepenuhnya, Pak."
Pak Hermawan menatapnya sejenak, lalu menyerahkan cincin itu kepada Panji.
"Nah, sekarang sudah kembali ke pemiliknya," katanya dengan nada biasa, seolah tak terjadi apa-apa.
Panji menggenggam cincinnya erat, merasa lega sekaligus bingung. Ada sesuatu dalam interaksi antara Sekar dan Pak Hermawan yang terasa janggal, tapi ia tak ingin merusak momen ini dengan terlalu banyak bertanya.
Namun, satu hal yang ia sadari-cincinnya memang sudah kembali. Tapi, apakah itu benar satu-satunya hal yang perlu ia temukan?
Panji melirik Sekar yang masih tersenyum samar. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa cincin ini mungkin bukanlah hal paling berharga yang ia temukan di stasiun ini. Panji senang cincinnya telah ditemukan walaupun ia takt ahu siapa yang menemukannya. Namun, ada sebersit kesedihan, Apakah ini terakhir kali aku bertemu Sekar?
**********
Panji duduk di bangku panjang tempat tunggu stasiun, jemarinya masih menggenggam cincin yang baru saja dikembalikan oleh Pak Hermawan. Rasa lega bercampur dengan sesuatu yang mengusik pikirannya.
Ia melirik ke samping, ke arah Sekar yang duduk dengan tenang, menatap jalur kereta yang semakin sepi. Lalu, tanpa ragu, Panji membuka telapak tangannya, memperlihatkan cincinnya.
"Kenapa cincin kita begitu mirip?" tanyanya pelan, nada suaranya penuh kebingungan.
Sekar tersenyum kecil, lalu mengangkat tangannya, memperlihatkan cincin yang melingkar di jarinya. Bentuknya sama, peraknya berkilau dengan batu merah di tengahnya, bahkan ukiran di dalamnya tampak serupa.
Panji menatapnya dengan heran. "Dari siapa kau mendapatkannya?"
Sekar tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap cincinnya sejenak, sebelum akhirnya berkata dengan suara lembut, "Seseorang telah memberikannya padaku."
Panji mengerutkan kening. "Siapa?"
Sekar tersenyum, tapi senyumnya terasa samar, seolah menyimpan sesuatu yang tak bisa ia ungkapkan. Ia menatap langit yang mulai gelap, lalu kembali menoleh pada Panji.
"Mas Panji percaya pada takdir?" tanyanya pelan.
Panji masih menatap cincin di tangannya, lalu kembali melirik Sekar yang duduk di sampingnya. Ada sesuatu tentang gadis ini yang membuatnya ingin tahu lebih banyak. Tentang cincinnya, tentang siapa yang memberikannya, dan tentang mengapa ia merasa begitu terhubung dengannya.
Sebelum ia sempat bertanya lebih jauh, Sekar tiba-tiba menoleh dengan mata berbinar.
"Oh iya, Mas Panji," ucapnya dengan nada ceria. "Mau bertemu lagi besok sore? Di stasiun ini?"
Panji sedikit terkejut, tidak menyangka Sekar yang lebih dulu mengajaknya bertemu lagi. Namun, hatinya dengan cepat mengiyakan sebelum pikirannya sempat mencerna.
"Iya, tentu," jawabnya dengan senyum yang mulai mengembang.
Sekar tersenyum puas, lalu bangkit dari duduknya. "Kalau begitu, sampai besok, ya."
Ia melangkah pergi, meninggalkan Panji yang masih terpaku. Ia menggenggam cincinnya lebih erat, sambil menatap punggung Sekar yang semakin menjauh.
Besok... aku pasti akan menemuinya lagi.
Dan untuk pertama kalinya setelah kehilangan cincinnya, Panji merasa bahwa ada sesuatu yang lebih berharga yang mungkin akan ia temukan-jawaban tentang Sekar, dan mungkin juga tentang dirinya sendiri.
**********
Keesokan harinya, Sekar berdiri di peron stasiun setelah pulang kerja. Langit sore kembali dihiasi semburat jingga, membentuk siluet indah di antara lalu-lalang penumpang yang datang dan pergi.
Ia melirik jam tangannya, lalu tersenyum kecil.
Tepat waktu...
Dari kejauhan, Panji berjalan mendekat. Ada sesuatu yang berbeda darinya hari ini-bukan hanya semangat dalam langkahnya, tetapi juga sesuatu yang ia genggam di tangan.
Sekar memiringkan kepala, mencoba melihat lebih jelas. Dan saat Panji semakin dekat, ia baru menyadari...
Seikat bunga anyelir putih.
Panji sendiri tidak tahu mengapa ia membelinya. Saat melewati toko bunga tadi, langkahnya terasa ringan menuju rak yang penuh dengan bunga warna-warni. Tapi tanpa berpikir panjang, tangannya mengambil anyelir putih.
Dan sekarang, bunga itu ada di tangannya, siap diberikan kepada Sekar.
Sekar menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Bunga?"
Panji menggaruk kepalanya, sedikit canggung. "Iya, entah kenapa aku ingin memberikannya padamu."
Sekar menatap anyelir putih itu, lalu tersenyum. Ada cahaya lembut di matanya, seolah sesuatu yang tak terucap.
"Tahu tidak, Mas Panji?" katanya pelan. "Anyelir putih melambangkan kenangan dan takdir."
Panji terdiam. Ia tidak tahu soal itu. Tapi mendengar kata "takdir," hatinya bergetar pelan.
Sekar menerima bunga itu dengan lembut, menghirup aromanya.
"Lalu... apakah kita sedang menuju ke takdir kita?" tanya Panji setengah bercanda, meski dalam hatinya ia benar-benar ingin tahu jawabannya.
Sekar menatapnya, tersenyum samar. "Mungkin, Mas Panji sudah lebih dekat dari yang kau kira."
**********
Malam mulai turun, dan lampu-lampu jalan menyala satu per satu, menerangi trotoar di sekitar stasiun. Panji dan Sekar akhirnya memutuskan untuk singgah di sebuah kafe terdekat, tempat yang tampak nyaman dengan suasana hangat dan tenang.
Mereka duduk di meja dekat jendela, membiarkan angin malam menyapa lembut. Sekar tersenyum, lalu melambaikan tangan pada seorang pelayan.
"Mas..." panggilnya ramah.
Pelayan itu mendekat dengan senyum mengenali.
"Saya pesan dua nasi goreng kambing spesial dan es jeruk dua," ujar Sekar santai.
Pelayan itu mengangguk. "Seperti biasa ya, Kak?"
Sekar tersenyum. "Iya, benar."
Panji menatap Sekar dengan kening berkerut. "Seperti biasa?"
Sekar menoleh ke arahnya, masih dengan senyum misteriusnya. "Aku memang sering ke sini. Tempatnya nyaman, makanannya enak."
Panji mengangguk pelan, namun ada sesuatu dalam hatinya yang bertanya-tanya. Ada begitu banyak kebetulan di antara mereka-cincin yang mirip, pertemuan di stasiun, dan sekarang, Sekar tampak begitu familiar dengan tempat ini.
"Apa aku pernah bertemu denganmu sebelumnya?" tanya Panji akhirnya, mengikuti nalurinya.
Sekar menatapnya, lalu tertawa kecil. "Mungkin."
Jawaban itu tidak menjelaskan apa-apa, tapi entah kenapa, Panji merasa Sekar memang menyimpan sesuatu. Sesuatu yang perlahan mulai terungkap dalam pertemuan mereka.
Dan malam itu, di bawah temaram lampu kafe, Panji mulai menyadari bahwa pertemuannya dengan Sekar bukanlah kebetulan biasa. Di bawah cahaya temaram kafe, Panji dan Sekar berbincang dengan santai. Mereka saling bertukar cerita tentang keseharian, kebiasaan, hobi, serta hal-hal kecil yang membuat mereka bahagia.
"Aku suka membaca buku sebelum tidur," kata Sekar sambil mengaduk es jeruknya. "Terutama novel-novel lama yang punya makna mendalam."
Panji mengangguk. "Aku juga suka membaca, tapi lebih ke buku sejarah atau hal-hal yang berkaitan dengan perjalanan waktu."
Sekar terkekeh kecil. "Wah, serius sekali. Aku lebih suka kisah yang menyentuh hati."
Mereka terus berbicara, berbagi cerita dan canda. Sesekali Sekar tertawa kecil sambil menatap Panji dengan mata yang penuh kehangatan.
Hingga akhirnya, Sekar meletakkan gelasnya, menatap Panji dalam-dalam, lalu berkata dengan suara lembut, "Aku bahagia hari ini..."
Panji menatapnya, tersenyum. "Aku juga."
Sekar menarik napas pelan sebelum melanjutkan, "Aku juga berharap besok kau masih mengingatku."
Panji mengernyit, bingung dengan perkataan Sekar. "Kenapa aku harus melupakanmu?"
Sekar hanya tersenyum, tak menjawab. Ada sesuatu di balik matanya, sesuatu yang terasa begitu dalam dan sulit diartikan.
Panji ingin bertanya lebih jauh, tapi entah kenapa, ada dorongan dalam hatinya untuk membiarkan momen ini tetap seperti ini-hangat dan penuh misteri.
Satu hal yang pasti, perasaannya terhadap Sekar semakin tumbuh, meskipun ia belum sepenuhnya memahami siapa Sekar sebenarnya.
**********
Malam semakin larut saat Sekar tiba di rumah. Suasana rumahnya tenang, hanya terdengar suara jam dinding yang berdetak pelan. Ia melepas sepatu dan berjalan masuk, namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara ayahnya memanggil dari ruang tamu.
"Sekar... Anakku."
Sekar menoleh dan melihat ayahnya duduk di kursi favoritnya, menatapnya dengan pandangan lembut namun penuh arti.
"Ini sudah berlangsung tiga tahun sejak kecelakaan itu..." lanjut sang ayah dengan suara pelan, tapi penuh ketegasan. "Mau sampai kapan kau dan Panji begini?"
Sekar terdiam. Matanya sedikit melembut, namun senyum tipis tetap bertahan di wajahnya.
"Ayah... Mas Panji masih mencariku," katanya, suaranya terdengar seperti bisikan.
Ayah Sekar menarik napas panjang, lalu menatap putrinya dengan mata yang penuh kasih. "Tapi Panji tidak tahu yang sebenarnya, Nak."
Sekar menunduk, jemarinya menggenggam erat anyelir putih yang tadi ia terima dari Panji.
"Aku hanya ingin memastikan dia baik-baik saja, Yah," katanya lirih. "Aku ingin dia bahagia... meskipun tanpa aku."
Ayahnya menghela napas panjang, lalu bangkit dan mendekati Sekar. Dengan lembut, ia menepuk bahunya.
"Sekar... jika kau terus seperti ini, bagaimana jika kamu tidak pernah bisa melangkah maju? Hidupmu harus tetap berjalan Sekar...."
Sekar menatap ayahnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca, namun ia tetap tersenyum. "Aku hanya ingin menghabiskan sedikit waktu lagi bersamanya...Sekar mohon kepada Ayah...."
Di luar, angin malam berembus lembut, seakan membawa sebuah rahasia yang belum terungkap. Sekar tahu, waktunya bersama Panji tidak akan lama. Dan cepat atau lambat, Panji harus tahu yang sebenarnya.
**********
Kilasan Masa Lalu Panji
Tiga tahun lalu, Panji duduk di kursi belakang mobil, mengenakan kemeja putih dengan tangan yang berkeringat. Ibunya di samping, tersenyum menenangkan, sementara ayahnya fokus menyetir. Di depan mereka, jalanan tampak lengang, hanya ada beberapa kendaraan lain yang melintas.
"Hari ini adalah hari besarmu, Nak," kata ibunya lembut. "Kau siap?"
Panji tersenyum kecil. "Tentu saja, Bu. Aku sudah menunggu hari ini sejak lama."
Di sakunya, ia menggenggam erat sebuah kotak kecil berisi cincin perak dengan batu merah di tengahnya. Cincin itu adalah lambang janjinya dengan Sekar-cinta yang telah mereka bangun bertahun-tahun.
Namun, takdir berkata lain.
Sebuah truk melaju kencang dari arah berlawanan. Ayahnya membelokkan mobil secepat mungkin, tetapi semuanya terjadi terlalu cepat. Teriakan ibunya menggema, suara benturan keras terdengar, dan dalam sekejap, dunia Panji berubah menjadi gelap.
Ketika ia sadar, ia sudah berada di rumah sakit. Seluruh tubuhnya sakit, kepalanya terasa berat, dan yang lebih menyakitkan dari luka-luka di tubuhnya adalah kenyataan yang harus ia terima.
Ayah, ibu, dan adiknya-semuanya pergi.
Ia satu-satunya yang selamat.
Tapi anehnya, ada sesuatu yang hilang dari kepalanya. Ia merasa seperti ada potongan waktu yang menghilang. Dokter bilang itu akibat cedera di kepalanya-ia kehilangan ingatannya dan malangnya karena cidera kepala traumatis sehingga menyebabkan Panji mengalami Short Term Memory, ingatannya hanya bertahan paling lama 2 pekan.
Dan dua minggu itu... adalah waktu paling penting dalam hidupnya.
Panji tidak ingat mengapa mereka dalam perjalanan hari itu. Tidak ingat tujuan mereka. Tidak ingat siapa yang menunggu di ujung jalan.
Yang ia tahu, ia kehilangan segalanya.
**********
Malam itu, setelah berbicara dengan ayahnya, Sekar duduk di kamarnya. Ia menatap cincin di jarinya-cincin yang sama dengan milik Panji. Jemarinya perlahan mengusap ukiran di dalamnya, "S & P", sebuah kenangan yang tak bisa dihapus begitu saja.
Matanya terasa panas. Sudah tiga tahun berlalu, tapi hatinya masih tetap berada di hari itu-hari di mana ia seharusnya mengucap janji suci dengan Panji.
Namun, takdir merenggut segalanya.
Di tempat lain, Panji masih terjaga. Ia menatap cincin di tangannya yang baru ia temukan sore tadi. Perasaan aneh menyelimutinya-seperti ada sesuatu yang nyaris ia ingat, tapi selalu menghilang saat ia mencoba menggali lebih dalam.
Samar-samar, ia mengingat seseorang yang memanggil namanya dengan suara lembut.
"Mas Panji..."
Sebuah bayangan muncul dalam mimpinya-Sekar, mengenakan kebaya putih dengan rambut terurai, berdiri di tengah ruangan penuh cahaya. Ia tersenyum padanya, tetapi matanya dipenuhi kesedihan.
"Aku merindukanmu..."
Panji terbangun dengan napas memburu. Dadanya terasa sesak, seakan ada sesuatu yang menekan kuat di dalam hatinya.
Kenapa Sekar muncul dalam mimpinya?
Dan kenapa rasanya... ia pernah kehilangan Sekar sebelumnya?
Panji tidak tahu sejak kapan, tapi hidupnya terasa seperti sebuah kaset yang diputar ulang.
Setiap dua minggu sekali, sesuatu selalu berubah dalam dirinya. Ingatan tentang Sekar tidak sepenuhnya hilang, tetapi juga tidak utuh. Kadang ia merasa mereka baru bertemu, kadang ia merasa sudah mengenalnya sejak lama.
Dan Sekar... selalu ada di sana.
Sekar tetap tersenyum padanya, tetap menemaninya mencari cincin, tetap duduk bersamanya di bangku stasiun, tetap tertawa saat mereka makan bersama. Seolah tidak peduli bahwa bagi Panji, perasaan itu selalu dimulai dari awal.
Tetapi bagi Sekar... ini sudah terjadi berkali-kali.
Sore itu, langit oranye seperti biasa. Panji menunggu di stasiun, merasa ada yang kurang meskipun ia tidak tahu apa.
Kemudian, ia melihat Sekar datang.
Pakaian yang sama, senyum yang sama, langkah yang sama.
Hatinya berdebar aneh-perasaan familiar, seperti ia telah mengalami momen ini sebelumnya.
"Sekar... aku merasa aneh. Seolah aku sudah pernah menunggumu di sini sebelumnya."
Sekar tersenyum, tetapi tatapannya mengandung sesuatu yang tidak bisa Panji pahami.
"Mungkin kita memang ditakdirkan untuk selalu bertemu di sini, Mas."
Panji tidak menyadari bahwa dua minggu yang lalu, ia pernah berkata hal yang sama.
Dan dua minggu sebelumnya.
Dan dua minggu sebelumnya lagi.
Panji akhirnya mulai menyadari pola yang aneh. Ia mencoba mengingat detail setiap pertemuan dengan Sekar, mencoba mencari tahu kenapa setiap dua minggu perasaannya seperti direset.
Hingga suatu hari, ia bertemu dengan Pak Hermawan lagi.
Pak Hermawan menatap Panji dengan prihatin. "Mas Panji... kamu masih belum ingat, ya?"
"Ingat apa?"
Pak Hermawan menatap Sekar yang berdiri di belakang Panji. Gadis itu menggeleng perlahan, seakan meminta Pak Hermawan untuk tidak mengatakan apa pun.
Tapi Panji sudah muak dengan misteri ini.
"Kenapa aku merasa hidupku berulang-ulang, Pak? Kenapa aku selalu merasa kehilangan sesuatu?!"
Pak Hermawan menghela napas panjang. "Karena tiga tahun lalu, kau kehilangan ingatan dua minggu sebelum kecelakaan itu, Mas. Dan sejak saat itu, setiap dua minggu... ingatanmu selalu mengulang ke titik yang sama."
Panji terdiam.
"Dan Sekar... dia sudah menunggumu selama tiga tahun, berharap suatu hari kau akan mengingatnya lagi."
Sekar menggigit bibirnya, menahan air mata.
"Aku tahu ini melelahkan, Panji. Aku tahu betapa sulitnya bagimu," katanya pelan. "Tapi aku tidak bisa pergi. Karena aku masih berharap... suatu hari nanti, kau akan mengingat semuanya."
Matanya berkaca-kaca. "Hari di mana kau seharusnya menikah denganku."
Dada Panji terasa sesak. Potongan-potongan ingatan mulai bermunculan di kepalanya-mimpi-mimpi aneh yang selama ini ia abaikan, suara Sekar yang terasa begitu familiar, cincin yang mirip dengan yang dipakai Sekar...
"Aku..."
Sebelum ia bisa berkata lebih jauh, kepalanya berdenyut hebat.
Dunia berputar.
Semuanya menggelap.
Dan saat ia membuka matanya...
Hari sudah kembali ke titik semula.
Sekar datang ke stasiun.
Dan bagi Panji, semuanya dimulai dari awal lagi.
**********
Sore itu, langit oranye yang sama menyambut mereka di stasiun.
Panji duduk di bangku yang biasa. Kepalanya terasa berat, ada sesuatu yang ingin keluar dari pikirannya-sesuatu yang selalu kabur setiap kali ia mencoba mengingatnya.
Sekar datang. Masih dengan senyuman yang sama, masih dengan langkah ringan yang selalu membuat hati Panji terasa hangat.
Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda.
Saat mata mereka bertemu, sesuatu dalam diri Panji pecah.
Sekilas bayangan tentang Sekar bukan lagi hanya gadis yang baik hati yang membantunya mencari cincin.
Dia lebih dari itu.
Dia adalah seseorang yang pernah ia cintai.
Seseorang yang seharusnya telah menjadi istrinya.
Seseorang yang telah ia tunggu di hari pernikahannya-hari di mana dunia mereka berubah selamanya.
Kenyataan itu kembali.
Tiba-tiba, suara klakson keras, benturan besi, dan jeritan memenuhi kepalanya. Aroma darah, suara sirine, dan rasa sakit menyelimuti tubuhnya.
Dia melihat mobil yang ringsek. Tubuh-tubuh yang terbaring tak bernyawa. Ibunya. Ayahnya. Kakaknya.
Dan cincin... cincin itu seharusnya disematkan di jari manis Sekar.
Panji terisak.
Seketika itu juga, tubuhnya gemetar hebat.
Dia menunduk, menyembunyikan wajahnya di tangannya, mencoba menghalangi air mata yang tak bisa ia hentikan.
Sekar duduk di sampingnya, tanpa berkata apa-apa.
Dia hanya mengulurkan tangannya, menggenggam jemari Panji yang dingin.
"Aku mengingatnya..." suara Panji bergetar. "Aku mengingatmu... Aku mengingat kita..."
Sekar menggigit bibirnya, menahan air matanya sendiri.
"Tapi aku tahu, ini akan terulang lagi, kan?" Panji menatapnya dengan mata yang basah. "Besok... aku akan kembali melupakanmu, dan kau akan harus mengulang semuanya lagi."
Sekar tidak menjawab.
Karena mereka berdua tahu itu benar.
Dan itu adalah kenyataan yang lebih menyakitkan dari apa pun.
Mereka tidak ingin menghabiskan malam itu dengan kesedihan.
Jika ini adalah hari terakhir Panji mengingat, maka biarkan ini menjadi kenangan indah bagi mereka berdua.
Mereka berjalan perlahan di sepanjang trotoar stasiun, berbicara tentang kenangan lama-tentang pertama kali Panji bertemu dengan keluarga Sekar, tentang rencana bulan madu mereka ke Lombok, tentang rumah kecil yang dulu ingin mereka bangun bersama.
Sekar tertawa kecil saat Panji menceritakan betapa gugupnya dia saat pertama kali ingin melamar.
"Kau berlutut di hadapan Ayahku dan berkata, 'Pak, bolehkah saya meminta restu untuk menikahi anakmu? Kalau Bapak tidak mengizinkan, saya akan tetap mencintainya.'"
Panji terkekeh pelan di antara isakannya. "Ya Tuhan... aku benar-benar berkata seperti itu?"
Sekar mengangguk sambil tersenyum, meski matanya juga mulai basah.
Malam itu, mereka membiarkan waktu berjalan dengan perlahan.
Mereka menikmati setiap detik, seolah itu adalah detik terakhir mereka bersama.
Saat fajar mulai merekah, Panji mulai merasakan sesuatu yang aneh dalam pikirannya.
Seperti pasir yang perlahan terhapus oleh ombak, kenangan tentang Sekar mulai menghilang.
Dia masih bisa melihat wajah Sekar. Masih bisa mengingat suaranya.
Tapi nama itu...
Sekar...
Siapa Sekar?
Matanya yang tadi basah, kini berubah menjadi kosong.
Sekar melihat perubahan itu.
Hatinya terasa hancur, tapi dia sudah terbiasa.
Dia mengulurkan tangan dan menggenggam jemari Panji sekali lagi, sama seperti yang selalu ia lakukan.
Lalu dia tersenyum, meski hatinya terluka.
"Selamat pagi, Mas Panji. Aku Sekar."
"Mungkin ini pertemuan pertama kita."
Dan siklus pun terulang lagi.
**********
Panji menatap Sekar yang tersenyum di hadapannya, di bawah temaram lampu kafe yang mulai redup. Malam semakin larut, tetapi mereka tak beranjak. Ada sesuatu dalam tatapan Sekar yang membuat dadanya sesak, seolah menyimpan kebenaran yang belum sepenuhnya ia pahami.
"Aku bahagia hari ini..." Sekar berbisik pelan. "Aku juga berharap besok kau masih mengingatku."
Panji mengerutkan kening, seolah kata-kata itu menyentaknya ke dalam sesuatu yang familiar. Ia merasakan debar di dadanya, tapi juga ada ketakutan samar yang belum ia pahami.
Malam itu, Panji kembali ke kamarnya. Matanya terpejam, tetapi pikirannya penuh dengan Sekar. Lalu ia bermimpi-mimpi yang terasa begitu nyata.
Dalam bayangan itu, Sekar berdiri di hadapannya, mengenakan blus putih sepanjang lututnya, rambutnya tergerai sederhana. "Mas Panji, terima kasih... cincinnya indah sekali," ucapnya lembut, mengalungkan tangannya di leher Panji. Namun sekejap kemudian, gambaran itu hancur, berubah menjadi dentuman keras, suara besi beradu, jeritan, dan pendar cahaya yang menyilaukan.
Panji terbangun dengan keringat dingin. Dadanya naik turun, jantungnya berdetak kencang. Lalu, seperti ombak yang datang menerjang, ingatan itu kembali-
Mobil yang melaju di bawah hujan, perjalanan menuju rumah Sekar, tawa kedua orang tuanya di bangku depan. Lalu suara klakson, cahaya menyilaukan, hantaman keras-dan gelap.
Ia terengah, matanya melebar. Sekar bukan gadis asing. Sekar adalah calon istrinya. Dan kecelakaan itu... terjadi saat mereka hendak menikah.
Tangannya bergetar saat meraih cincin yang baru saja ditemukan. Ia membaliknya, membaca ukiran di dalamnya-S & P. Sekar dan Panji.
Seketika, pintu ingatannya terbuka lebar, tetapi rasa sakit yang mengikutinya begitu menyayat. Air mata panas jatuh di pipinya. Ia menggenggam cincin itu erat, seolah takut akan sesuatu.
Karena ia tahu.
Ia tahu ini akan terjadi lagi.
Esok, atau lusa, ingatan ini akan lenyap. Ia akan kembali melupakan Sekar. Ia akan kembali bertemu dengannya sebagai orang asing, mengulang kisah ini lagi, lagi, dan lagi.
Pagi menjelang, dan Panji merasa lelah. Saat matahari terbit, ingatan yang kembali ia temukan perlahan terkikis oleh sesuatu yang tak ia mengerti. Nama Sekar mulai terasa asing lagi. Cincin di tangannya hanya tampak seperti benda mati tanpa makna.
Dan di suatu tempat, Sekar hanya bisa tersenyum pedih. Karena ia tahu, Panji akan selalu kembali kepadanya. Tapi Panji tak akan pernah benar-benar mengingatnya.
Takdir mereka adalah lingkaran tanpa akhir.
Sebuah gelung waktu yang terus berulang.