“Aku heran sama kamu, Des.” Ucap Rian disertai helaan napas panjang. “jelas-jelas kamu itu menyukaiku, tetapi kenapa tingkah kamu bisa semena-mena begitu denganku?” Rian menarik tangan Desya. Desya pun menarik tangannya kembali, sehingga tetap memunggungi Rian. Rian melangkah mundur. Ada terpaan angin sesiut di gang sempit dekat kafe tempat mereka berdebat kecil. Malam telah begitu larut, sehingga tidak terlalu banyak lalu lalang menusia di sana. Sinar rembulan yang menyemburatkan cahayanya, tampak begitu indah di atas sana. Tidak dengan peristiwa lima tahun lalu itu. Sebuah peristiwa yang menyimpan kenangan pahit bagi keduanya. Gemerlapan gemintang di langit, telah menjadi saksi untuk keduanya. Menyaksikan, betapa pedihnya penderitaan yang dilalui keduanya. Sebuah rasa cinta, yang meninggalkan kepedihan di benak keduanya.
“Apa benar yang dikatakan Rina kepadaku ? Bahwa kamu melakukan hal ini ke semua pria yang kamu temui ?” sambungnya. Kini, kedua mata Rian menatap tajam ke arah Desya. Ditambah suaranya sedikit bergetar, seolah ia cemas bila itulah kebenaran yang sesungguhnya.
Degup jantung Rian berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya. Tangannya mulai berkeringat. Desya mengepalkan kedua tangannya, seolah ingin meredam seluruh emosinya sejenak. Ia membalikkan tubuhnya, kemudian menatap Rian dengan lekat. Sehingga tampak binar indah di sudut kedua mata Rian, meski warna merah lebih dominan di matanya.
“Rina, tahu dari mana soal itu ? Informan mana yang sudi memberitahu berita konyol begitu ?” Ia melipat kedua tangannya di dada, untuk menutupi jemarinya yang saling bergemetar. Tubuhnya mendadak dingin, keringat mulai berurai dari kulitnya yang hangat. Ia tertawa kecil, agar kekhawatirannya mereda sejenak.
“Jadi itu benar ?”
“Mungkin, baru sebagian,” balasnya seolah tak mau kalah.
“Jadi semua pelukan, sentuhan lembutmu, bahkan ciuman hangatmu itu. Kamu berikan kepada pria lain juga?” tanyanya dengan wajah yang mulai memerah. Kedua matanya makin membesar, nada bicaranya mulai tinggi.
Desya masih menatap Rian dengan tatapan yang begitu tajam.
“Ayolah, kamu terlalu mudah ditipu. Ciuman pertama kita.” Ucapnya dengan terkekeh. Dahinya mengernyit. “Aku masih bisa membodohimu ternyata, walaupun aku perempuan polos.” Mata kanannya mengedip. “Ciuman kedua, ketiga, keempat, kelima atau tadi keenam ?” ujarnya sembari menggerakkan jemari-jemarinya untuk menghitung. “argh..., aku bahkan lupa, sudah berapa kali aku berciuman. Terlalu banyak pria yang menyentuh bibirku.” Sambungnya, menyentuh bibir lembutnya dengan jari telunjuknya. Sesekali sorot matanya menelisik ke seluruh tubuh Rian yang makin bergidik. Rian memicingkan mata kanannya. Seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Hatinya merasakan sebuah kecewa yang luar biasa. Kedua tangannya mengepal. Napasnya diembuskan begitu panjang.
Cahaya lampu dari lampu di jalanan mulai redup. Beberapa ada yang menyala dengan terang, sisanya remang. Setelah mendengar ucapan barusan, yang mengguncangkan hati Rian. Ia lalu mendorong tubuh Desya hingga membentur tembok. Amarah Rian kian tersulut. Pikirannya semakin kacau, bercampur aduk dengan kebingungan yang terus melandanya. Apakah aku ini hanya sebuah bahan permainan untukmu ? Atau kau itu perempuan murahan yang gila ? Sungguh tega mengkhianati cintaku yang begitu tulus ini, gemingnya.
Brak...
Rian Mencengkram kuat bahu Desya. Lalu. Mengulum bibir Desya yang hangat. Dengan paksaan, sehingga bibir Desya mengeluarkan sebuah darah. Setelah mencium paksa, Rian melihat Desya dengan tatapan menjijikkan. Ia kemudian membuang ludah ke rumput.
Juih...
Tidak sampai di situ saja. Rian kemudian, menarik kuat sebuah kalung indah yang bertengger manis di leher Desya. Darah dari bibirnya, masih mengalir, sebab terlalu beringas Rian menciumnya.
“Hilanglah dari hidupku. Aku membencimu!” pekiknya penuh kebencian, setelah berhasil mengambil kalung indah itu dari leher Desya. Tidak ada yang menduga, sebuah perasaan cinta berubah menjadi benci. Rian pun meninggalkan Desya sendirian di sana. Persis keinginan Desya. Hanya saja, Desya tidak tahu, bahwa akan sesakit ini hatinya. Embusan angin semakin dingin. Desya semakin tersungkur ke bawah, ia bersimpuh. Menanggung penderitaan ini sendirian. Kedua matanya yang berbinar, berubah menjadi berkaca-kaca. Sebuah sedu hadir di benaknya sekarang. Ditemani keheningan malam, ia menjatuhkan air matanya di sana. Tidak ada siapa-siapa yang melihatnya, menyedihkan seperti ini. Tangisan itu berlarut, sehingga membuat air matanya kering.
Desya sebenarnya sangat mencintai Rian. Baginya, Rian adalah semestanya. Hanya dengan Rian, ia bisa merasakan kenyamanan dari sebuah cinta sesungguhnya.
Tetapi, ia terpaksa melakukan hal ini. Sebab, semua itu demi kebahagiaan Rian. Ia rela melakukannya. Meskipun, harus membuat dirinya sendiri merasakan sebuah kesakitan, bahkan penderitaan yang menyanyat hatinya. Bahkan melukai hatinya.
Apakah, sungguh ada perempuan yang tega melukai kekasih hatinya sendiri ? Iya, dialah Desya. Entahlah, datang dari mana pikiran itu. Yang menyebabkan ia harus melakukan hal menyedihkan itu.
Desya masih duduk termenung di sana. Merenung, pun meratap. Tangan kanannya mengusap darah yang masih mengalir. Membelai lembut lehernya.
“Rian..., aku sangat mencintaimu, tetapi-“ ucapnya dengan isakan tangis. “tetapi, ini demi kamu. Demi kamu, Rian...,” sambungnya menanggung penderitaan yang luar biasa.
Apakah dengan cara seperti ini, aku berhak membuatmu lebih bahagia ? Apakah dengan cara seperti ini, kamu memahami rasa cintaku, untukmu, Rian ? geming Desya.
Sepasang Kekasih
Lima tahun yang lalu – 2019
Rian, merupakan seorang pria berpostur tinggi. Hidungnya mancung. Rambutnya selalu tertata rapi, ia memiliki paras yang menawan pun rupawan. Pun, ia merupakan seorang kakak dari sahabat dekat Desya ketika duduk di bangku SMP, Feni Hardian.
Sejak pertama kali bertemu dengannya di rumah sahabatnya, yang bernama Feni. Hati Desya berdegup kencang, seperti ada getaran yang tak biasa. Kedua matanya, menelisik ke seluruh tubuh Rian.
“Tampan sekali...,” gemingnya di dalam hati saat itu. Sehingga wajar, Rian menjadi pria impian Desya.
Saat Desya berusia 23 tahun. Mereka dipertemukan kembali di tempat kerja. Sebuah, pertemuan yang tidak terduga. Desya sebagai sales yang baru saja memulai bekerja. Tak ada keganjalan, bahkan kesulitan yang melanda. Semuanya, berjalan cukup lancar. Tentu saja.
Desya yang kehilangan kedua orang tuanya, saat covid melanda. Hanya memiliki seorang kakak yang menikah dengan bule Australia. Itu pun kakaknya memustukan untuk menetap di sana. Menetap, di sebuah negara yang mempertemukannya dengan suaminya itu. Sementara, Feni sahabat dekatnya. Menempuh study di New York, ia melanjutkan S-2 di sana. Di sebuah negeri yang memiliki empat musim itu.
Tentu saja, ketidakhadiran kakak serta Feni di dekat Desya. Menjadikan hati Desya hampa, sepi, tak memiliki teman bicara yang membuat hatinya nyaman.
Kata-kata sepi, seolah sudah melekat di benak Desya. Seolah ia akrab dengan kesepian yang melanda hatinya itu. Meskipun, ada saja. Pria yang berusaha untuk mendekatinya. Tetap saja, Desya lebih memilih untuk sendirian, dan kembali berteman dengan sepi.
Baginya, semua pria di muka bumi ini sama saja. Tidak ada yang memiliki daya tarik tersendiri. Tidak ada pria yang membuat hatinya, tersentak, lalu jatuh hati. Tidak ada.
Sehingga di kantor siang itu. Ketika jam istirihat tiba. Rian tiba-tiba mengambil sebuah kursi kosong, dan duduk di sampingnya. Sembari menanyakan kabar kepada Desya. Ia terkesiap.
“Siang, Desya. Gimana, urusan kerjaan. Lancar ?” tanyanya dengan menyodorkan segelas espresso dingin ke arah Desya.
“Kak Rian, ah... Aman terkendali sih kak, sejauh ini,” timpal Desya. Ia melempar senyum paling manis ke arah Rian. Yang tentu saja, hal itu membuat Rian semakin takjub dengan Desya. Ada seperti ratusan kupu-kupu melintasi perut Rian saat itu. Ketika ia bisa menghabiskan waktu bersama Desya. Menurut Rian, Desya adalah perempuan yang menyenangkan. Untuk itulah, Rian tertarik kepada Desya.
“Diminum, Sya...,” tawarnya. Desya meringis.
Setelah peristiwa itu, Rian menjadi begitu sering mendatangi Desya di saat jam istirihat tiba. Pun sekadar menjadi teman berbincang yang mengasyikkan.
Kedatangan Rian saat itu, bagi Dena merupakan keajaiban luar biasa dari Tuhan. Dengan adanya hadirnya, ruang yang tadinya kosong di dalam hatinya, mendadak dipenuhi oleh rekahan bunga berwarna-wani. Seperti gelas kosong, yang mulai terpenuhi oleh air. Rian begitu sempurna. Bahkan sangat sempurna di mata Desya. Ia hadir di waktu yang tepat, dan perasaan yang tepat pula.
Hanya dengan Rian, hati Desya merasakan sebuah getaran. Hanya dengan Rian, ia mulai merasakan apa itu jatuh cinta. Pun, sebaliknya. Hanya dengan Desya, Rian juga merasakan sebuah getaran yang tidak biasanya. Hanya dengan Desya, hatinya meletup-letup bahagia tak terhingga. Argh, apakah aku sedang jatuh cinta ?, gumam Rian.
Meskipun keduanya tidak pernah saling mendeklarasikan hubungan mereka, tetapi keduanya adalah sepasang kekasih. Mereka begitu tampak serasi, selalu bersama kemana pun, kapan pun, dan bagaimanapun kondisinya. Sehingga, semua orang di kantor tahu, mengenai hubungan istimewa itu.
Rian, juga telah memperkenalkan Desya kepada kedua orangtuanya. Keluarga Rian sangat menyetujui, serta mendukung hubungannya dengan Desya. Ditambah, Mama Rian pernah berbisik pelan kepada Desya.
“Kapan disegerain, udah nggak sabar ingin menimang cucu,” bisik Mama Rian. Yang membuat hati Desya makin bahagia.
“Hehe..., iya tante,” balasnya tersipu malu.
Rian ternyata, juga begitu menyukai anak kecil. Maka ketika Papa dan Mamanya mengutarakan keinginan untuk segera diberikan cucu, Rian bersemangat. Tergambar raut sumringah di dalam parasnya yang tampan. Rian menyenggol lengan Dena. Ia mengedipkan mata sebelah kirinya. Seolah pertanda, bahwa Rian benar-benar tidak sabar untuk segera menikahi Desya.
Bagi Rian, kehadiran anak kecil adalah sebuah anugerah yang tidak bisa digambarkan melalui rangkaian kata bahkan kalimat. Apalagi kedatangan seorang anak, yang merupakan anugerah terindah dari Tuhan. Untuk itu, Rian benar-benar tidak sabar, menunggu momen. Di mana, seseorang akan menyebutnya sebagai seorang ‘ayah’, sementara Desya, ‘Ibu’.
Tetapi, ada sebuah hal buruk yang tiba-tiba menimpa Desya. Tidak lama setelah angan-angan indah itu disampaikan Rian kepadanya. Di sebuah malam yang begitu dingin itu. Ketika, pijar indah dari sinar rembulan tampak. Badan Desya mendadak lemas. Ada bercak darah keluar dari kemaluannya. Ditambah, perutnya mengalami nyeri yang hebat.
“Aku kenapa...,” ucapnya penuh tanda tanya.
Awalnya, Desya mengira itu gejala awal pada haidnya. Tetapi, ada yang salah dengan semua ini. Perutnya semakin sakit. Ketika ia, mencoba untuk berdiri. Wajahnya menjadi pucat pasi. Di rumahnya, tidak ada siapa pun. Hanya ada bising suara kipas angin yang menyala, juga televisi yang dibiarkan menyala. Desya merasakan sakit yang luar biasa. Dia berusaha meraih ponsel di atas kasurnya.
“Kenapa sakit sekali perutku, biasanya tidak sesakit ini,” gerutunya lemas.
Rahasia Besar Desya
Sebuah malam hari yang begitu mendebarkan. Sebuah flek darah, tiba-tiba keluar. Desya semakin panik, pasalnya hal itu tidak terjadi sekali atau dua kali saja. Bahkan hampir terjadi di tiap bulannya. Terkadang, haidnya juga tidak terlalu lancar. Karena, hal itu benar-benar mengganggu kinerjanya sebagai sales. Ia kemudian, memberanikan diri, untuk memeriksakan kepada dokter obgyn di salah satu rumah sakit terbaik di kota tempat tinggalnya.
Sembari menunggu giliran namanya dipanggil. Desya menunduk, melihat kedua tangannya yang bertumpu di atas pahanya. Lalu, memalingkan wajahnya ke depan. Ada banyak manusia memasang raut sedih di ruang tunggu rumah sakit. Semenyedihkan itukah, tempat ini ? batin Desya.
“Nona Desya...,” ucap salah satu perawat. Mendengar namanya dipanggil, lamunan sesaat itu buyar. Dengan berjalan tertatih-tatih, jantungnya sedikit berdebar ketika memasuki ruangan pemeriksaan.
Dokter itu, memiliki senyuman yang indah. Raut wajahnya terbilang ramah. Namun, tidak dengan kalimat-kalimatnya, yang terdengar cukup payah di telinga Desya.
“Maaf, Nona. Sepertinya hasil pemeriksaan ini, menunjukkan bahwa Nona Desya mengidap sebuah penyakit mengerikan,” katanya sembari melepas kacamata tebalnya. Lalu, menyeka pelu di dahinya dengan sapu tangannya.
“A-apa ? Pe-penyakit, apa itu, Dok ?” Desya terbata-bata. Tentu saja, hatinya ikut syok. Ia bahkan tidak menyadari, bahwa ia akan menjadi manusia yang menumpahkan air matanya di tempat ini.
Dokter memegang pundaknya. Lalu, memperlihatkan sebuah benjolan yang terdapat di mulut rahimnya.
“Anda mengidap penyakit kanker rahim, Nona. Segeralah melakukan pengangkatan pada sel kanker, dan...-“
“Dan, apa, Dok ?” tanyanya semakin penasaran.
Dokter itu memalingkan wajahnya, ia menatap para perawat yang melempar kesedihan atas kondisi pasiennya.
“Dan, Nona Desya ke depannya akan sulit, bahkan tidak bisa memiliki anak, dari rahim Nona sendiri. Untuk itu, Nona Desya harus bisa tabah. Nona Desya pasti bisa sembuh dari ujian berat yang telah diberikan, Tuhan,” ujar Dokter.
Kata-kata yang baru saja ia dengar. Persis, sambaran petir yang mengguncang seluruh isi semesta. Kilatan dahsyat yang membuat siapa saja, merasa takut. Begitulah kira-kira perasaan Desya sekarang. Sebuah kalimat yang membuat hidupnya sangat hancur.
“A-pa. Aku tidak bisa memiliki anak ?” tanyanya di dalam akal pikirnya yang makin kisruh.
Ia keluar dari ruangan dengan kedua mata yang memerah. Kedua tangannya mengepal dengan erat. Rasanya dunianya ingin runtuh seketika. Seperti tak ada harapan ke depannya.
Sesampainya Desya di rumah. Ia memilih untuk menutup diri di dalam kamar. Menyelimuti tubuhnya yang lemas dengan selimut lembut. Menutup rapat-rapat pintu kamar, bahkan kaca jendelanya. Tak ada secercah cahaya, pun embusan angin yang menerobos melalui celah-celah pintu dan jendela. Ia benar-benar frustasi sekarang. Pikirannya kalut, takut, dan cemas. Seandainya Rian mengetahui hal ini. Apakah, Rian masih menginginkannya, atau malah menjauhi Desya. Pikiran-pikiran itu, yang membuat Desya bimbang.
Maka, jalan satu-satunya yang ia punya. Adalah merahasiakan hal ini darinya. Sebuah rahasia besar Desya. Yang bahkan kakak kandungnya sendiri tidak mengetahuinya. Tak ada yang boleh mengetahui tentang rahasia besar ini.
“Aku tidak boleh memberitahukan hal ini kepada siapa pun!” ucapnya tegas.
Di hari yang sama pula. Rian ada tugas di luar kota. Selama 3 hari, Rian memfokuskan dirinya pada kerjaannya. Sesekali, ia menghubungi Desya. Tetapi, tak ada jawaban. Rian masih berpikiran positif. Mengira, bahwa Desya tengah sibuk.
“Lagi sibuk kali dia, chatku nggak dibales-bales,” gerutunya sambil memandangi layar ponselnya.
Dua minggu kemudian. Rian mengunjungi salah satu toko emas terbaik di dekat tempat tinggalnya. Ia memilihkan sebuah cincin yang indah untuk Desya.
“Bungkus yang ini, Mbak,” katanya menunjuk cincin yang memiliki kilauan indah. Penjaga toko segera membungkus cincin itu, dengan mengemasnya begitu indah dan cantik.
Rupanya cincin itu, akan ia berikan kepada Desya. Sebagai wujud, melamar Desya.
Sehingga langit malam menenggelamkan panorama senjanya. Rian berniat memberikan sebuah kejutan yang indah, pun mengesankan untuk Desya.
“Sayang, ketemuan yuk. Di tempat kafe biasanya,” Rian mengirim pesan singkat itu kepada Desya.
Desya melihat notifikasi pesan masuk dari Rian. Ia masih takut untuk bertemu dengannya secara langsung. Di sisi lain, ia juga takut kehilangan sosok lelaki yang benar-benar ia cintai.
“Duh..., bagaimana ini. Aku harus berbuat apa ?” ucapnya gelagapan. Sehingga jemari-jemarinya saling bergemetar tak keruan. Perasaan di dalam hatinya, semakin semrawut. Dan...
“Argh...., aku ada ide,” pekiknya.
Ia segera berdandan. Mengenakan lipstik merah menyala, dengan setelan gaun berwarna merah.
“Baiklah, mari bertemu,”
Di kafe yang ramai pengunjung itu. Rian duduk termenung menunggu kedatangan Desya. Aroma kopi menguar mengisi seluruh ruangan kafe. Lantunan melodi musik pop menyala, menambah kebisingan kafe. Terdengar lonceng bel berbunyi, tanda seorang pengunjung masuk.
“Hai sayang,” pekik Rian ceria, sembari melambaikan tangannya ke arah Desya. Desya tersenyum tipis. Rian menyilakan Desya duduk di kursi berwarna cokelat.
Desya menyeringai sejenak. Melewatkan tatapan dalam dari Rian.
“Sayang, kamu terlihat berbeda,”
“Beda darimana ya ?”
“Meskipun begitu, kamu masih terlihat begitu cantik-“
“Hush..., ada apa dengan pertemuan kita malam ini ?”
Tetiba ada sebuah sentilan hangat di dalam benak Rian. Seperti bukan Desya yang ia kenal. Seperti berhadapan dengan perempuan asing.
“Sayang, apakah kamu baik-baik saja ?”
“Hmm, aku sangat baik,” balasnya sembari menggigit ibu jarinya. Ia menyilangkan kakinya, sehingga pahanya terlihat mencolok.
Rian berdeham. Tangan kanannya berniat mengeluarkan sebuah kotak cincin dari balik kemeja berwarna abunya. Namun, tertahan oleh keragu-raguan.
“Kamu seperti orang asing, Des..,”
“Asing katamu, astaga kamu itu buta apa bagaimana,”
Mendengar kalimat barusan, Rian menundukkan kepalanya. Seperti menyadari sesuatu hal. Bahwa ia tampak kecewa dengan sikap Desya malam ini. Rian ingin menggenggam tangan Desya yang tampak dingin di atas meja itu. Sayangnya, Desya menarik kembali tangannya itu, sehingga Rian tidak bisa menjangkaunya.
Rasa rindunya selama ini, seperti terbuang sia-sia. Setelah pertemuan malam itu dengan Desya. Seperti ada sesuatu yang tengah Desya sembunyikan terhadap Rian. Yang Rian sendiri, tidak tahu. Hal apakah itu ? Kenapa sikap Desya semakin membabi buta ? Lalu, kenapa ia berubah menjadi acuh kepadanya. Meskipun, di dalam benak Rian, ia yakin. Bahwa Desya, masih mencintainya, atau justru mengkhianatinya ?
Berpisah
Desya meminta bantuan terhadap Rina. Dia adalah rekan kerja di kantor. Siang itu, di kafe kantor. Desya menarik lengan Rina.
“Rin, ada yang perlu aku omongin ke kamu, aku butuh bantuan kamu, sekali ini saja...,” ucapnya memohon, dengan memasang raut wajah memelas.
“Bantuan apa ?”
“Buat Rian menjauh dariku, buat dia membenciku,”
Mendengar hal itu, hati Rina bergejolak riang. Seperti yang sudah lama ia inginkan. Bahwa Rina juga menyukai Rian.
“Tenang saja, aku pasti membantumu ? Ada masalah apa memangnya ?”
“Tidak ada apa pun, hanya saja. Aku ingin sendiri untuk saat ini,”
Rina memeluk Desya.
“Baguslah, kenapa tidak dari dulu begitu,” ucap Rina di dalam hatinya.
Sehingga pertemuan kedua kalinya antara Rian dan Desya di kafe tempat biasanya. Membuat situasi sedikit canggung, tidak ada percakapan mesra, sapaan hangat. Desya segera bangkit dari duduknya, lalu berjalan keluar di gang dekat kafe itu. Ada kunang-kunang melintas sejenak. Lampu-lampu jalan, yang saling beriringan redup, lalu terang. Juga, suara gemerisik angin yang kentara embusannya. Rian menghentikan langkah Desya. Lalu, membuat sebuah keributan kecil di sana.
“Kamu jelas-jelas masih menyukaiku kan, Des. Aku sungguh heran sama kamu, kenapa kamu bersikap begitu denganku, seolah menganggapku tiada!” cercanya dengan amarah yang begitu meledak-ledak. Rian berusaha merengkuh tanan Desya, namun Desya menepisnya. Sehingga Desya masih memunggungi Rian.
“Kata Rina, apakah kamu melakukan itu kepada setiap pria yang kamu temui ?” tanyanya dengan suara yang bergetar. Desya mengangguk.
“Mungkin, belum semua terungkap,”
Rian makin tak keruan. Kedua tangannya mengepal erat. Matanya memerah, hatinya seakan ingin meledak sekarang juga. Bahwa apa yang dikatakan Rina kepada Rian tentang ciuman, pelukan, dan sentuhan itu benar adanya. Rian masih berusaha menerima itu semua, namun, kalut akan ketidakpercayaannya saat ini.
Desya malah, menantangnya. Dengan berkata, “Kamu ini polos apa bagaiman ya ? Mudah sekali ditipu. Ciuman pertama, kedua, ketiga, keempat, kelima atau keenam. Argh..., entahlah aku sudah lupa, terlalu banyak pria yang menyentuh bibirku,” dengan membelai hangat bibirnya dengan jari telunjuk sebelah kirinya.
Rian tidak tahan mendengar ocehan menggelikan itu. Sehingga ia mendorong tubuh Desya, hingga menyentuh tembok gang. Lalu, menciumnya dengan paksa. Ada tetesan darah keluar dari bibirnya saat itu. Setelah berciuman, Rian menelisik ke seluruh tubuh Desya, dengan tatapan jijik. Kemudian, ia membuang ludah di atas rerumputan yang menghijau.
Belum usai, Rian lalu menarik kuat kalung yang bertengger indah di leher Desya. Tanpa memperdulikan, ia kesakitan atau tidak.
“Hilanglah, dari hidupku sekarang. Aku membencimu!” katanya kejam. Disertai dengan air mata yang tiba-tiba turun. Desya menjatuhkan diri ke tanah, ia semakin tersungkur. Melihat bayangan Rian mulai menjauh darinya, sehingga lenyap. Ia bersimpuh, menanggung penderitaan itu sendirian.
“Maafkan aku, aku terpaksa melakukan ini. Ini semua demi kamu, Rian,” Desya tidak kuasa menahan bendungan air matanya, ia kalut dengan rasa sedihnya.
Tak ada pilihan lain, selain memilih jalan untuk ‘berpisah’, satu-satunya cara, agar jatuh cintanya tidak semakin dalam. Walaupun, Desya harus mengorbankan cinta pertamanya yang begitu indah dan menggemaskan itu.
“Apa pun itu, akan aku lakukan demi kebahagianmu, Rian. Apa pun itu, meskipun, aku harus menanggung semua penderitaan ini, berpisah denganmu adalah caraku mencintaimu,” kata Desya dengan sesenggukkan. Air matanya menjadi kering. Kedua matanya makin sembab. Hatinya makin sakit.
Ada semburat cahaya pagi yang berusaha masuk melalui celah-celah jendela kamar Desya. Siutan angin pagi, tak kentara di dalam kamarnya. Kesedihan masih melanda perasaannya. Seperti tidak ada gairah untuk memulai pagi dengan senyuman manis seperti biasanya. Ia melihat kalender, hari ini adalah hari senin. Dia memilih untuk merebahkan diri di atas kasurnya, memeluk tubuhnya yang menderita, sebab sakit juga hatinya yang lebih sakit.
Ia juga memutuskan untuk ‘berpisah’ dengan tempatnya bekerja. Resign dari kantornya. Agar ia bisa makin menjauh darinya.
Desya menghubungi kakaknya, dan berencana untuk berpisah pula dengan negeri yang membuatnya bertemu dengan pria itu. Pria yang sudah membuatnya mengenal arti, apa itu cinta yang sesungguhnya.
“Aku ingin pindah ke Australia, tolong jemput aku”
“Sya, ini terlalu mendadak. Ada apa ?” ujarnya di sebuah sambungan telepon.
“Nggak papa, ingin suasana yang berbeda saja,”
“Oh begitu, ya udah. Siapin aja, ntar kakak jemput,”
Kepergian Desya meninggalkan luka yang masih menganga di sana. Ia tidak ingin berlarut menanggung kesedihan itu. Ia berpikir, dengan kepergiannya ini. Bisa membawanya mendapatkan udara segar kembali. Juga, membantu melupakan mantan kekasih hatinya itu.
Penyakit yang diderita Desya, masih ia rahasiakan dari kakaknya. Tidak ada yang tahu selama ini. Bahwa sebenarnya, ia menahan sakit, berjuang melawan kanker yang menggerogoti tubuhnya. Desya berusaha tegar, dan kuat menjalani ini semua.
“Baiklah, here we go. Bye, Jakarta,” pekiknya memejamkan mata di gate bandara.
Perubahan Drastis
Saat ini – 2024
Pijak kaki Desya, telah tiba di atmosfer negara tetangga, Australia. Lalu lalang manusia di bandara, mengingatkannya akan sosok mantan kekasihnya itu. Segera ia membuang jauh-jauh pemikirannya itu. Kakaknya melambai.
“Desya, here...,”
Embusan angin begitu terasa sejuk di sini. Warna biru di atas langit sana, tampak begitu memeson. Indah sekali, gumamnya, sembari menghirup udara segar di Australia.
Kakak Desya memeluk Desya secara tiba-tiba. Ada sebuah perasaan rindu mendalam.
“Kakak, kangen banget tahu sama kamu,” ucapnya memeluk erat satu-satunya adik termanisnya.
“Kakak, udah, Desya pengap,”
Keduanya bercengkerama di sebuah kafe dekat pantai. Sorot lampu berwarna-warni begitu indah, di situasi malam. Desya menyeruput kopinya.
“Kenapa memutuskan ke sini, kakak penasaran,”
“Sudahlah, aku ingin mengikuti jejak kakak. Biar dapet bule sekalian di sini, hahaha...,” ucapnya lalu menyenggol kaki kakaknya.
‘Ih..., kamu ini. Oke, kamu bisa menginap di apartemen dekat sini ya,”
“Baiklah,”
Setelah menghabiskan waktu yang cukup lama. Juga, bercerita perihal masa kecil. Keduanya pun berpisah di sebuah persimpangan kota yang ramai lalu lalang manusia.
“Take care, and have a nice day here, good luck, dear...,” kata kakak Desya. Kemudian melambaikan tangannya, lalu pergi.
Desya tiba di apartemennya. Meletakkan koper, tas barang-barang dan ponselnya. Ia lalu melihat pemandangan luar dari dalam jendela besar.
“Semoga kamu bahagia di sana,” pekiknya.
Hari silih berganti, siang berubah menjadi malam. Semesta terus bergerak. Desya makin mengalami perubahan drastis sekarang. Rambutnya tak panjang lagi. Ia terpaksa memotong rambutnya hingga sebahu. Di Canberra, Desya melakukan perawatan intensif untuk penyakitnya. Akibat operasi, efek kemo serta stress, menjadikan tubuh berisinya kurus.
Ia berjuang sendirian melawan penyakitnya. Meski tidak mudah, meski harus menangis setiap harinya, meski harus menanggung kesakitan itu sendirian. Desya masih yakin, bahwa ia bisa sembuh.
Pagi itu, ia memilih keluar menikmati embusan angin yang sejuk di depan apartemennya. Menyaksikan pepohonan yang diterpa langsung oleh angin, juga kendaraan yang mondar-mandir di jalanan. Desya melihat ke atas langit, ia melayangkan tangannya sehingga mentari menutupi sinar mentari.
“Aku merasa mendingan sekarang, walaupun masih merasakan sakit sedikit,” gemingnya.
Di pertengahan tahun, covid-19 kambuh lagi. Banyak korban jiwa berdatangan silih berganti. Membuat Desya mengurung diri lagi, di apartemennya, setelah baru saja merasakan kelegaan sebentar.
Berbulan-bulan, ia menunggu momen mendebarkan ini. Ketika pemerintah Canberra menyatakan kasus covid mulai reda. Pun, kondisi Desya yang berangsur membaik, berkat rutin berobat, serta kemotrapi yang ia jalani. Ia memutuskan untuk mencalonkan dirinya sebagai karyawan di salah satu restauran milik kakaknya.
Kakaknya terkekeh mendengar kemauan Desya.
“Tak perlu begitu, kesini saja. Bantu kakak mengurus restauran. Tak usah menjadi karyawan,”
“Tapi kak,”
“Hush..., turuti perkataan kakak,” sambungnya di telepon. Desya berdeham.
Sehingga Desya datang sebagai seorang adik yang berniat membantu usaha restauran kakaknya. Di sana, kakaknya sangat terbantu dengan adanya Desya yang sigap membantunya.
Restauran itu menyediakan makanan khas Indonesia, juga aneka seafood, dan pasta. Banyak turis asing juga, yang memuji masakan khas Indonesia. Mereka menyukai aroma sedap dari kaldu soto, juga kenikmatan bakso. Untuk itulah, usaha tersebut sukses di tangan Desya. Sebagai mantan sales, ia juga memperlihatkan keahlian berbicaranya kepada warga asing, tentang bagaimana ia menjelaskan makanan-makanan itu kepada para tamu yang datang. Beruntung, mereka menikmati momen itu, dan senang dengan pelayanan restauran.
Lambat laun, usaha kakak Desya mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
“Wah, kakak tidak menyangka kamu ternyata...,” kata kakak Desya sembari mengacungkan dua jempolnya. Desya tersenyum lebar.
Musim dingin berlalu begitu saja. Daun-daun mulai menguning, sehingga tiba di musim semi yang tetap indah pemandangannya. Desya melihat ke arah langit. Menatap, betapa menyenangkannya tinggal di Canberra.
Rasa rindu terhadap negeri lama mulai meraja lela di dalam akal pikirnya. Ia menilai, bahwa tubuhnya akan baik-baik saja. Desya pun memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Dan mengurus surat izin tinggal, ditambah mengurus berkas-berkasnya untuk melanjutkan pendidikannya. Sayangnya, ada dokumen yang masih tertinggal di kantor tempat ia bekerja dahulu, yakni ijazah S-1nya.
Desya menghela napasnya sebentar. Hatinya menahan luka lamanya kembali. Pikirannya seperti menariknya lagi, ke pusaran masa lalu. Tetapi, raganya menolak.
“Astaga, kenapa harus tertinggal di sana,” gerutunya memasang raut wajah yang masam. Desya menyilakan poninya, lalu merenung sejenak. Perihal luka yang menyanyat batinnya.
Saling Sapa
Hubungan romansanya dengan Rian berakhir begitu saja, setelah mengalami carut marut yang menimbulkan kesakitan, dan luka mendalam bagi keduanya. Namun, Desya masih berhubungan baik dengan adiknya Rian, Feni. Feni, juga sempat menjumpai Desya di Canberra. Menghabiskan waktu untuk sekadar berlibur di sana, pun bercengkerama syahdu dengan Desya. Desya menawarkan sebuah perjanjian penting kepada Feni, agar tidak melibatkan Rian. Ia setuju. Dan hubungan persahabatan keduanya tetap langgeng. Tanpa Feni sadari, ia juga masih merahasiakan penyakitnya itu. Tak ada yang tahu. Bahwa Desya selama ini sakit. Feni sedikit terkejut, ketika pertama kali berjumpa dengan Desya di sana. Badannya begitu kurus. Dan ia tidak menyadari, bahwa Desya tengah berjuang melawan sakitnya.
“Kamu diet ? Ngapain,” ucapnya kala itu. Desya menimpali dengan senyum hangat.
Siang itu, setibanya ia di Jakarta. Ia segera menghubungi bagian HRD yang sudah tidak ia kenali di perusahaannya. Kata bagian HRD, Desya harus tiba di sana saat istirahat siang. Desya menjawab ‘iya’, ia setuju ketika diminta datang siang itu juga.
Cahaya terik mentari begitu tajam menyorot semesta, Desya mengecek terlebih dahulu di instagram. Tentang posisi Rian. Mencari tahu keberadaanya saat ini, apakah ia sedang berada di kantor atau sedang tugas luar kota.
“Ah ketemu,” ucapnya terperanjat takjub, setelah melihat unggahan story Rian, yang baru saja di update.
“Pas, banget nih. Dia lagi ngisi seminar nasional di Bali. Bakalan aman,” sambungnya membelai lembut dadanya.
Desya mempersiapkan dirinya untuk pergi kantor. Mengenakan kardigan berwarna cokelat tua, juga bando berwarna hitam. Kulit putih pucatnya tertutupi pakaian serba panjang. Agar, tubuh kurusnya tidak menarik perhatian banyak orang.
Setibanya di kantor. Desya tidak sengaja bersebrangan dengan Rian, di escalator. Persis, saat keduanya pertama kali bertemu di hari pertama Desya bekerja. Kedua mata Desya terpejam sesaat. Seperti kagum, takjub, dan terpesona. Akan ketampanan paras Rian, sebab selama ini Rian sama sekali tidak pernah memosting wajahnya di sosmed. Desya juga telah mempersiapkan mentalnya. Bila nantinya, akan berhadapan dengan Rian.
Melihat Rian sekilas, membuat degup jantungnya berdebar lagi. Namun, ia sadar, bahwa Rian bukanlah miliknya lagi. Tubuh Rian terlihat begitu berotot, pun terlihat makin dewasa. Desya sedikit terkejut. Begitu pula sebaliknya, Rian juga menatap Desya, ia seperti melihat pijar indah dari sinar rembulan di malam yang gelap. Sangat indah. Rian merasa, bahwa Desya masih cantik, dan terlihat makin dewasa.
“Hmm..., apakah aku tidak salah lihat, barusan Desya, kan ?” gumam Rian mencoba memastikan bahwa perempuan yang ia lihat tadi, adalah Desya.
Mereka pun tidak sengaja bertemu. Lalu saling menyapa. Ada kecanggungan melanda.
“Desya..., apa kabar ? Kamu ada perlu apa di sini” Rian membuka suara. Kedua matanya tak berhenti menatap lekat paras cantik Desya. Desya tersenyum tipis. Walaupun, dibenak Rian bergeming, Desya berubah. Seperti tengah kehilangan berat badannya, apakah ia sedang diet ?
“Ri-Rian,” balasnya sedikit terbata-bata, ada rasa gugup melanda tubuhnya. “aku perlu mengambil ijazahku, mari,” sambungnya kemudian melenggang pergi. Ia tidak ingin ada basa-basi berkepanjangan lagi, yang membuatnya teringat masa-masa indah dengannya. Untuk itu, ia berusaha keras menghindari Rian di sana.
Ia segera mengambil ijazahnya. Ternyata ijazahnya selama ini tidak ditahan. Hanya perlu diverifikasi saja. Desya lupa untuk melakukan hal itu.
“Ups, ternyata aku yang teledor. Huft..,” pekiknya sedikit kesal.
Desya pun pulang. Di saat ia melewati lobbi kantor. Mereka berpas-pasan kembali. Desya memalingkan wajahnya ke depan. Berusaha, untuk tidak menyapanya lagi. Terlihat, Rian tengah berbincang serius dengan staff recepsionist. Ia sudah menjadi General Manager rupanya, pun ditambah memiliki tim yang solid.
Desya juga mengetahui, bahwa selama ini. Rian dan Rina menjalin sebuah hubungan spesial, sudah hampir dua tahun hubungan itu berlangsung.
“Kak Desya, ya. Yang dulu sempet jadi sales di sini, mantan kekasih kak Rian, kan ?” sapa salah satu pekerja kantor di sana. “semenjak kakak nggak ada, kak Rian malah pacaran dengan Rina,” pungkasnya.
“Ah, begitu ya, mari,” sahut Desya.
Di dalam hati Desya, sebenarnya ia masih menyisihkan sebuah ruang kosong untuk Rian, ia juga masih memiliki sebuah rasa terhadap Rian. Namun, lagi-lagi Desya sadar. Bahwa ia bukanlah perempuan yang sempurna, yang layak disandingkan dengan Rian.
“Semoga, kalian saling berbahagia,” ucapnya getir. Disertai pikiran penuh kecewa terhadap Rina.
Ego
Udara di Jakarta, memang berbeda dengan yang ada di Canberra. Lebih sejuk dan dingin di sana. Jakarta, terlalu dipenuhi asap tebal dari kenalpot kendaraan. Pagi itu, Desya bersiap-siap lagi, untuk melanjutkan pengurusan surat izin tinggalnya.
Setelah Dari kejauhan ada seseorang yang memperhatikannya. Langkahnya semakin dekat dengan Desya.
“Kamu, Desya, bukan ?”
“Iya, benar.”
“Aku Grace, rekan kerja usaha kakakmu, di Canberra,” jelasnya. Tidak menyangka, keduanya bisa bertemu di Jakarta.
“Sedang apa, kak Grace di Jakarta ?”
“Pengurusan merk, biar lebih terpercaya dan ada HAKInya saja,”
“Wah kebetulan kak Grace, apakah usaha milik kakakku bisa didaftarkan juga,”
“Bisa,”
Desya pun sekalian mengurus paten merk usaha kakaknya.
Waktu berlalu begitu saja. Siang berlabuh menjadi malam. Begitu juga sebaliknya. Saat bosan melanda, Desya menyempakan diri untuk pergi ke kafe. Tempat yang sering Rian, dan Desya kunjungi. Entah kenapa, Desya ingin pergi saja ke sana. Dan membuat sebuah kesalahan fatal. Di sana, mereka bertemu.
Kejadian demi kejadian mengantarkan Rian dan Desya bertemu. Seperti mengulang peristiwa di masa lalu. Secara tidak sengaja, Desya mengunjungi tempat-tempat yang sering keduanya kunjungi saat masih berpacaran dulu. Mall, toko baju, dan kafe. Rian pun ternyata, masih menyimpan kenangan indah itu bersamanya, dengan mengunjungi tempat-tempat itu pula.
Walaupun, di hati Rian sudah ada perempuan lain. Tetapi, apakah boleh. Mengulas kenangan lama ? Disaat masih berhubungan dengan orang lain ?, Desya bertanya-tanya.
Malam yang dingin. Embusan angin melintas begitu kencang. Desya mengunjungi kafe itu lagi. Secara bersamaan Rian juga ke sana.
“Desya,” gumam Rian di dalam hatinya, ketika mengetahui keberadaan Desya di kafe itu.
Rian tidak berpikir panjang. Ada sebuah ego besar di dalam dirinya. Lalu, menarik paksa lengan Desya keluar, menuju gang yang sama. Di sebuah tempat 5 tahun yang lalu, tempat yang membuat keduanya harus berakhir tragis.
Rian mengembuskan napas panjangnya sejenak. Kemudian, melihat Desya dengan sorot mata yang hangat.
“Sya, aku masih sangat penasaran sama kamu. Kenapa, tiba-tiba kamu bisa ngomong hal berengsek seperti 5 tahun yang lalu ?”
“Itu sungguhan, aku berniat menipumu.”
“Harus dengan cara begitu, Sya.” Emosi Rian meledak kembali. Saat ia mendapatkan jawaban yang mengarah pada peristiwa di masa lalu. Rian mendesak Desya. Ia masih mencerca Desya dengan pertanyaan-pertanyan yang sama, alasan apa yang membuatnya meninggalkan Rian. Jawaban Desya masih sama. Tetapi, hati Rian kali ini. Dibuat tak percaya. Ia seperti memiliki sebuah feeling, bahwa ada sesuatu hal yang tengah disembunyikan oleh Desya. Tapi, hal itu apa ? Rian masih menyeledikinya.
Rina, hanyalah sebagai pelampiasan egonya saja. Pikir, Rian. Dengan cara ia menjalin hubungan spesial dengannya. Ia bisa melupakan Desya. Nyatanya salah. Tidak ada kenyamanan disaat bersama dengan Rina. Ia sama sekali tidak menemukan rumah, ciinta, dan berdebar di dekatnya. Kali ini, ketika Desya memunggunginya lagi. Hati Rian berdebar begitu kencang. Dengan ego yang membara, meskipun saat itu usianya sudah 33 tahun. Rian menarik lengan Desya begitu kuat. Lengan Desya makin kecil, sehingga memudahkan Rian mencengkeramnya. Kali ini, Rian langsung mengulum bibir lembut Desya dengan hangat. Seperti menanti, sebuah momen indah ini. Sinar rembulan menyerbakkan sinarnya. Di bawah remang-remang cahaya lampu di gang itu. Desya terperanjat kaget. Kepalanya seperti dibuat melayang ke angkasa. Ada seperti jutaan kupu-kupu melintas dari balik perutnya. Kedua matanya lalu memejam. Buru-buru ia enyahkan. Ia berusaha untuk menolak ciuman itu. Namun, tubuhnya terlalu lemah melepas dekapan hangat itu. Sebuah dekapan hangat yang terkadang ia rindukan.
“Argh, apakah ia sudah gila,” gumamnya di dalam hati. Ia pun, seperti terbawa arus. Kemudian, merangkul Rian. Dan berbalas ciuman mesra itu. Hanya ada dersikan angin. Keduanya pun berciuman dengan penuh mesra. Ditemani keheningan malam. Juga, hati yang sama-sama saling menyimpan sebuah rindu. Dan rasa rindu itu, tak pernah dilayangkan satu sama lain. Meski ingin mengucapkan, “Aku merindukanmu,”
Desya makin larut dengan ciuman itu. Rian membelai hangat kepalanya, dan makin memeluknya erat. Tak ada siapa-siapa yang menghalangi kedua mantan kekasih itu. Melakukan, sebuah ciuman nakal, di malam yang dingin, di malam yang hening.
“Apakah aku sudah kehilangan egoku ?” Geming Desya.
Terkuak
Keesokan paginya, Desya terbangun. Dari malam yang begitu melelahkan. Kedua matanya membelalak kaget, mengetahui Rian tidur di sofa apartemennya. Hatinya dihantui rasa bersalah.
“Hah, bagaimana bisa ini terjadi. Apa yang sudah aku lakukan ?” tanyanya bingung. Semalam, Rian terlalu mabuk. Sehingga setelah ciuman itu berlangsung, Desya membopongnya ke apartemennya. Tak ada pilihan lain, selain membawanya pulang.
Rian pun bangun. Tanpa banyak berbasa-basi, ia pun membuka suara. “Kenapa, kamu membalas ciumanku? Apakah kamu masih mencintaiku ?”
Desya diam saja. Ia berniat pergi dari apartemennya. Dan di pagi yang mencengangkan itu. Tiba-tiba seseoang membuka paksa pintu kamar apartemennya.
“Siapa itu ?” tanya Desya panik.
Namun tak ada jawaban. Setelah pintu itu terbuka, Desya kembali syok. Mengetahui keberadaan Rina, dengan raut wajah yang memerah. Di sampingnya, berdiri seseorang berseragam hitam. Yang membuka paksa pintu apartemennya. Lelaki asing itu pergi. Rina lalu masuk, sembari melipat kedua tangannya di dada.
Ia berjalan pelan. Menelisik seluruh ruangan dengan tatapan jijik.
“Bagus, kalian sudah sampai mana. Di tahap berselingkuh ini ? Ketahuan ya ?”
“A-apa ? Rina, tahan. Jangan bertindak sembrono, jangan berkata macam-macam. Kami tidak selingkuh. Aku bisa jelasin semuanya,”
“Hallah, nggak perlu banyak basa-basi. Kamu itu keterlaluan Desya!” teriaknya tak keruan, yang membuat. Ada keributan besar sekarang.
“Kamu itu perempuan cacat. Perempuan mandul, penyakitan, yang nggak akan layak dicintai seorang pria manapun. Kamu itu nggak bakalan bisa hamil, walaupun semalam kamu dengan bebas, dengan enak bersama kekasihku, hah!” ucapnya beringas, lalu menunjuk-nunjuk Desya.
Desya tak bisa berkutik. Hatinya begitu hancur. Mendengar ucapan kasar Rina.
“Bagaimana kamu tahu, Rin. Bagaimana ?” tanyanya cemas, air matanya tetiba turun. Mengalir membasahi kedua pipinya yang makin cekung.
“Aku tahu semuanya. Kamu perempuan licik,” tambahnya.
Tentu saja, Rian tercengang. Hatinya terkejut bukan main.
“Apa maksudmu, Rin ?” Rian mendekat ke arah Rina. Kini, ia sudah tahu semuanya. Bahwa alasan, kepergian Desya adalah untuk menutupi penyakitnya selama ini.
“Jadi, selama lima tahun ini. Desya sakit ?” cerca Rian kepada Rina. “Jawab, Rin!” Rina dihadapkan banyak pertanyaan dari Rian. Rina mengangguk. Desya lalu pergi, tanpa mengatakan apa pun. Kesedihannya masih menguar. Melihat kepergian Desya, membuat Rian tergerak hatinya untuk mengejarnya.
“Rian!” ucap Rina beringas.
“Diam, kita putus. Jangan cari aku lagi,”
“Tapi, aku sungguh mencintaimu, Rian,”
Rian tak menghiraukan Rina. Ia berusaha mengejar Desya. Tetapi, ia kehilangan jejaknya. Desya bersembunyi di parkiran. Mengendap-endap di antara mobil-mobil yang terparkir rapi. Hatinya sesak, semuanya ikut berantakan.
Sehingga langit telah berganti menjadi langit yang dipenuhi dengan senja. Sinar mega orangenya yang terlampau indah. Desya bangkit. Dan menuju ke apartemennya. Di sana, sudah kosong. Tak ada siapa-siapa di dalamnya. Ia tersungkur ke lantai. Menjatuhkan dirinya dengan lemah, tak berdaya.
“Bagaimana ini ? Aku gagal menyembunyikan rahasia besarku. Bagaimana, bila Rian semakin membenciku, dan menatapku makin jijik, persis kejadian 5 tahun lalu ?” katanya dengan hati yang penuh luka.
Merelakan
Desya meratap seharian di dalam kamar apartemennya. Kedua matanya kian bengkak, pun sembab. Suaranya makin parau. Hatinya menjadi bergejolak kacau. Pikirannya penuh beban.
Dan Rian, masih terus berusaha mencari keberadaan Desya. Ia menelponnya berkali-kali. Namun, tak ada sahutan. Ponsel milik Desya sengaja ia matikan.
Sehingga Desya memandang ruangan kamarnya itu. Ia tidak ingin ada Rian di sisinya.
“Aku harus pergi dari sini, aku tidak ingin dia menemukanku di sini,” gemingnya. Ia lalu bangkit, menyeka air matanya yang tumpah semua.
Di hari yang begitu menyesakkan hatinya. Desya membereskan seluruh barang-barangnya. Ia berniat pergi dari apartemennya, dan mencari penginapan sementara di hotel. Sekadar, menghindari Rian.
“Maafkan, aku. Tetapi aku harus tetap menjauh darimu, meski di dalam hatiku, ada namamu,” ucapnya penuh prihatin.
Jakarta adalah sebuah tempat tinggal yang cukup nyaman. Hanya di Jakarta, Desya merasakan jatuh cinta yang sesunguhnya. Walaupun, ada saja badainya. Kini, semua urusan pribadinya sudah beres. Ia pun mempersiapkan diri lagi, untuk pulang ke Canberra. Masih ada sisa waktu 3 hari sebelum kepulangannya ke Canberra. Namun, Desya berniat memajukan jadwalnya. Sehingga esok hari ia akan pergi. Meninggalkan Jakarta, dan seluruh kenangan indahnya. Beruntung, perubahan jadwal mendadak itu tetap bisa ia lakukan.
Desya berpindah hotel lagi. Kali ini, hotel yang dekat dengan bandaranya. Tentu saja Rian terlambat mengetahuinya.
Sinar terik mentari telah menyapa. Desya bersiap diri, mengenakan long dress panjang berwarna hitam polos, juga mengenakan topi dan syal hangat. Ia mendorong kopernya. Memegang tiket pesawat dengan jemarinya yang sedikit bergetar. Sesekali ia menengok ke belakang. Seperti menunggu seseorang. Namun, tak ada siapa-siapa di sana.
Bandara yang luas itu. Terdengar sebuah suara lantang memanggil namanya. Deru napasnya terdengar lepas. Keringat menetes deras.
“Desya!” teriak Rian, yang masih berusaha mengejar Desya. Walaupun Desya sudah memasuki ruangan pengecekan tiket. Desya tidak memalingkan wajahnya sama sekali. Ia menahan kesedihan yang terus menggebu.
Ia telah merelakan cinta pertamanya di sana. Merelakan segenap kasih sayang yang telah diberikan Rian kepadanya.
“Tolong, jangan pergi.” Ucapnya, lalu terisak sedih. Kesedihannya menguar. Dan, Desya semakin menjauh dari pandangannya.
Rian berlutut, menjatuhkan dirinya di gate bandara. Tak peduli banyak lalu lalang manusia yang melihatnya. Hatinya terluka. Pun, ia tidak rela. Desya harus pergi lagi, meninggalkannya untuk yang kedua kalinya.
“Bagaimana bisa kamu pergi begitu saja, Sya...,” katanya mengacak-acak rambutnya. Seperti seseorang yang tengah berduka.
Rian pun, segera menelpon adiknya.
“Dek, ini kakak. Kakak mau nanya. Apakah kamu tahu, bahwa selama ini Desya sakit ?” tanyanya dengan suara yang masih parau.
“Kak Rian, suara kak Rian kenapa ? Desya sakit apa ? Feni nggak tahu. Desya nggak pernah cerita apa pun tentang sakitnya kepada Feni.”
“Desya sakit dek. Kayaknya kanker rahim, kakak juga baru tahu dari Rina. Kakak-kakak bener-bener kacau sekarang dek,”
“Ya ampun, Desya sesakit itu, kenapa dia nggak pernah cerita. Kak, Feni harap, hubungan kakak sama Desya baik-baik aja, ya.”
Keduanya pun mengakhiri sambungan telepon itu. Dan Rian pulang ke rumahnya, dengan suasana getir, nan pahit yang melanda seluruh tubuh dan pikirannya.
Feni lalu menghubungi Desya.
“Sya, kamu sakit ? Kenapa kamu nggak pernah cerita. Kak Rian, baru aja nelpon aku.”
“Fen, cukup. Tolong maafin aku ya, aku nggak ada niat buruk menyembunyikan sakitku ini. Hanya saja...” katanya dengan isak tangis yang tidak bisa ia tahan lagi. Feni juga larut dengan suasana sedu. Ia juga menitihkan air matanya.
“Sya, apa pun yang terjadi. Kamu harus kuat ya, kamu harus yakin. Kalau kamu bisa sembuh,”
“Iya, Fen. Pasti...,”
“Apakah hubunganmu dengan kak Rian baik-baik saja, Sya..,”
“Maafkan aku sekali lagi, Fen. Hubunganku dengan kakakmu sudah berakhir, semenjak 5 tahun yang lalu..., tolong sampaikan permintaan maafku padanya, ya...”
Feni terkejut. Dan pembicaraan itu berakhir begitu saja. Sehingga, Feni menebak. Bahwa, kandasnya hubungan romansa itu, sebab perkara sakitnya Desya. Feni mulai paham.
Langit di atas masih tampak cerah. Feni segera menghungi kakaknya. Dan menceritakan peristiwa sesungguhnya. Bahwa sebenarnya, perkara yang membuat Desya memutuskannya adalah perihal sakitnya. Pun, menyampaikan pesan maaf dari Desya. Rian menelan ludahnya. Ternyata, tebakannya benar. Bahwa Desya tidak mungkin gila lelaki yang telah diceritakan Rina kepadanya.
Feni juga menghubungi Mamanya. Memberi tahu, kondisi sesungguhnya Desya. Beruntung, Mama Rian tidak membenci Desya. Justru merasa iba dan mendoakan kesembuhannya.
Mereka tidak menyalahkan kondisi Desya. Mereka mau menerima kekurangannya. Namun, apakah Desya mengetahui hal itu ?
Perihal Mencintai Yang Sesungguhnya
Di dalam kamar, Rian menangis deras. Menyeka berkali-kali air matanya yang luruh ke bawah. Kekecewaan yang besar, melanda hatinya. Sebab, mengetahui bahwa Desya menghindarinya lantaran penyakitnya itu. Rian banyak memikirkan tentang Desya. Ia menimbang-nimbang, bahwasanya, perasaan di dalam hatinya, hanya untuk Desya.
“Bagaimanapun juga, aku tetap mencintainya,” pekiknya sembari meremas spreinya.
Ia lalu bangkit. Segera menjumpai Mama dan Papanya. Sementara, mereka juga sudah tahu tentang kondisi Desya yang sebenarnya.
“Ma, Pa. Rian berniat menemui Desya di Canberra. Kata, adek. Dia di sana, di tempat restoran milik kakaknya. Tetapi-“
“Nak, Mama ini sudah tahu. Kalau Desya sakit. Mama rela, Mama dan Papa juga ikhlas. Kalau selama ini, yang bisa membuatmu bahagia adalah dia, kejarlah.” Kata Mama Rian. Seolah paham, tentang kebahagian Rian, selama ini yang membuatnya bahagia bukan Feni melainkan Desya.
Rian semakin bersemangat usai mendapatkan restu dari orang tuanya.
“Apakah Mama dan Papa bersedia, menerima kekurangannya apa pun itu ?”
Mama Rian menatap dalam kedua mata Papanya. Seperti ada kesedihan yang melanda, namun ditahan. Mamanya mengangguk, lalu menggenggam erat kedua tangan Papa Rian.
Tanpa perlu berlama-lama di sana. Rian segera memesan tiket. Dan terbang menuju Canberra. Ada kepingan hatinya di sana. Yang harus ia perjuangkan.
Langit menujukkan pekatnya. Ada banyak gemintang bertebaran indah di langit Canberra. Suasana sejuk melanda raganya. Ia tiba di sana. Dan segera menelisik restauran tempat ia bekerja.
“Ah, ketemu!” gumamnya senang.
Dengan mengenakan setelan kemeja berwana hitam. Ia menata rapi juga rambutnya. Ia siap betemu dengan perempuan pujaan hatinya.
Restauran itu begitu ramai di sana. Rian menelisik ke segala arah. Berharap, bertemu dengan Desya. Lalu, seseorang menepuknya dari belakang. Dan itu...
“Tuan, silakan. Anda mau memesan hidangan istimewa apa malam ini ?” tawar Desya dengan santun, ia masih bersikap perofesional, memperlakukan Rian bak tamu pada umumnya.
“Ada hidangan spesial malam ini, apakah Anda berkenan, memilih menu ini, Tuan ?”
Rian mengangguk sembari bernapas lega. Rian berbisik pelan ke arah Desya.
“Aku ingin hidangan spesial itu, yaitu waktu berhargamu. Aku ingin berbincang sebentar denganmu,”
Desya tertegun. Ia menolak sebenarnya. Tetapi, kakaknya menangkap basah keduanya. Lalu memberi kode. Seolah, tidak apa, meluangkan waktu sebentar bersama Rian.
Di luar restauran keduanya saling duduk berhadapan.
“Aku menerima permintaan maafmu, Sya.” Rian membuka suara.
Desya masih diam. Masih tak berani menatap wajahnya. Ada kecanggungan melanda hatinya.
“Sya..., aku mohon, tetaplah di sisiku. Aku mau-“
“Rian, sudahlah. Aku sedang bekerja saat ini. Lain waktu saja, ya.” Desya bangkit, lalu meniggalkan Rian sendirian di sana.
“Besok. Iya, besok sore. Apakah kamu ada waktu. Aku perlu bericara denganmu, sebagai seorang teman,” teriak Rian. Desya berhenti dari langkahnya. Ia masih tidak menoleh. Seorang teman, geming Desya.
Desya mengangguk.
“Baiklah, di mana kita bisa bertemu ?”
“Di taman dekat pantai,”
“Hmm..., okey.”
Langit senja menerbakan pesona indahnya. Desya mengenakan setelah berwarna hitam putih, yang membalut tubuhnya yang kurus. Ia juga mengenakan topi, serta syal. Meskipun, kondisi tubuh Desya tidak lagi berisis. Ia tetap cantik, sangat cantik bahkan.
Rian melambai, lalu melempar sebuah senyum menawan ke arahnya. Ia tidak menyangka. Desya mau, menemuinya di sana. Serta menepati janjinya.
Keduanya duduk tak saling berdekatan. Ada jarak di sela-sela mereka. Embusan angin melintas syahdu.
“Sya, banyak hal yang ingin aku utarakan kepadamu,” Rian menatap Desya lekat-lekat. Hatinya sedikit gugup. Takut, membuat Desya merasa tak nyaman.
“Bicaralah, tentang apa ?”
“Tentang seorang perempuan yang begitu aku cintai. Dia sangat cantik, anggun. Terlebih sekarang, yeah..., walau penampilannya sedikit berubah. Namun, dia tetap cantik.”
“Beruntung, perempuan itu ya...,”
“Tentu, Sya. Aku mengenalnya di kantor. Pertama kali bertemu dengannya, di eskalator. Kamu tahu, betapa indah binar matanya saat itu. Dan saat, kita bertemu lagi dan lagi, hatiku merasa jatuh hati kepadanya. Aku sendiri juga bingung, kenapa hal itu bisa terjadi. Apakah karena kebaikan hatinya, atau ada yang lain, menurutmu, Sya...,”
Desya terkekeh. Ia memalingkan wajahnya sesaat, sebab kalut. Melihat paras Rian yang begitu tampan dari jarak dekat.
“Siapa perempuan beruntung itu,” ujarnya sangat penasaran. Ia berharap, dialah yang dimaksud Rian. Atau justru ada perempuan lain yang memikat hatinya.
“Apakah dia kekasihmu, Rina ?” Desya menebak.
“Ngawur kamu. Dia itu, teman baik sekaligus teman terdekat adikku.”
Desya tercengang. Hatinya seperti diguyur air es.
Apakah yang dia maksud perempuan itu, aku ?, gemingnya di dalam hati.
“Tetapi Sya, aku sendiri juga bingung. Tentang caraku mencitainya. Dia berubah, Sya. Pernah waktu itu, dia bersikap sangat arogan kepadaku, dan menyalahkan dirinya sendiri. Serta berpura-pura baik-baik saja, padahal dia sangat menderita. Juga menipu dirinya sendiri bahwa ia mencintai lelaki asing, agar bisa menjauhiku. Lalu, perempuan itu menghilang.”
“Aduh, lalu ?”
“Dan sekarang, aku menemukannya, Sya. Berada cukup dekat dengannya, membuat duniaku terasa aman, nyaman dan tenang. Hatiku berdebar lagi, Sya.” Rian berkata begitu dengan suara yang sedikit bergetar. Ia ingin, Desya menyadari. Bahwa perempuan yang ia ceritakan adalah dirinya.
Desya masih berpura-pura untuk tidak peka. Rian kemudian, menggenggam tangan Desya.
“Sya, tadinya aku hanya ingin berbicara sebagai seorang teman. Namun, kini aku ingin berbicara sebagai seorang kekasihmu lagi. Apakah kamu mau menerimaku kembali ? Dan, perempuan yang aku ceritakan tadi, adalah kamu. Kamu, Sya. Cinta pertamaku yang sempat menghilang, dan karena kamu, Sya. Aku bisa melihat dunia dengan penuh kenyamanan. Serta menemukan arti kebahagiaan yang sesungguhnya,” Rian mulai berkaca-kaca.
Desya mencoba menerima kalimat-kalimat indah itu.
“Tapi, Rian. Aku-“
“Aku paham, kamu sakit. Aku juga paham, tubuhmu menderita, dan menanggung sakit yang luar biasa, sehingga nanti kamu mungkin akan kesulitan mendapatkan seorang anak. Aku tak masalah, Sya.”
“Rian...,”
“Sya, maukah kamu menjadi teman hidupku selamanya ? Tidak peduli nasib buruk apalagi yang akan menima, intinya, aku hanya menginginkanmu, Sya,” Rian mencium mesra tangan Desya.
Desya tidak sanggup menahan kesedihan yang melanda. Air matanya tetiba jatuh dengan sendirinya. Hatinya sedikit lega. Sebab, Rian mau menerima kekurangan yang ada pada dirinya.
“Yang aku butuhkan hanya kamu, Sya.”
“Aku tidak pantas Rian,”
“Cukup, jangan merendah begitu, Sya. Aku hanya butuh kamu, bukan rahimmu. Jadi, maukah kamu menikah denganku.” Ujar Rian penuh harapan indah.
Langit di atas sana, mulai meredupkan dirinya. Setelah keindahannya tersebar luas merata. Kerlap-kerlip gemintang mulai tampak. Angin-angin masih memelesat tenang. Desya terdiam sejenak. Ia mencoba menenangkan dirinya.
“Apakah kamu sungguh mencintaiku, Rian ?”
“Sungguh, buktinya aku mengejarmu hingga Canberra. Aku juga sudi menerima segala kekuranganmu, bahkan aku selalu memikirkanmu,”
“Aku takut, kamu akan menyesal di kemudian hari.”
“Sya, percayalah kepada takdir yang indah. Semesta pasti akan mempersiapkan kejutan indah di depan sana, kamu tidak boleh pesimis begitu. Aku yakin, kita bisa bahagia,”
Desya pun mengangguk, sembari melepas senyumnya. Ada kebahagian tergambar dari raut keduanya. Dan di malam yang dingin itu. Rian mengeluarkan kembali kalung yang sempat diambilnya secara paksa, lalu ia kalungkan kembali pada leher Desya.
“Indah, dan sangat pas dipakai bidadari seindah kamu, Sya,” kata Rian memuhi Desya.
“Rian, iih...,” sahutnya manja.
Rian lalu memeluk Desya dengan mesra. Perihal jatuh cinta yang sesungguhnya, Rian telah membuktikan kepada Desya. Bahwa satu-satunnya perempuan yang dicintai Rian, adalah dirinya. Sehingga mereka saling berciuman dengan mesra di bawah sinar rembulan yang memancar syahdu. Saling mendekap hangat satu sama lain. Pun saling melupakan kejadian pahit, 5 tahun silam.
“Aku mencintaimu, Rian,” Pekik Desya.