Hari pertama masuk SMA, dan aku sudah tahu hidupku tak akan tenang. Bukan karena pelajaran atau guru killer, tapi karena satu orang: Ares.
Ares Irawan—nama yang membuat para guru angkat tangan dan murid-murid menjauh. Bad boy kelas tiga yang terkenal suka bolos, tawuran, dan... nggangguin aku sejak SMP. Entah kenapa, hidupku selalu jadi target keisengannya. Entah itu ngumpetin sepatuku, nyoret bukuku dengan spidol permanen, atau manggil aku “Bocah Ayam” setiap ketemu.
Dan sekarang? Kami satu sekolah lagi.
Aku baru saja duduk di bangku baruku saat seseorang duduk santai di kursi sebelah. Jantungku langsung melompat ketika aku melihat wajah dengan senyum jahil itu.
“Yo, Bocah Ayam. Lama nggak ketemu.”
Aku mendesah. “Kenapa kamu ada di sini, Ares? Bukannya kamu udah naik kelas tiga?”
“Turun kelas,” jawabnya enteng. “Biar bisa sekelas sama kamu.”
Aku menatapnya tak percaya. “Bohong.”
“Yah, beneran sih enggak. Tapi kebetulan aja. Takdir, mungkin?” Dia nyengir, dan aku ingin melempar penghapus ke wajahnya.
Hari-hariku berubah jadi neraka mini. Setiap pagi, dia duduk di sebelahku dan mulai mengganggu. Kadang dia narik tali sepatuku di bawah meja, kadang dia nulis puisi absurd di buku catatanku. Ares adalah definisi sempurna dari troublemaker.
Tapi... dia juga selalu ada ketika aku butuh. Waktu aku lupa bawa payung, dia tiba-tiba muncul dengan jaketnya, menutupi kepalaku. Waktu aku jatuh dari tangga, dia yang gendong aku ke UKS. Waktu aku menangis diam-diam karena nilai jelek, dia nggak ngomong apa-apa, cuma duduk diam di sebelahku sampai aku tenang.
“Kenapa kamu selalu ganggu aku, sih?” tanyaku suatu hari saat kami duduk di bangku taman belakang sekolah.
Dia menoleh, matanya serius untuk pertama kalinya. “Karena kamu beda. Kamu nggak pernah takut aku, walaupun aku nyebelin. Kamu bikin aku ngerasa nyata.”
Aku terdiam.
Ares bukan cuma troublemaker. Dia juga seseorang yang kesepian, seseorang yang haus perhatian tapi nggak tahu caranya minta. Dan entah sejak kapan... aku mulai menantikan gangguannya setiap hari.
Tiba-tiba dia meraih tanganku dan senyumnya kembali muncul. “Jadi, gimana? Boleh nggak, aku terus jadi masalahmu?”
Aku tertawa pelan. “Asal kamu tahu... kamu adalah masalah yang paling aku sayangi.”