Hujan sore mengguyur kota kecil itu, membasahi atap dan membungkus suasana dengan rintik-rintik lembut. Di sebuah apartemen lantai dua, Dira duduk di balkon, mengenakan kaus tipis dan celana pendek, menikmati aroma tanah basah sambil menyeruput teh hangat.
Pintu geser dibuka pelan dari dalam. Reza keluar, rambutnya masih basah dari mandi, hanya mengenakan handuk melilit pinggang. Matanya menatap Dira, lalu ikut duduk di sampingnya, bahunya menyentuh bahu Dira.
“Mau teh?” tawar Dira tanpa menoleh.
Reza mengangguk, lalu mengambil cangkir yang sudah disiapkan untuknya. Sesaat, hanya suara hujan yang terdengar, sampai akhirnya Reza meletakkan cangkirnya dan menatap Dira dalam-dalam.
“Kamu tahu nggak,” ucapnya pelan, “aku paling suka lihat kamu waktu hujan kayak gini.”
Dira tertawa kecil. “Basah dan kedinginan?”
“Cantik dan menggoda,” balas Reza, tangannya menyentuh lengan Dira yang dingin.
Mata mereka bertemu. Tak ada kata-kata lagi. Hanya napas yang mulai berat dan mata yang berbicara lebih dari ucapan.
Reza mendekat, mencium pelipis Dira, lalu turun perlahan ke pipi, dagu, hingga akhirnya bibir mereka bertemu dalam ciuman lembut namun perlahan semakin dalam. Tangan Dira menyusup ke leher Reza, menariknya lebih dekat.
Hujan tak juga reda, tapi dunia mereka seperti berhenti sejenak. Balkon itu menjadi saksi bisu saat tubuh mereka saling mencari kehangatan, saling mengeja rindu dengan sentuhan dan napas. Tidak terburu-buru, tidak juga bermain-main. Mereka menyatu, bukan hanya dalam tubuh, tapi juga rasa yang sudah lama tertahan.
Selesai semua, mereka kembali duduk di kursi balkon yang dingin, membungkus tubuh dengan satu selimut.
“Kenapa kamu selalu bisa bikin hujan terasa hangat?” tanya Dira, setengah mengantuk.
Reza tersenyum, mencium keningnya. “Karena kamu adalah rumah yang selalu ingin kupulangin.