JAM 3:33
Riyono terbangun oleh suara ketukan. Pelan. Tapi ritmis. Tok... tok... tok...
Dia melirik jam digital di dinding. 3:33 AM. Waktu yang aneh. Waktu yang sepi. Waktu yang katanya… bukan untuk manusia.
Ketukan datang dari pintu depan. Tapi semua temannya sedang tertidur di ruang tamu: Angga ngorok, Udin memeluk bantal, Dika dan Bogel sibuk saling tendang. Yang aneh, Riyono sadar: suara itu bukan dari luar rumah… tapi dari dalam lemari dapur.
Dengan langkah ragu, dia mendekat. Tangannya gemetar saat membuka lemari—*
Kosong.
Lalu tiba-tiba, suara bisikan datang. Bukan dari satu mulut… tapi dari banyak. Lirih dan kacau, seperti teriakan dari dasar sumur.
"Mereka lihat... mereka tahu..."
Riyono mundur. Jantungnya berdetak kencang. Dia lari membangunkan yang lain.
"Ada yang aneh, bro... gue—"
Tapi saat dia menyalakan lampu, dia membeku. Teman-temannya... semua berdiri. Mata mereka putih. Senyum mereka lebar, terlalu lebar.
"Kenapa buru-buru bangun, Yo?" tanya Angga, tapi suaranya bukan suara manusia. Suaranya seperti rekaman rusak, diulang-ulang.
Tiba-tiba, muncul ketukan lagi.
Tok. Tok. Tok.
Kali ini, dari cermin kamar mandi. Di balik bayangan, terlihat empat perempuan berdiri mematung. Ayu, Efi, Aisyah, dan Ismi.
Tapi ada yang salah. Kulit mereka keabu-abuan, seperti dibakar. Mata mereka hitam legam, meneteskan darah. Di dahi mereka... tergurat angka 333.
Ismi melangkah maju dan berbisik:
"Kami bukan temanmu. Kami cuma ingin tempat... di tubuhmu."
Riyono berlari keluar rumah, tapi rumah itu seperti tak berujung. Tiap pintu yang dibuka… kembali ke ruang tamu. Dan tiap kali ia kembali, satu teman lagi hilang. Udin duluan. Lalu Bogel. Lalu Dika. Lalu Angga. Lalu... hanya Riyono sendiri.
Atau mungkin tidak.
Saat dia menatap cermin untuk terakhir kalinya, bayangannya tidak mengikuti geraknya. Ia menunduk pelan. Di dadanya, tercetak angka merah yang membara:
333
Dan di belakangnya, suara pelan menggumam...
"Sekarang giliranmu, Riyono. Kami sudah lapar terlalu lama."