Namanya Ayu, seorang wanita sederhana yang hidup di sebuah desa kecil yang dikelilingi hamparan sawah. Ia dikenal ramah dan selalu membantu siapa pun. Namun, di balik senyum manisnya, ada hati yang sedang terikat dalam ikatan yang tidak ia inginkan.
Ayu menikah dengan Dimas, pria pilihan orang tuanya. Ia tidak membenci Dimas, tapi juga tidak mencintainya. Dimas adalah pria baik, mapan, dan bertanggung jawab—semua kualitas yang diinginkan orang tua Ayu. Tapi hatinya telah lama tertambat pada orang lain: Reza, sahabat masa kecilnya yang pergi ke kota untuk mengejar mimpi.
Pernikahan itu berlangsung meriah, semua orang tersenyum, kecuali Ayu. Di balik kebaya putih dan riasan tebal, matanya menyimpan luka. Ia mencoba menjalani hari-hari bersama Dimas, menyiapkan sarapan, menyambutnya pulang, bahkan tertawa bersama—semua seperti peran dalam sandiwara yang ditulis oleh orang lain.
Dimas tahu Ayu belum sepenuhnya mencintainya. Tapi ia tidak memaksa. Ia hanya berkata, “Kalau hatimu belum bisa terbuka untukku hari ini, tak apa. Aku akan tetap ada, menunggumu di sini.”
Waktu berlalu, musim berganti. Ayu mulai melihat sesuatu dalam diri Dimas yang selama ini tersembunyi—kesabaran, ketulusan, dan kasih sayang yang tak pernah dipaksakan. Sedikit demi sedikit, hatinya yang dingin mulai mencair.
Sampai suatu pagi, saat Dimas tertidur di sofa setelah begadang merawatnya yang sakit, Ayu duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya.
“Mungkin aku tidak memulai pernikahan ini dengan cinta,” bisiknya, “tapi mungkin... aku bisa belajar mencintaimu.”
Dan sejak hari itu, semuanya perlahan berubah. Bukan karena cinta datang seperti kilat, tapi karena dua orang yang asing bisa tumbuh bersama, dengan kejujuran dan kesabaran sebagai fondasinya.